Answer

995 49 2
                                    

Reon Point of View.

Selama satu jam, aku berhasil bertahan dalam adegan sedang memeluk Jasmine. Telapak tanganku yang besar dan kasar khas pria tua ini, juga masih setia mengelus puncak kepala Jasmine. Menurutku, Jasmine adalah perempuan dengan rambut paling halus yang pernah ku lihat. Rambut bergelombang dan berwarna hitam-kecoklatannya itu semua alami, tanpa pernah tersentuh oleh alat di salon, entahlah aku sendiri juga tidak tahu nama alat itu. Tiba-tiba saja aku ingat, ketika dia baru saja memotong rambutnya, sangat pendek hingga membuatnya terlihat seperti laki-laki, lalu aku berkata bahwa ia terlihat lebih cantik dengan rambut panjang. Waktu itu aku tidak menyadari, rona kemerahan di wajah polosnya, memiliki arti lain. Bodohnya aku.

Pikiranku mulai berterbangan dan meninggalkan jejak kemana-mana. Perasaan yang disimpan Jasmine terhadapku, bukanlah suatu kesalahan, tapi itu juga tidak benar. Karena aku hanya ingin mengambil peran sebagai ayah dalam hidupnya. Aku memutuskan untuk mengangkatnya ke ranjang, meskipun tenagaku tidak sekuat dulu, setidaknya aku masih mampu menggendongnya sebentar. Setelah selesai menyelimutinya, mataku mengelilingi sudut ruangan yang didominasi dengan warna biru langit ini. Seulas senyum simpul terbentuk di wajahku, melihat semua barang-barang yang kuberikan tersimpan dengan rapi. Mulai dari buku-buku, gelas bentuk unik, hingga snow globe bertahun-tahun lalu. Sebuah buku gambar yang terletak di atas meja, depan computer, berhasil menarik perhatianku. Jasmine suka menggambar. Jika dia punya waktu luang, maka dia pasti akan menggunakannya untuk menggambar. Pulang dari kantor, aku pernah melihat beberapa lembar kertas yang dipenuhi gambar bunga dan anatomi manusia. Menurutnya anatomi manusia paling sulit digambar tanpa model.

Membuka buku itu, gambar rumah kami menyambut mataku. Namun beberapa halaman selanjutnya berhasil membuat mataku spontan terbuka lebar. Dia menggambarku ketika aku sedang berjalan, berbincang-bincang dengan klien, tersenyum, dan bahkan saat aku tertidur. Semua itu digambarnya dari beragam sudut pandang. Tidak hanya di buku ini saja, namun aku juga menemukan gambar diriku di buku-bukunya yang lain. Hal ini membuatku bertanya-tanya, sebegitu besarkah obsesi Jasmine terhadapku? Dari semua pria yang berusaha mendekatinya, mengapa ia memilihku? Kenapa aku?

Semua ini membuatku pusing, tidak ada satupun pertanyaanku yang memiliki jawaban pasti. Hanya Jasmine seorang yang tahu. Aku memijit tengah kedua alisku, ini tidak ada gunanya. Sudut hatiku berharap agar keesokan harinya, kami bisa menjalani hari-hari seperti biasanya, seolah-olah hal tadi tidak pernah terjadi. Tetapi, aku akan menjadi pria jahat dan tidak berperasaan di mata Jasmine. Dan itu akan melukai hatinya. Besok, aku akan meluruskan semuanya. Mengembalikan kedekatan kami seperti semula, tanpa adanya hati yang ikut campur. Sebelum pintu menghilangkan tubuhku, sekali lagi aku menoleh, menatapnya yang tertidur pulas dengan mata menyipit.

"Selamat tidur Jasmine." Lampu padam menjadi pengumuman dari kepergianku.


~~~


Keesokan paginya, begitu sampai di ruang makan aku disambut oleh aroma yang sanggup meruntuhkan iman perut. Beberapa jenis hidangan telah memamerkan pesona mereka sendiri. Tiba-tiba saja, aku lapar. Tapi melihat Jasmine melepas celemek dan ikat rambut, membuatku menyadari sesuatu. Dia punya kemampuan mempesona orang lain. Karena itulah banyak klient yang bersedia berinfestasi di perusahaanku, beberapa dari mereka pasti terpengaruh oleh Jasmine. Lamunanku terbuyar karena suara kursi yang digeser. Jasmine bergabung di meja makan. Dan sarapan pagi itu, kami lewati dengan sedikit canggung untuk yang kedua kalinya.

"Jasmine, sebelum kita berangkat ke kantor. Aku ingin bertanya sekaligus memperjelas satu hal." Tegasku.

Tubuh Jasmine membatu seketika, untuk beberapa saat waktu terhenti. Namun tidak dengan jantung Jasmine, yang masih setia berdegup, semakin lama semakin cepat. Hingga membuat dadanya terasa aneh dan tubuhnya tidak nyaman. Jasmine menoleh perlahan, aku bisa melihat bibirnya dipaksa untuk membentuk senyuman. Meskipun sebenarnya dia sangat gugup.

"Apa kau sungguh menyukaiku? Tidak, apa kau mencintaiku?" Pegangan eratku pada tangannya menjadi penegas bahwa saat ini aku serius.

Kedua mata Jasmine spontan terbuka lebar. Pipinya berubah warna menjadi merah seperti warna mawar. Dan aku bisa melihat dia berusaha menyembunyikan itu dengan membuang muka. "Aku...aku...aku jatuh cinta padamu Reon. Aku sudah menyimpan perasaan ini sejak aku masih kecil. Ketika anak-anak pada usia itu masih sibuk bermain, belajar, dan tidak mengenal cinta. Berbeda denganku, karena saat itu sudah jatuh hati padamu Reon. Aku mencintaimu! Sampai sakit rasanya melihatmu bersama wanita lain, meskipun mereka adalah teman bisnis. Tapi melihatmu makan, berbincang, dan tertawa bersama mereka. Itu membuatku cemburu." Jasmine menangis, untuk pertama kalinya, dia menangis karena aku. Dan itu berhasil membuat hatiku terasa seperti sudah dilempar batu. "Tapi, aku tidak akan memaksamu untuk membalas perasaanku, meskipun sudut hatiku berkata lain. Karena aku tahu, aku tidak sebanding denganmu. Dan kau, tidak pernah menatapku sebagaimana aku menatapmu." Jasmine menyeka air matanya dengan cepat. Dia tidak ingin aku melihatnya menangis hingga tersedu-sedu seperti ini. Hembusan nafas panjang keluar dari mulutnya. Dia tersenyum tipis, memandangku dengan tatapan sendu itu. "Maaf karena tadi aku sedikit terbawa perasaan Reon. Kita harus ke kantor sekarang, nanti bisa terlambat." Dia merapikan dasiku. "Ayo!" Dan meskipun dia terluka, dia masih mencoba memberitahuku bahwa dia baik-baik saja.

"Jasmine!" Aku menariknya ke dalam pelukanku. Aku mendekapnya erat, karena aku tidak ingin kehilangan Jasmine, tapi aku juga tidak bisa memilikinya seperti yang ia rasakan terhadapku. "Aku menyayangimu Jasmine. Tapi rasa sayang itu hanya sebatas ayah pada anaknya. Kau pantas mendapatkan pria yang jauh lebih baik dariku."

Jasmine hanya terdiam, air mata menggenangi matanya yang terpejam. Dia menghayati detik-detik dalam pelukanku.

~~~

Author Point of View.

"Jadi, kau ditolak." Tommy mengambil kesimpulan seenak jidatnya. Dia tidak peduli pada Jasmine menatapnya dengan tatapan sinis.

"Iya, seperti itulah."

Tommy tersenyum menggoda. "Apa sekarang kau menyesal menolakku waktu itu?" Dia bertanya lalu meminum kopinya.

"Entahlah, aku tidak tahu. Tapi aku tahu kalau Reon sangat menyayangiku, meskipun berbeda dengan rasa sayangku padanya. Aku yakin aku masih punya kesempatan. Selalu. Karena itulah aku tidak akan menyerah. Aku akan membuka matanya selebar mungkin, sehingga dia mulai memandangku sebagai seorang wanita." Seulas senyuman ceria, diiringi kilatan cahaya penuh keyakinan menghiasi wajah Jasmine.

Jasmine yakin, suatu saat nanti Reon akan membalas perasaannya. Dan ia dengan senang hati akan menunggu sampai hari itu tiba.

-Unpredictable Feeling, The End-

Unpredictable FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang