Prolog

13K 735 10
                                    

Pagi membentang. Sang surya bersinar cerah. Dedaunan di pucuk pohon terlihat mengkilat saat sinar matahari menyinarinya. Tetesan embun yang tertinggal menjadikan butiran gemerlap cahaya yang menakjubkan.

Seorang gadis berumur delapan tahun terseok-seok menyeret kaki mungilnya. Ada perasaan letih untuk terus melangkah. Hanbok lusuh yang sedikit sobek serta tambalan di mana-mana menjadi kain satu-satunya yang dia miliki.

“Aaaah,” gadis itu mengerang tertahan. Menahan himpitan sakit dalam perut yang terus menggerogoti semenjak dua hari kemarin. Tangan mungilnya ia gunakan untuk menekan sekeliling pusar. Berharap dapat mengurangi rasa lapar. Mata sayu itu terus mengitari sekitar berharap menemukan sisa makanan yang dibuang oleh pemiliknya.

Matanya berbinar tatkala mendapati dua buah bakpao yang baru saja dibuang oleh pemilik kedai; yang kini dijadikannya tempat bersandar. Diambilnya dengan cepat seolah tidak ingin ada orang lain yang mendahuluinya. Tanpa rasa jijik dia memakan bakpao yang sudah mengeras itu. Melahapnya tanpa ampun. Tidak tersirat perasaan mual saat memakan makanan dari tempat sampah. Yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana cara dia bertahan hidup.

Dalam waktu dua menit bakpao itu telah habis. Ada perasaan lega dalam benak gadis kecil itu. Setidaknya cacing dalam perutnya tidak akan terus melonglong meminta asupan makanan. Saat dia hendak beranjak. Tiba-tiba seseorang menyodorkan lima bakpao yang masih hangat. Kepulan asap yang dikeluarkan menyeruak memberikan wangi khas. Membuat gadis itu hanya diam; tidak berani berkutik.

“Ambilah,” Suara seorang wanita cantik memakai hanbok dengan sulaman sutera tengah berdiri menatapnya. Jemari lentik itu menggenggam keranjang bakpao yang masih berada tepat di hadapannya.

“Be..narkah ini untukku?” Tanya gadis itu parau. Semenjak ia ditinggal mati oleh kedua orang tuanya. Ini pertama kali ada seseorang yang rela menyisihkan uang membelikan makanan untuknya.

“Iya, ini untukmu. Jadi cepat ambilah!” Tanpa menunggu di perintah dua kali, gadis itu segera menerima keranjang bakpao hangat tersebut. Setidaknya lima bakpao cukup untuk jatah dua hari. Itulah yang ada dalam benaknya.

“Terima kasih,” seru gadis itu seraya menatap wanita muda bak bangsawan atau selir kerajaan.

“Aku terima ucapan terima kasihmu. Siapa namamu anak manis?” Tanya wanita itu. Dimatanya gadis kecil itu terlihat cantik. Sekalipun berada dalam balutan baju kumuh, serta wajah yang berdebu dengan kulit tidak terawat.

“Namaku Shin Hae Young. Aku tidak akan melupakan kebaikan Nyonya,” gadis itu membungkuk hormat. Perkataan dijawab dengan seulas senyum yang nampak tulus.

“Nyonya, sebaiknya anda segera masuk ke dalam tandu!” Perintah salah satu wanita yang sedikit lebih tua darinya. Sepertinya dia adalah budak wanita yang memberikan bakpao tadi. Wanita itu mengangguk lalu pergi meninggalkan Shin Hae Young yang masih tidak percaya. Bahwa masih ada seseorang yang perduli akan pengemis seperti dirinya.

“Nyonya kenapa anda menolong pengemis itu?” Tanya wanita yang tadi menyuruhnya untuk masuk tandu.

“Aku hanya tidak tega melihat anak kecil yang sedang kelaparan. Bahkan dia makan dari tempat yang sangat kotor. Apakah Gisaeng tidak boleh mempunyai hati nurani?” wanita yang ternyata Gisaeng muda yang sangat terkenal saat itu berbalik mengajukan pertanyaan. Wanita yang ditanya hanya diam. Dan hanya tersenyum menanggapi pertanyaan majikannya.

Gisaeng Of JoseonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang