TC-3

177 29 0
                                    


OSPEK Hari Ketiga

Dalam buku panduan hari ini, yang menjadi pembicara adalah Asril Mahendrata dan Najmuddin Ghazali. Benarkah? Aku tak percaya. Biasanya aku melihat kedua tokoh ini di layar kaca.

Sayangnya hari ini MC mengumumkan bahwa kedua tokoh itu tidak bisa hadir karena ada urusan yang lebih penting.

" Huuuuuu," ruangan sontak riuh bergemuruh.

"Kita ini dianggap apa?!!" celetuk orang di belakangku.

"Pejabat memang tidak peduli pada rakyat!" kata yang lain.

Yup, betul! Tapi tidak semuanya. Masih ada sebagian dari mereka yang murni membela kepentingan masyarakat, bisik hatiku.

Seorang mahasiswa berdiri. Setelah memegang mikrofon dan mengenalkan diri, dia berbicara lantang. "Saya mengatakan bahwa dengan ketidakhadiran dua orang pejabat negara hari ini menjadi bukti kalau mereka tidak peduli pada masyarakat kecil seperti kita ini."

"Betuuulll!!!" semua berteriak.

Aku bingung. Ada apa ini sebenarnya. Kudengar suara teriakan mikrofon di luar sana, namun tidak jelas apa yang diteriakannya. Dari kaca jendela di lantai bawah kulihat dengan jelas banyak mahasiswa berjejer meneriakkan yel-yel sambil mengusung karton yang isinya protes terhadap kenaiakan SPP, kenaikan biaya praktikum, dan pemungutan dana yang tidak jelas.

Seorang mahasiswa lain berdiri mengambil mikrofon lalu berbicara dengan beberapa panitia OSPEKdi depan sana. "Semalam saya menoton berita di TV," ucap mahasiswa itu, "Karena untuk tahun sekarang, OSPEK tidak diberlakukan karena ilegal. Jadi, kami menuntut uang sebesar 100 ribu dikembalikan."

Seorang mahasiswi angkat bicara, "Sejak awal acara ini tidak sukses karena selalu tidak tepat waktu. Kami merasa fasilitas yang kami dapatkan jauh dari layak, padahal kami sudah menunaikan hak kami. Jujur saja, kami kecewa karena sampai detik ini banyak yang belum mendapatkan jas. Kami juga kecewa karena kualitasnya tidak sesuai dengan jumlah dana yang kami bayarkan."

Semuanya berteriak, "Betuuul!"

Di depan sana tidak ada seorang panitia pun yang berani membantah.

* * *

Waktu istirahat ini kumanfaatkan dengan mengunjungi stand jurusan. Aku mencari teman-teman dan bermaksud mengajak mereka. Toni tidak kelihatan sedikit pun batang hidungnya. Asep, Nana, dan Dhani pada kemana mereka?, pikirku. Akhirnya aku memilih berjalan sendiri.

Aku berhasil menemukan stand psikologi. Letaknya dengan stand dengan stand LPB[7]

"Stand psikologi? " tanyaku, masih ragu karena tak seramai stand-stand yang lain.

"Betul, aku Aji." lelaki berkulit sawo matang itu berkata semabari mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Aku menatap lelaki agak kurus itu ketika membalas uluran tangannya. Sambil tersenyum, aku berkata, " Refan Helmy, panggil saja Refan."

Aku diajaknya masuk kedalam stand. Di sana, sudah ada tiga orang. Aku berkenalan dengan mereka.

"Begini," aku mengawali, "Saya mahasiswa baru psikologi. Saya ingin tahu lebih banyak tentang Fakultas Psikologi di universitas ini."

"Lihat aja nanti, pokoknya belajar psikologi itu asyik and fun," kata lelaki berambut keriting.

"Oh, iya Kang ," aku mulai akrab dengan mereka. "Berapa banyak mahasiswa baru yang sudah berkunjung kemari?" tanyaku.

"Baru adik saja," jawab Aji.

Aneh. Aku kira akulah yang terlambat berkunjung ke sini. Kemana saja teman-teman sejurusanku. Apa mereka tak pernah mau tahu informasi yang lengkap mengenai jurusan yang mereka pilih, pikirku dalam hati.

Aku teringat kejadian ketika resistrasi. Seorang mahasiswi berjilbab memberiku pamflet yang berisi tentang ketidakharmonisan antara mahasiswa psikologi yang dipayungi oleh BEM-J[8] serta DPM[9] Psikologi dan pihak Dekanat[10]. Kupikir inilah saat yang tepat untuk menanyakan apakah itu berita benar atau sekadar kabar burung belaka.

Kang Aji memberikan banyak kertas berisi tulisan. Aku membacanya. Sama seperti tempo dulu.

"Tolong kasih teman-temannya ya, Dik. Konflik di fakultas kita benar-benar nyata. Kami sedang berjuang melawan ketidakadilan di kampus ini, khususnya Fakultas Psikologi.

* * *

Usai dzuhur, agenda acaranya yaitu perkenalan sejumlah UKM[11] dan HMJ[12]. Masing-masing UKM dan HMJ berpromosi semenarik mungkin. UKM teater mengungkapkan protesnya atas kenaikan SPP dan biaya praktikum lewat aksi teatrikalnya. Dalam drama itu, digambarkan mahasiswa merasa tersiksa dengan semakin mahalnya biaya pendidikan. Mereka tercekik oleh lilitan dan belitan resi [13] di sekujur tubuhnya. Aku jadi teringat pada slogan iklan komersil, "Mo pintar kok mahal, tanya kenapa?"

Menurut UUD, pendidikan adalah hak setiap warga negara. Tetapi, kenyataannya tidak semua warga negara bisa merasakan bangku kuliah. Alih-alih belajar di universitas, masih banyak juga putera bangsa ini yang putus sekolahnya sejak SD. Hal yang menurutku sangat ironis. Pemerintah, sekarang ini telah menggulirkan dana BOS untuk siswa Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Hal yang patut disyukuri.

Ending drama itu disambut dengan aplauss begitu semarak. Para mahasiswa itu akhirnya mencopot belitan resi yang menyiksanya. Mereka memasukkannya ke dalam kotak, lalu membakarnya.

Tiba saatnya giliran HMJ Psikologi unjuk gigi. Aku menyambutnya dengan penuh antusias seperti teman-teman. Aku mengerutkan kening, mengingat-ingat nama lelaki yang pernah berbicara denganku waktu ketika berkunjung ke stand jurusan. Aji namanya, aku baru ingat setelah beberapa menit kemudian. Ternyata orang yang tengah berbicara di depan sana adalah Presma Psikologi.

Tidak seperti yang dilakukan oleh UKM dan HMJ yang lain yang selalu mengucapkan selamat kepada mahasiswa baru sesama jurusan dan selalu mengatakan, "Anda tidak salah memilih jurusan ..., lulusannya langsung bisa kerja." Sepertinya sangat muluk.

"Kepada mahasiswa baru psikologi, selamat menyesali diri karena telah memilih jurusan psikologi," kata Presma di depan sana. Aku dan teman-teman sontak, kaget. Mengapa Presma Psikologi berkata demikian? Aku tidak mengerti.

* * *

JaharID

The College🎓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang