Di sudut lantai empat puluh tiga

100 3 0
                                    

Aku masih berdiri di sudut lantai empat puluh tiga. Mengamati Jakarta dari ketinggian. Langitnya semakin jingga. Jalanannya semakin penuh. Di bawah sana, pasti hingar bingar terasa begitu sesak. Aku benci keramaian yang membuatku bingung. Aku benci langkah-langkah manusia yang selalu terburu-buru. Aku tahu kemana tujuan sebagian besar dari mereka. Rumah.

Aku ingat saat pertama kali aku menginjakkan kaki di Jakarta. Kota yang selama dua puluh lima tahun, tidak pernah sekalipun menjadi tujuanku, bahkan untuk singgah. Kota yang hanya dengan melihatnya dari televisi saja sudah membuatku menjadi muak. Untuk apa hidup dalam keruwetan. Bukan kah sejatinya hidup, hanya untuk mencari ketenangan. Jika aku dapat memiliki ketenangan itu sejak awal, mengapa harus terjerumus dalam kerumitan terlebih dahulu?

Aku masih berdiri di sudut lantai empat puluh tiga yang menjadi sudut favoritku. Yang juga menjadi sudut favoritmu. Di tanganku masih ada secangkir teh hijau hangat yang tidak pernah absen untuk ku seduh di sore hari, di hari kerja. Asap tipisnya mengepul, menyeruak menghampiri wajahku yang sudah mulai polos. Ini adalah jam-jam riasan wajahku mulai pudar dan aku sudah enggan untuk memolesnya lagi.

Biasanya engkau akan berdiri tepat di sampingku. Tatapan kita sama. Tertuju pada hiruk pikuk kehidupan kota yang menjenuhkan. Hidupmu di kota ini jauh lebih lama daripada hidupku di kota ini. Hatimu sudah jauh lebih terlatih untuk menelan kelu dan memendam semua penat. Hanya di sudut lantai empat puluh tiga ini lah, aku dapat melihat kelu dan penat yang dengan sangat rapi engkau simpan.

"Jakarta bagus jika di lihat dari ketinggian seperti ini. Selebihnya? Hanya sekumpulan kerumitan hidup yang tidak pernah dapat ditinggalkan orang-orangnya," katamu di suatu sore bersama secangkir kopi hitam yang tidak pernah absen menemanimu. Suaramu getir. Senyummu begitu sarkas. Aku paham, hidupmu tidak semudah yang dibayangkan orang di sekitarmu.

Kita tidak pernah membutuhkan banyak kata-kata yang terangkai menjadi kalimat. Terkadang kita hanya membutuhkan tatapan dan senyuman yang mampu berbicara lebih dari apapun. Bagi orang lain, mungkin semua ini terlalu membosankan. Tapi tidak bagiku. Aku menikmati kehadiranmu tepat di sampingku. Engkau dengan secangkir kopi hitammu dan aku dengan secangkir teh hijauku. Aku menikmati aroma parfummu yang semakin menipis seiring dengan semakin berjalannya waktu di hari itu. Aku menikmati langkah-langkah kecilmu yang kadang terdengar selangkah atau dua langkah bergeser dari tempatmu berdiri.

"Will you miss my voice?" tanyamu pelan sambil memecah kesunyian. Ada sebuah tawa kecil di akhir pertanyaanmu.

Aku lalu menatapmu lekat, di bawah tampias jingga langit sore Jakarta. Aku menatap tepat pada kedua matamu. Mata yang selalu berhasil meluruhkan tembok yang selama ini terbangun untuk hatiku. Ada sepasang alis yang tebal namun pas untuk wajah yang nampak tegas. Sepasang mata dan alismu adalah sepaket indera pengelihatan manusia yang paling sempurna yang pernah hadir dalam pengelihatanku. Ada ketegasan dan kelembutan yang tidak dapat aku pisahkan. Dua hal yang selama ini aku cari.

Segaris senyum tergaris di wajahku. Aku merasakan ada kehangatan yang menyebar di seluruh wajahku. Mungkin wajahku pun memerah.

"I will. But I will miss your eyes the most," jawabku sambil masih menatap ke dalam sepasang mata yang tidak juga beralih dari pengelihatanku.

Jika ada yang bertanya kepadaku, dimana tempat terdalam di dunia ini yang ingin aku selami, jawabannya adalah kedua mata yang kini juga tersenyum menatapku. I know, I could trade everything that I have only for those eyes.

Why those eyes?

Sepasang mata itu lah yang membuat duniaku beralih kepadanya untuk pertama kali. Sepasang mata itu lah yang pertama kali aku dapati ketika aku terjebak dalam lift kantor yang begitu sesak untuk pertama kalinya. Sepasang mata itu lah yang mampu membuatku tenang, bahwa lift kantor yang penuh itu adalah hal yang biasa terjadi di setiap menjelang jam kerja dimulai.

Sepasang mata itu lah yang tertangkap oleh pandanganku, ketika aku kebingungan mencari sebuah ruang rapat menjelang lima menit rapat dimulai. Sepasang mata itu lah yang menuntunku menuju sebuah ruangan yang seharusnya kudatangi.

Sepasang mata yang tersenyum itu lah yang memberitahuku, bahwa dunia mungkin terlalu rumit dan melelahkan. Tapi akan ada satu tempat untuk mengadu kelu dan melepas penat. Suatu tempat yang pada akhirnya akan kusebut rumah. Rumah untukku pulang.

"Everyone has their own home," aku masih mengingat jelas ucapanmu di suatu sore, setelah engkau melewati hari yang begitu melelahkan.

"And I am still guessing, where is my home," timpalku sambil tersenyum getir. Menemukan rumah ternyata tidak semudah menyebutkannya. Bahkan saat itu aku belum tahu apakah sebuah tempat yang engkau sebut "rumah" harusnya dibangun atau ditemukan.

"You will find your way to back home," sekali lagi, sepasang mata itu yang membuatku tidak terlalu khawatir. Entah harus dibangun atau ditemukan. Engkau berhasil meyakinkanku, bahwa ada satu tempat yang akan menjadi rumahku. Rumah untukku pulang.

Setelah begitu banyak sore yang kita habiskan di suatu sudut di lantai empat puluh tiga, aku semakin merasa. Kedua mata itu adalah rumah bagiku. Rumah untukku pulang setelah melewati hari yang melelahkan.

I know, I could trade everything that I have only for those eyes.

Aku masih berdiri di sudut lantai empat puluh tiga bersama secangkir teh hijau yang mulai dingin. Langit jingga Jakarta mulai menggelap. Sebentar lagi, lampu-lampu gedung dengan berani menggantikan bintang untuk menjadikan Jakarta indah di malam hari. Sekali lagi, dari ketinggian.

Aku memejamkan kedua mataku, mencoba mengingat bagaimana suara langkahmu perlahan menghilang dari pendengaranku. Bukan kata "pamit" yang aku dengar. Tapi suara dentingan cangkir yang beradu dengan meja marmer serta suara langkah yang semakin lama semakin menjauh. Yang terakhir adalah suara lift yang terbuka lalu tertutup. Lalu sunyi yang menemaniku.

Aku memejamkan kedua mataku, mencoba mengingat bagaimana kedua matamu menatapku untuk yang terakhir kalinya. Sebelum akhirnya kedua mata itu tidak lagi dapat tertangkap oleh indera pengelihatanku. Kedua mata yang tersenyum dengan alis tebal yang begitu sempurna.

Aku memejamkan kedua mataku, indera penciumanku mulai mereka-reka bagaimana aroma tubuhmu dengan parfum yang mulai memudar saat hari semakin sore dan semakin malam. Aroma yang tidak mencolok tapi mampu mencuri perhatian indera penciumanku. Aroma yang mampu membuatku berani menyandarkan seluruh kelu dan penat pada bahu yang begitu hangat.

"You will find your way to back home," kedua indera pendengaranku selalu mampu mendengar suara lirihmu.

How could I come home, if my home has already faded away?

Aku masih berdiri di sudut lantai empat puluh tiga dan membuka kedua mataku perlahan. Hampir seluruh lampu di lantai ini padam. Hanya ada bentangan kota Jakarta dari ketinggian di hadapanku. Lampu-lampu gedung tinggi yang lain sudah menggantikan peran bintang untuk menerangi seluruh kota.

"Jakarta bagus jika di lihat dari ketinggian seperti ini. Selebihnya? Hanya sekumpulan kerumitan hidup yang tidak pernah dapat ditinggalkan orang-orangnya," kedua indera pendengaranku kembali mendengar suara lirihmu.

Kedua mataku menyapu langit kota di hadapanku. Berharap ada satu bintang saja yang dapat aku temui. Mungkin sinar bintang itu akan nampak begitu lemah. Tapi aku berharap, satu bintang itu adalah engkau.

Aku masih berdiri di sudut lantai empat puluh tiga, mungkin selanjutnya aku hanya akan sendirian berada di sini. Namun, jika kedua mata yang menjadi rumah untukku pulang tidak lagi ada di sampingku. Boleh kah rumah itu berada di hadapanku?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DIAM ADALAH BAHASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang