TC-16

27 9 0
                                    

Aksi Selasa, 12 September

Hari ini aku sibuk. Aku termasuk golongan yang antri menunggu giliran ke kamar mandi. Kamar mandi lantai tiga sudah penuh. Lalu kucoba ke lantai dua. Kamar mandinya penuh juga. Mungkin di lantai paling bawah kosong, pikirku. Aku segera menuju ke sana.

Ada satu pintunya yang terbuka. Aku segera masuk karena takut ada orang lain yang mendahuluinya. Aku mulai menyikat gigi. Bak mandi masih penuh. Biasanya kalau sisa setengahnya lagi airnya sering kotor dan keruh. Bisa jadi, mereka dan aku termasuk orang-orang yang jarang menguras dan membersihkan WC. NATO, kira-kira itulah yang selalu diungkapkan oleh pimpinan ma'had ini.

Aku membilas badan yang penuh busa sabun sampai bersih. Baru kemudian aku membilas muka dengan facial foam yang dilanjutkan dengan berwudhu. Aku ingin berusaha beristikamah memiliki wudhu sepanjang wudhu.

Ketika sampai di kamar, kondisi kamar masih berantakan. Aku tahu, hari ini adalah jadwal piketku. Sebelum mandi, tadinya aku mau menyapu, tapi masih banyak yang tidur setelah pengajian. Mungkin mereka kuliahnya siang. Kulihat sekarang sebagian dari mereka tertidur. Sebagian lagi penampilannya sudah kelihatan perlente. Di depan cermin, mereka bergaya sambil bersiul-siul dan bernyanyi.

Aku mengambil skirt kotak warna biru yang dipadu dengan warna putih. Celananya kusesuaikan dengan warna biru langit. Aku mengenakannya sambil memperhatikan Toni yang sedang mengecek buku yang akan dibawanya.

"Ton, kamu nggak mandi ya, kok rambut kamu kering dan acak-acakan?!"

"Udah. Aku mandi dari jam tiga. Jadi, rambutku sudah kering."

"Busyet, emang kamu bangun jam berapa?"

"Jam tiga. Aku langsung mandi biar seger."

"Ah... jangan-jangan kamu mandi pagi-pagi karena mimpi basah kali."

Toni tertawa. "Sembarangan aja kamu, Fan. Aku mandi jam tiga soalnya enggak mau ngantri kayak kamu."

Kulihat Toni tidak memasukkan buku-bukunya dalm tas. Aku merasa heran.

"Ton, buku sebanyak itu kamu bawa tanpa tas. Emangnya tas kamu kemana?"

"Tasku dipakai wadah baju," jawabnya dengan tertawa.

Aku mengambil tasnya yang sudah dijahit di sana-sini dari atas lemariku. Kalau saja aku punya dua, akan kuberikan satu kepadanya. Aku tak rela jika ia harus memakai tas yang sudah butut begini.

Pakaian yang ada dalam kantong itu segera kumasukkan ke dalam lemari. Hanya beberapa potong saja. Sedikit amat pakaiannya. Apa dia tidak sepertiku yang minimal sebulan sekali membeli pakaian baru.

"Ton, cepat masukkan buku-bukumu ke tas," kataku ketika menyerahkan tas jelek itu. "Pakaianmu ada di lemariku."

"Lemarimu jadi sesak dong?!"

"Udaaah... no comment. Buku-bukkumu juga boleh disatuin dengan koleksi bukuku di lemari."

"Makasih banyak nih, nanti aja pulan gdari kampus aku masukkan koleksi bukuku di lemarimu."

"Fan, kamu punya kalkulator nggak?"

Aku teringat dosen Statistika, Pak Yudi yang mewajibkan kami semua mempunyai kalkulator. Hari ini kebetulan ada jadwalnya."

"Ada, ambil aja di lemari dekat buku. Kebetulan aku punya dua. Kedua kakakku menghadiahiku model dan merek yang sama."

Setelah menemukan kalkulator, Toni memasukkannya ke tas. Aku mengajaknya berangkat bersama, tapi ia menolak dengan alasan yang bertele-tele.

"Sudahlah, kalo nggak mau," ucapku agak ketus, "Jangan lupa nanti siang setelah kuliah kata Kang Aji akan ada aksi."

"Siap!!! Pak Kosma." Toni tampak serius mengangkat tangan memberi hormat ala Pramuka dan Paskibra.

Aku dibuatnya tertawa meskipun hatiku masih jengkel. Selama ini ia selalu saja menolak berangkat atau pulang bersamaku. Aku sungguh heran dengan kelakuannya itu.

Akhirnya aku berangkat sendiri. Toni pamit lebih dulu. Siang mulai memanas. Aku berjalan kaki dari pesantren ke jalan raya. Kalau naik ojeg ongkosnya dua ribu. Dalam rangka penghematan lebih baik aku jalan kaki, lumayan dua ribu buat beli gehu, bala-bala dan comro. Biasanya kalau aku sudah tidak kuat lagi berjalan kaki, baru aku naik ojeg.

Lima menitan aku sudah sampai di pinggir jalan raya. Angkot hijau sudah menunggu. Aku segera menaikinya. Matahari mulai menanjak dari timur langit. Arlojiku menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Lima belas menit lagi perkuliahan selesai.

🎓🎓🎓

Saat ini kami sedang melakukan aksi demo. Kami menuntut pihak rektorat supaya secepatnya mengambil keputusan agar Mister Abe yang mengaku bergelar M.Psi diturunkan. Lagi-lagi pak rektor tidak ada dan lagi-lagi yang menghadapi kami Pak Purek III dan Purek V.

"DEKAN... DEKAN TURUNLAH, KALAU NGGAK TURUN KITA TURUNKAN. TURUN... TURUNKAN DEKAN, TURUNKAN DEKAN SEKARANG JUGA!"

"Kami acungkan jempol atas perjuangan kalian. Perjuangan kalian begitu gigih dan tak kenal putus asa," ujar Purek III ketika membaca setiap aspirasi kami yang tertera di lembaran-lembaran karton dan kain-kain.

Purek V membaca salah satu tulisan di sebuah karton, "Malu sebagian daripada iman[67], Mister A. Ditaruh di manakah muka anda? Wahai muka tebal! Turunlah secepatnya! Kami akan sangat bangga bila Anda melakukannya."

Pak Purek, mengerutkan keningnya seolah ia sedang mencerna perkataan yang baru saja diungkapkannya. Kemudian ia melanjutkan bacaannya. Dia membacanya dengan keras.

"Wahai Mister A, bukankah Anda seorang muslim yang taat, rajin berpuasa sunnah, suka memberi kepada siapa saja, dan juga Anda yang sangat fakih terhadap agama yang bapak anut??? Sebagai pemimpin yang kharismatik, turunlah Anda dengan penuh kehormatan tanpa kami turunkan dan tanpa kami minta berulang-ulang. Cukup satu kali saja sebagaimana yang dilakukan oleh pemimpin berwibawa Khalid Bin Walid. Dia tidak mempunyai kesalahan apapun. Tapi ... ketika Khalifah Umar Bin Khattab memerintahkan untuk turun dari jabatannya sebagai Gubernur, ia langsung turun dengan penuh kerelaan. Maka turunlah ... turunlah wahai Mister MUKA TEBAL..."

Pak Purek tertegun lagi seolah memikirkan aspirasi kami yang tertera dalam spanduk-spanduk sederhana itu.

"Bapak yang terhormat, terima kasih Anda telah memuji kami," kata Kang Aji. "Taaapii... bagaimana teman-teman?"

Kang Hari mengambil alih mikrofon dari tangan Kang Aji. "Jangan cuma memuji, Pak. Buktikan pujian Bapak dalam bentuk dukungan nyata terhadap perjuangan kami. Betul kan teman-teman? "

Tepuk tangan gegap gempita. Kami menyanyikan lagu mars Laskar Ungu.

"DEKAN... DEKAN TURUNLAH, KALAU NGGAK TURUN KITA TURUNKAN. TURUN... TURUNKAN DEKAN, TURUNKAN DEKAN SEKARANG JUGA!"

Selesai menyanyi, Pak Purek V memberikan komentar. "Tapi masalahnya tidak sesimpel yang anda bayangkan Saudara-saudara! Universitas ini memiliki hukum yang harus kita junjung. Kami tidak bisa bertindak gegabah. Semua ada prosedur dan mekanismenya."

"Betul itu! Begini saudara-saudara, aspirasi anda semua akan kami tampung dan segera kami sampaikan kepada bapak rektor. Anda sekalian tidak perlu merasa khawatir, bapak rektor berpesan kepada saya, kata beliau nanti pada hari Jumat pukul dua siang, anda sekaian bisa bertemu langsung.

Dengan perasaan kecewa yang menjadi-jadi kami meninggalkan ruangan lantai satu. Kami akan menagih janji pak rektor, nanti.

Sementara itu, wartawan dari Lativi, Bandung TV, dan harian Radar Bandung menghentikan liputan. Mereka mengerubungi Kang Hari dan Kang Aji untuk mewawancarai keduanya.

🎓🎓🎓

The College🎓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang