Prologue

55 3 0
                                    

5 Agustus 2016, 4:19 p.m.

Tampan dan elegan. Berkilau bagaikan berlian, dan hanya dengan berdiri martabatnya terpancar seperti sebuah mukjizat. Mata yang sewarna dengan hazelnut selalu nampak tajam, haus akan jiwa sekaligus membakar dan melelehkan siapa saja yang beradu pandang dengannya. Rambut hitam legamnya disisir ke belakang secara asal-asalan, meninggalkan beberapa helai yang menjuntai, memberikan kesan berantakan yang anehnya... begitu cocok. Dan tentu saja, gerak-gerik serta tindak-tanduknya yang anggun layaknya seekor kucing persia, dia benar-benar sosok gentleman sejati. His manners... well, dasar keturunan keluarga terpandang! Dia dan semua kesempurnaannya itu membuatku muak!

Adhyastha Kanaka namanya. Dengan segala kesempurnaan dalam segi fisik dan finansial, dia mendapat gelar Most Wanted di kalangan warga SMA Pancasona. Jangankan murid yang ingin menjadi kekasihnya, guru-guru pun berebutan ingin menjadikannya sebagai menantu. Aku hanya bisa berdecak kesal saat Dhea yang dengan senang hati membeberkan segalanya tentang Adhyastha padaku yang notabene adalah seorang murid baru.

"Mana ada yang mau menolak si Adhyastha?" Dhea mengakhiri pidato panjang lebarnya dengan pertanyaan retoris yang jelas-jelas akulah jawabannya.

"Hanya orang bodoh yang menolaknya," imbuh Dhea.

Tepat sekali, tetapi tentu saja aku bukan orang bodoh.

Kenapa semua begitu menyanjung-nyanjung si Adhyastha, sih? Aku tahu dia itu manusia paling sempurna yang pernah ditemukan. Tapi aku tahu ada yang salah dengan sosok Mr. Most Wanted ini. Ada sesuatu yang...

"Ah, indikasi seorang playboy," cibirku. Buru-buru kulirik Dhea. Air mukanya berubah.

"Kasihan kalian semua. Dipecundangi oleh playboy cap kadal," tambahku makin sinis. Huh, apa hebatnya dari seorang playboy?

"Kalau begitu aku rela menjadi salah satu gadisnya," timpal Dhea sungguh-sungguh. Aku sampai menjatuhkan kuas dari tangan saking terkejutnya mendengar jawaban tadi. Kupelototi gadis itu dengan pandangan tak percaya yang dibalas dengan wajah aku-tidak-bercanda darinya.

Orang ini pasti kerasukan.

Menemukan fakta jika Dhea sendiri adalah salah satu penggemar yang cinta mati pada Adhyastha membuatku ngeri. Yang benar saja?! Sumpah ini menggelikan. Tidak kusangka bahwa Dhea telah berubah setelah dua tahun kepergianku. Dhea merupakan sahabat karibku semenjak SD hingga duduk di bangku SMP kelas 8. Kami harus berpisah karena Bapak ditugaskan di Nangroe Aceh Darussalam. Bapak adalah seorang abdi negara berpangkat Kapten dari kesatuan Raider, sehingga mau tak mau Bapak harus siap ditugaskan di mana pun dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia.

Tugas Bapak sebenarnya belum usai, tapi demi diriku yang bersikeras untuk kembali ke Jawa membuat Bapak rela melepasku kembali ke kampung halaman. Sendiri tentunya. Dan di sinilah aku. Kembali bersama kawan lamaku. Hanya saja, tidak kusangka Dhea jadi seperti ini. Kemana perginya sosok pendiam dan agak nerd itu?

"Kau mau dimadu? Kau ikhlas kalau kekasihmu serong macam itu?" cecarku tak habis pikir. Sempat kukira kepala Dhea terantuk pintu pagi ini. Tapi mana mungkin, kan?

Wajah lawan bicaraku masih tetap kalem. "Itu lumrah bagi orang kaya, bukan?"

"Kau matre sekarang?" tanyaku kelewat polos.

Mulut Dhea terbuka lebar, mengambil ancang-ancang untuk meneriakkan pembelaan diri. Jeda beberapa detik, ia mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Sebagai gantinya ia mendengus panjang. "Naya," panggilnya mencoba mengontrol emosi. "Aku tidak matre, oke? Dan satu hal lagi, aku tidak menyukai Adhyastha... eh, aku masih menyukainya. Tapi ini bukan cinta. BUKAN CINTA," tandasnya kemudian.

"Ah, seorang fans berat," seruku lega.

Dhea menjentikkan jarinya. "Benar sekali. Itu karena dia memenuhi semua kriteria sebagai seorang idola. Wajah oke, body wow, manners super, jenius iya, duit plus-plus, dari keluarga terpandang pula! Kyaaa! So perfect!"

"Huh, paling-paling dia tidak pandai memasak. Sebuah kekurangan baginya karena pasti dia punya puluhan pelayan yang selalu stand-by di dapur," candaku seraya tertawa terbahak-bahak.

"Memangnya laki-laki harus jago memasak? Terus apa gunanya kita sebagai kaum hawa?" balas Dhea memotong tawaku.

Aku hanya nyengir kuda. "Kamu tahu kan, kalau keseharianku lebih mirip anak kost? Paling banter juga buat mie instan. Jadi jelas kenapa aku mencari yang jago masak."

Sakit rasanya saat Dhea melayangkan sikutnya pada lenganku. "Ngomong saja kamu minta seorang Chef pribadi." Gadis itu melongok jam tangannya. "Eh? Duh, sudah jam setengah lima nih, Nay. Pulang yuk?" ajak Dhea seraya menyambar ranselnya.

"Yaah, aku tidak bisa pulang sekarang, Dhe," sesalku. "Aku harus lembur ini, nih," kataku sambil menunjuk kanvas yang baru terisi setengah mahakarya.

"Oh, iya..." Dhea menepuk dahinya seolah baru saja ingat.

Aku menghela napas kecewa. "Seandainya guru kesenian bukanlah Pak Sabtono, aku tidak harus kerja rodi macam ini. Padahal aku juga masih murid baru."

"Semangat ya, Nay. Bakat melukismu memang menonjol dari dulu, tapi jangan disalahkan. Tidak baik menyalahkan pemberian Tuhan," Dhea menasehatiku. "Aku pulang dulu, oke? Jaga diri baik-baik lho, Nay. Jangan lupa melapor pada satpam sekolah kalau kamu masih ada di sini."

BLAM.

Ruang Seni pun sepi. Hanya ada aku yang ditemani botol-botol cat dan benda-benda hasil praktikum seni murid SMA Pancasona. Cahaya jingga menerobos masuk dari sela-sela gorden yang sengaja kututup karena posisi jendela yang menghadap ke barat membuatku silau. Kusilangkan kedua tangan di depan dada, memantapkan niat yang beberapa saat lalu buyar oleh celotehan Dhea soal si Mr. Most Wanted Adhyastha.

"Ayo Kanaya... kamu pasti bisa menyelesaikannya! Fight!" []

-

Holla... aku newbie di sini coba-coba bikin cerita 😃 jangan lupa vomment ya 😉 mudah-mudahan aku bisa menuliskan cerita ini dengan baik dan menghibur kalian semua

FORELSKETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang