Part 4 : Die:)

356 28 9
                                    

Adeline dan Rian sama-sama terpaku melihat sosok pembunuh itu. Rian yang lebih dulu tersadar dari lamunannya langsung menarik tangan Adeline dan melindungi gadis itu di balik tubuhnya. Sosok itu mulai berjalan masuk lagi dengan seringai dan tatapan tak berubah.

"Saya tahu kalian disini sedari tadi. Kalian mau bermain dengan saya?" Tanya sosok itu.

Adeline bergetar hebat. Tangisnya pecah kembali dan ia mulai memeluk lengan Rian erat.

"Lepasin kami. Kami nggak akan bilang siapa-siapa soal keberadaan anda disini. Kami akan tutup mulut," ujar Rian, berusaha bernegosiasi.

Pembunuh itu mendengus dan tertawa kencang, "Buat apa saya melepaskan kalian?"

Pembunuh itu menerjang ke arah mereka. Tapi Rian dengan gesitnya langsung menonjok wajah lelaki itu dengan cukup keras sehingga membuat hidung lelaki itu berdarah.

"Kamu akan saya lepaskan. Asal berikan gadis jalang di belakangmu itu," ujar pembunuh itu sambil mengusap hidung bengkoknya yang berdarah.

Rian menggeram marah mendengar hinaan yang dilontarkan pembunuh itu. Ia mengepalkan tangannya dengan kuat dan berjalan mendekati pembunuh itu.

"Rian!" Pekik Adeline ketika lelaki itu memberikan pukulan bertubi-tubi pada sosok lelaki yang telah membunuh kawan-kawannya.

Tapi sosok itu menangkis pukulan yang nyaris membunuhnya, dan berbalik menyerang Rian. Membuat suasana menjadi kacau dan tak terkendali. Rian berhasil mendorong sosok itu dan dengan cepat ia meraih tangan Adeline yang basah oleh keringat lalu menarik gadis itu untuk berlari. Mereka memutuskan untuk masuk ke dalam toilet lelaki, dimana mayat Amos masih menggantung menyedihkan. Ditambah dengan lalat-lalat dan bau amis darah menghiasi toilet itu.

Mereka berdua masuk ke dalam salah satu bilik dan berusaha menetralkan deru napas mereka yang tak karuan.

"Maaf, Del."

Adeline menoleh ke arah Rian yang tampak babak belur dan tengah menatap kosong lantai kotak-kotak di bawahnya.

"Buat apa?"

"Gue nggak berhasil ngebunuh pemnunuh itu. Gue nggak cukup kuat."

"Nggak pa-pa. Dia bawa senjata tajam di saku jubahnya. Kalo tadi lo nggak lari, mungkin kita udah ga bernyawa lagi."

"Del."

"Hm?"

"Jangan jauh-jauh dari gue, ya."

Adeline tersenyum samar dan mengangguk pelan.

♤♤♤

Adeline masih duduk dengan posisi tidak nyaman di atas kloset. Matanya sudah setengah terpejam. Sedangkan Rian masih tetap fokus pada keadaan sekitar, berjaga-jaga jika ada suara janggal.

"Tidur aja, Del. Biar gue yang jaga," kata Rian datar yang disambut anggukan Adeline.

Gadis itu membua posisi senyaman mungkin untuk tidur dan memejamkan matanya. Ia hampir saja masuk ke alam mimpi kalau saja suara bantingan pintu tak terdengar.

Adeline terlonjak kaget dan jantungnya langsung berpacu tak normal. Rian langsung waswas. Terdengar suara kursi ditarik dan langkah kaki perlahan menjauh.

"Kayaknya dia cuma mau bawa mayat Amos pergi," bisik Rian, "Mau cek keluar?"

Adeline menelan ludah, "Kenapa kita nggak ngumpet aja disini?"

"Nggak ada orang yang tinggal disini selain pembunuhnya. Cepat atau lambat dia bakal kesini dan ngecek. Mendingan kita keluar dari sini supaya bisa serang pembunuh itu duluan dan kita bisa keluar dari sini."

Run or Dead [5/5]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang