Ketika Aku Tidak Lagi Bisa Menulis

265 3 0
                                    

Kau masih ada di hadapanku. Setia menantiku mengeluarkan apa yang ada di dalam kepala dan hatiku. Kau begitu tahu dadaku begitu sesak. Kepalaku teras terhimpit oleh fikiran – fikiran yang tidak juga kunjung aku pahami. Aku masih termenung di kursiku. Di balik meja favoritku. Yang juga menjadi meja favoritmu.

Entah sudah berapa musim hujan hadir di hadapanku. Juga di hadapanmu. Seperti yang engkau tahu. Air hujan itu kadang turun perlahan dengan lembut. Mengalir penuh dayu dan meliuk di kaca jendela. Mereka seperti menggodaku atau lebih tepatnya mengejekku karena aku masih saja diam. Tapi di beberapa saat mereka juga turun dengan begitu berisik. Suaranya memekakan telinga namun selalu membuatku rindu. Mungkin seperti kerinduanmu pada keberisikanku di sepanjang malam. Aku benci hujan yang mengejekku dan memekakan telingaku dengan membaurkan rasa gelisah. Tapi aku selalu merindukan hujan setiap kemarau tiba. Bukan kah aku adalah makhluk yang tidak pernah puas?

Engkau juga sudah menghitung berapa kali musim kemarau menggantikan hujan. Mungkin saat itu hujan sedang kelelahan dan meminta kemarau untuk menggantikannya sejenak. Kemarau tidak banyak berulah seperti hujan. Ia hanya diam berdiri di tempatnya. Namun ia kadang mengajak semilir angin dan dedauanan untuk menggodaku. Kadang mereka lewat tepat di depan jendela favoritku. Yang juga jadi jendela favoritmu.

Aku yakin engkau masih ingat bagaimana biasanya aku memanfaatkan hujan dan kemarau untuk mencapai semua impianku. Dulu engkau pernah berkata, aku adalah si penikmat rasa. Segala rasa pedih, haru, cemas, dan bahagia. Aku selalu tahu bagaimana cara untuk bersyukur atas semua rasa yang hinggap pada diriku. Engkau kadang tertawa sambil berkata, aku adalah pencuri kisah yang ulung.

Bagimu aku adalah pendaur ulang cerita. Takdir bisa saja tidak mengabulkan hal – hal yang memenuhi harapanku. Namun, aku selalu memiliki kemampuan untuk kembali membuat takdirku sendiri. Fikiranku selalu tahu bagaimana cara mewujudkan sisa – sisa harapanku.

Aku masih duduk di kursi yang sama. Di depan meja favoritku yang menghadap ke arah jendela yang luas. Di luar sana langit tampak biru. Awan putih tebal dan sebagian tipis. Awan – awan itu bergerak pelan. Terkadang aku merasa mereka sedang mengejekku. Meledekku yang hanya bisa diam tak juga kunjung berisik.

Kau tahu, aku begitu tersiksa dengan semua ini. Semua nasihat telah ku jalankan, banyak perjalanan telah aku tempuh, banyak tempat telah aku singgahi hanya untuk terlepas dari diamku. Bukan kah engkau yang selalu menemaniku kemana pun aku pergi? Engkau yang selalu setia menemaniku. Menunggu ada sepatah kata, lalu serangkaian kalimat dan susunan paragraf yang nantinya akan muncul dariku.

Bukan kah engkau yang selalu penasaran dengan apa yang ada di dalam kepalaku dan yang bergema di dalam hatiku?

Engkau tahu? Terkadang aku berharap engkau akan langsung menembus kepalaku dan mengambil fikiranku. Lalu kau membedah dadaku dan mendengar apa yang bergema di dalam sana. Percaya lah, itu tidak akan menyakitkanku. Karena semua keheningan ini jauh lebih menyakitkan.

Aku selalu kembali ke meja favoritku bersama teh hijau hangat tanpa gula atau kopi hitam hangat tanpa gula. Engkau selalu mengernyitkan dahimu. Aku paham keherananmu. Tapi seperti yang engkau tahu, kehidupanku sekarang jauh lebih pahit dibanding rasa pahit dari teh hijau dan kopi hitam tanpa gula yang selalu aku seduh. Tidak kah ada yang lebih pahit bagimu, jika aku ingin menghilangkanmu dari hadapanku?

Aku kerap bertanya kepadamu dengan tatapanku yang sudah ingin menyerah. Kenapa engkau tidak pergi saja dari hadapanku? Tidak jarang kehadiranmu justru membuatku merasa tersiksa. Tidak ingatkah kau, sudah berapa kali aku berusaha untuk menyingkirkanmu dari hidupku? Tidak kah kau rasa, aku tidak lagi pantas untuk kau tunggui.

Aku sudah lelah menitikkan air mata dan berharap kesunyian ini segera terpecahkan. Aku sudah enggan berusaha mengakhiri hidupku, berharap aku tidak lagi merasa tersiksa dengan kesunyian ini. Aku sudah jengah dengan suara menggema yang ada di dalam dadaku.

Berkali – kali engkau selalu menatapku lekat, kemudian tersenyum. Tidak ada sedikit pun rasa marah darimu.

"Jika nanti tiba pada masa engkau menjadi diam, maka aku hanya akan berada di hadapanmu. Menunggumu sampai engkau dapat kembali menuliskan apa yang ada di dalam fikiran dan hatimu," aku masih mengingat jelas kalimatmu di suatu saat, saat aku masih begitu berisik. Saat semua terasa begitu mudah tersampaikan.

Aku menarik nafasku sedalam mungkin. Lalu memejamkan mataku. Fikiranku melayang kepada hujan yang selalu menggoda dan kemarau yang selalu menyapa sinis. Berharap saat aku menghembuskan nafasku dengan perlahan setelah menariknya, semua keheningan ini akan segera berakhir.

Ketika nanti aku benar – benar tidak lagi bisa menulis, masih kah engkau mau tetap berada di hadapanku. Dengan sabar menungguiku dalam hening yang seperti tidak memiliki ujung?


- Di depan jendela kaca, di balik meja favorit, bersama secangkir teh hijau hangat tanpa gula -

DIAM ADALAH BAHASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang