Pelangi Di Atap Rumah

177 7 14
                                    

Malam itu hujan turun bagai surai gaun yang begitu tipis. Ridwan berjongkok di bawah gubug memandang langit, mencium aroma basah, dan mendengar suara air hujan yang jatuh. Baginya suara air hujan layaknya suara nyanyian kepedihan, elegi penuh duka dan makna mendalam.

***

Ridwan keluar rumah dengan pelepah daun pisang yang ia gunakan sebagai penutup kepala menggantikan payung. Seorang tetangga bertanya dari teras rumahnya.

"Mau ke mana kau, Ridwan?"

"Ke atas bukit."

"Untuk apa? Hujan-hujan begini?"

"Mencari pelangi."

"Desa kita tidak punya pelangi, Ridwan!"

Banyak yang mengira dirinya menjadi gila setelah kehilangan kedua orang tuanya. Sebab setiap pagi ia akan pergi lalu berkata kepada tetangganya, "aku ingin mencari pelangi." Dan pulang pada sore hari dengan tampang kusut, juga tanpa pelangi di sakunya.

Orang-orang di desanya sungguhlah orang-orang yang kasihan, sebab mereka selalu dirundung duka, sebab mereka tak pernah memahami, sebab mereka menjadikan hujan sebagai biang keladi adanya luka yang menggenang di hati. Padahal, hujanlah yang dapat memulihkan duka-luka itu. Begitulah pikir Ridwan sekali waktu.

Orang tuanya pernah bercerita kalau pelangi hanya muncul ketika hujan reda, adapun jika ia tidak muncul maka kau harus memanggilnya dengan cara bersenadung, kemudian menantilah. Dan itulah yang menjadi modalnya untuk tetap pergi ke atas bukit mencari pelangi setiap hari, sebab dari sana semua dapat dengan mudah terlihat.

***

Ia pernah mendengar tentang desa yang memiliki pelangi yang tidak pernah memudar sekalipun hujan turun dengan deras, sebab ada peri-peri pelangi yang senantiasa bersenandung menyanyikan kidung-kidung penyembuh luka dan menjaganya untuk tidak memudar.

Jadi ia bersiap, menenteng pakaian yang dibuntal dengan kain lalu pergi pada waktu subuh, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan kenangannya, untuk menemukan pelangi.

Ia merasa desa itu tak beda jauh dengan desanya yang selalu teduh dengan hujan yang tak kunjung reda. Seluruh tubuhnya basah, begitu pula matanya basah karena air mata. Ia sedih, percuma mencari hingga ke tempat yang begitu jauh namun pelangi yang diharap tak juga dapat dilihat.

"Dari mana kau datang, Nak."

"Dari sebuah desa yang jauh, yang tidak terlihat karena tertutup gunung."

"Untuk apa kau ke sini? Kau tidak akan menemukan apa pun di sini, kehidupan kami sulit."

"Aku tidak mencari kehidupan."

"Lantas?"

"Aku mencari pelangi."

"Kami semua menjual pelangi, kau ingin berapa banyak?"

"Kau bercanda, Kek?"

***

Ia pulang dengan membawa berkarung-karung pelangi, karung-karung itu bercahaya warna-warni, seluruh tetangganya heran dengan isi karung yang dibawa Ridwan setelah pergi berhari-hari lamanya. Dengan segenap hati ridwan berkata kepada semua orang, "ini pelangi! ini pelangi! besok kalian akan melihat pelangi di desa kita." Ridwan kemudian tersenyum dan masuk ke dalam rumah.

Malam itu dengan segera ia membuka karung-karung yang berisi pelangi, merangkai potongan demi potongan pelangi berharap menjadi lengkungan panjang. Malang baginya bahkan untuk setengah lengkungan pelangi saja rumahnya tidaklah cukup, jadi ia membawa pelangi itu ke belakang rumahnya, ia mulai merangkainya kembali dari karung-karung yang lain. Hujan menjadikan pakaianya basah, ia tidak peduli, sebab esok apa bila hujan telah berhenti pelangi itu akan membentang di atas rumahnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 09, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pelangi Di Atap Rumah [CERPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang