BAB 6

4.2K 234 8
                                    

Angin malam menerpa tubuh Kim Hee Sun. Rambut yang dibiarkan terurai itu ikut bergelombang. kepangan rambut palsu yang biasa dikenakannya telah ditanggalkan jika menjelang peraduan. Malam ini Hee Sun tidak dapat terlelap. tubuhnya bersandar pada tiang gazebo kokoh. Mata bulat itu menerawang jauh. Menatap manik-manik yang berkilauan yang menempel pada wajah langit malam yang sedikit tertutup awan. Bulan sabit yang bertengger sedikit meredup saat awan kelabu berlarik-larik menutup sinarnya.

Masih teringat jelas perkataan Menteri Kim tentang ajakan untuk menemaninya ke perbatasan. Rasa ingin menemukan dalang dari kematian Nyonya Oh bersarang dalam benak Hee Sun. Sekuat tenaga dia berpikir mengenai ajakan tersebut, tapi di sisi lain pikirannya tercurah. Memikirkan perasaan pengawal Lee yang akan terluka semakin dalam jika dia memutuskan untuk pergi bersama pria itu. Tanpa Hee Sun cerna semburat luka pasti telah tertanam dalam hati Min Ho.

Lelaki itu selalu berusaha tegar menjadi batu karang. Sekalipun perasaannya tercabik-cabik. Berusaha menjadi pohon yang kokoh walau ulat menggerogoti batang kekarnya. Dapat dipastikan hati pengawal Lee akan selalu terluka bak disayat sembilu; setiap kali menunggu Kim Hee Sun saat memuaskan nafus para lelaki bejat yang menjamah setiap lekuk tubuhnya.

“Kenapa belum tidur?” Suara khas pengawal Lee membuyarkan lamunan akan kebimbangan hati Hee Sun. Wanita itu menoleh. Berusaha tersenyum senormal mungkin. Berharap raut kegalauan tidak tersirat di wajahnya.

“Hanya sedang menikmati udara malam.”

“Ini sudah tengah malam tidurlah. Aku tidak ingin sampai kau sakit,” pengawal Lee memberi perintah agar wanita yang menjadi pemiliknya itu segera beristirahat.

“Boleh temani aku sebentar?” Hee Sun lebih memilih meminta lelaki berparas tampan itu untuk menemaninya. dia tidak ingin melewatkan momen indah menikmati malam, ditemani bulan sabit dan bintang Jika dia kembali ke peraduan. Sekuat apapun dia berusaha memejamkan mata semuanya sia-sia. tidak sedikitpun Hee Sun dapat terlelap.

Tanpa berucap pengawal Lee sudah menghempaskan tubuhnya. Duduk tepat di samping wanita itu. Tanpa menunggu lama Hee Sun menyandarkan kepala. Bertumpu pada dada bidang itu. Meraup aroma tubuh pengawal pribadinya, aroma yang selalu memberikan efek menenangkan. Perlahan namun pasti mata wanita itu tertutup dengan sempurna. Saat pengawal Lee yang menyadari Hee Sun telah berada di alam mimpi. Dia segera mendekap wanita itu dalam pangkuan dan membawanya menuju ruang peristirahatan.

Para budak yang melihat majikan mereka berada dalam pangkuan pengawal pribadinya bergegas membuka pintu kamar. Tanpa menunggu lama Kim Hee Sun sudah berada dalam ranjang empuk miliknya.

***

Kicauan burung di pagi hari menjadi suara syahdu di genderang telinga. Sang surya telah beranjak naik. Memancarkan sinarnya pada seluruh permukaan bumi. Umat manusia kembali bergelut melakukan rutinnitasnya. Shin Hae Young telah bersiap. Hari ini gadis itu meminta pengurus paviliun agar mengajakya ke pasar.

Untuk pertama kalinya. Hae Young menyusuri jalanan ramai itu menggunakan hanbok sutera cerah. Rambut kepang layaknya anak bangsawan. Tidak seperti dulu dia menyusuri jalanan ramai itu dengan hanbok lusuh berbau hangit. Bahkan dulu dia tidak memakai alas kaki sama sekali. Sekarang kaki yang dulu tergores oleh jalanan kasar. Telah tertutup oleh sepatu dengan sulaman cerah nan indah. Sungguh sangat jauh berbeda, dia merasa bahwa keajaiban itu nyata. Dan telah menghampirinya.

Setelah keperluan dirasa selesai. Pelayan bergegas mengajaknya untuk segera kembali. di tengah perjalanan pelayan berpesan agar gadis kecil itu menunggu di depan toko obat. Pelayan teringat bahwa obat-obatan di paviliun stoknya telah menipis.

“Aaaaw,” rintih Hae Young tertahan. Saat seseorang membuat tubuhnya terhempas ke tanah.

“Maafkan aku, aku tidak sengaja,” seorang anak laki-laki sebaya dengannya meminta maaf. Anak itu terlihat sangat menyesal karena telah membuat Hae Young terjatuh.

“Tidak apa-apa,” Hae Young membersihkan hanboknya. Wajah gadis kecil itu murung seketika. Saat mendapati sapu tangan bersulam kupu-kupu pemberian Kim Hee Sun terkena lumpur.

“Maafkan aku,” lagi. Anak laki-laki itu meminta maaf. Raut wajah menyesal masih tergambar jelas.

“Sudahlah lupakan saja! Aku bisa mencucinya saat pulang nanti.”

“Terima kasih,” wajah anak lelaki yang tadi murung kini telah kembali ceria.

“Namaku Gikwang. Lee Gikwang,” celoteh anak lelaki itu memperkenalkan diri.

“Shin Hae Young,” Hae Young membalas perkenalan diri anak lelaki di hadapannya.

“Senang bertemu denganmu, semoga kita bisa bertemu lagi,” ucap Gikwang. Tubuh mungilnya menjauh mendekati wanita dewasa yang berteriak memanggil namanya. Terlihat jelas Sepertinya wanita itu adalah ibunya.

“Nona, ayo kita pulang,” suara pelayan yang mengajak Hae Young membuat padangannya teralihkan. Dia terlalu sibuk memperhatikan bocah lelaki yang baru saja ditemuinya. “Nona, kenapa baju anda kotor? Apa anda tidak apa-apa?” Tanya pelayan sedikit panik. Melihat keadaan majikannya yang sedikit kotor.

“Aku baik-baik saja, ayo kita pulang.”

Hae Young menarik lengan pelayan untuk segera pergi meninggalkan hiruk pikuk pasar. Siang makin beranjak suasana di tempat itu semakin sesak. Lorong-lorong jalan di samping rumah penduduk menuju pasar mulai penuh dengan orang yang berdesakan.

“Tunggu aku!” Terdengar teriakan seorang anak laki-laki. Berlari ke arah Hae Young dengan napas terengah-engah. Namun naas. teriakan bocah itu tidak sampai pada telingan gadis yang tengah dikejarnya.

***

Alunan kecapi bersahutan dengan alat musik lain. Tangan-tangan lihai gisaeng muda tengah berlatih. Menghapal ritme lagu dan nada. Menjadikannya simphoni yang indah. Sementara gisaeng muda lainnya menghapal gerakan tari yang mereka pelajari. Mengingat semua lekukan tubuh yang harus disesuaikan dengan alunan lagu.

Pohon sakura yang sengaja ditanam di pekarang berdiri kokoh. Bunga merah muda itu nampak semakin indah saat bergerak dihinggapi burung kecil yang bercicit merdu. Sepertinya burung itu menikmati alusan musik yang mengalun. Sementara itu Hee Sun mengawasi langsung latihan yang akan selalu dia pimpin di setiap harinya. Tangannya bergerak membenarkan posisi bahu gisaeng yang salah. Melengkungkan gerakan jemari tangan gisaeng lain yang tidak searah.

Suasana tenang itu terhenti saat dia mendapati wanita yang berusia hampir setengah abad tersenyum angkuh kepadanya. Wanita yang menatap Hee Sun lekat tepat dari depan gerbang paviliun, seketika ia merasa seolah anak panah baru saja menembus tepat di tengah dadanya. Gisaeng muda itu terperanjat mendapati wanita paruh baya yang masih dia ingat dengan jelas semua perlakuan buruknya. Hee Sun seakan kehilangan sendi-sendi yang menopang tubuhnya. Tulangnya seolah patah. dia tidak mampu untuk menahan beban tubuh yang selalu berusaha terlihat tegar itu.

“Nyonya,” Hee Sun berucap sayup dengan tubuh yang nyaris ambruk, bahkan tanpa seorangpun yang mendengarnya.

Gisaeng Of JoseonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang