Chapter 1

48 1 0
                                    

5 Agustus 2016, 5:56 p.m.

Kuas masih terus menari-nari di atas kanvas. Sudah satu setengah jam aku berjuang menyelesaikan lukisan ini. Lukisan tentang angin musim panas yang bertiup di antara pepohonan. Mumpung mood sedang bagus-bagusnya, aku tenang saja. Maklum, karena mendekati deadline biasanya aku merasa down dan tertekan.

Salahku juga karena sering menunda pekerjaan. Tapi mau bagaimana lagi? Tiap hari pulang sore, bahkan hingga pukul 11 malam demi mengejar nilai. Sekolah sebenarnya berakhir pukul dua siang, namun sebagai murid yang baru aktif di berbagai organisasi, aku harus mengorbankan waktu dan tenaga untuk memenuhi komitmen yang kubuat.

Terkadang bukan cuma organisasi yang butuh pengorbanan, tugas kelompok bejibun akibat kurikulum baru makin menyita rutinitas. Tidak apa-apa juga sih. Toh juga demi akademik yang lebih baik. Hanya satu hal saja yang membuatku jengkel.

Kenapa jam masuk sekolah harus pukul setengah tujuh?!

Aku bukan tipe yang bisa bangun pagi kalau terlanjur sibuk. Apalagi aku tinggal seorang diri di rumah. Mana ada yang membangunkan tiap harinya?

Dasar Kepala Sekolah eksentrik. Kebijakanmu menyiksa untuk orang macam diriku.

Oh ya, satu lagi. Aku langganan telat dulu di sekolah lama, sampai sering keluar masuk Ruang Konseling. Dan untuk menyiasatinya pada lingkungan baru, aku sering memilih bermalam di UKS jika harus lembur tugas. Jangan tanya kenapa aku bisa, karena aku memakai cara kotor. Bukan menyogok satpam, tapi menduplikat kuncinya tanpa sepengetahuan penanggung jawab UKS. Kenapa aku bisa memegang kuncinya? Lebih baik tak perlu kuceritakan. Intinya aku memiliki akses -- walau kecil -- sebagai anggota Palang Merah.

Aku menguap lebar. Aku melakukan peregangan sebentar sebelum keluar menuju musholla untuk menunaikan kewajiban. Lima belas menit kemudian, aku memutuskan untuk membereskan peralatan lukis dan pura-pura cabut dari sekolah sebagai kamuflase.

Malam ini menginap di sekolah saja. Alasannya? Lagi malas pulang ke rumah.

Teleponku berdering saat aku mengunci pintu Ruang Seni. Dari Bapak. Aku mencium adanya kebosanan melanda Bapak yang kemungkinan besar sedang melaksanakan piket.

"Halo?"

"Wa'alaikum salam," jawab Bapak menyindirku.

"Assalamualaikum, Pak. Bosen ya, jaga sendiri?" jawabku yang juga sengaja menyindir beliau.

"Kamu sendiri gimana? Ndak bosen menguasai rumah? Bapak lagi ndak piket."

"Terus kenapa telepon?"

"Abang kamu sehat?" Bapak balik bertanya.

"Abang yang mana?" tanyaku sengaja menggoda beliau.

"Ya dua-duanya, si Candra sama si Surya. Bagaimana kabar mereka?"

"Bapak sih, kalau buat banyak. Sudah begitu sama-sama nggak pernah mampir menengok adiknya pula. Sibuk tugas negara mulu."

"Huss, ngomong saja kangen."

Aku tertawa. "Aku kangen Bapak."

"Lah, terus dulu kenapa memaksa minta balik?"

"Nggak betah di sana. Enak di sini." Aku memainkan gantungan smartphone berbentuk tempura.

Dapat kudengar bunyi jangkrik bersahut-sahutan dari seberang telepon. Rumah dinas yang dulu kutempati bersama Bapak dekat dengan sawah dan rata-rata rumah dinas di sana belum berpenghuni. Bisa dibayangkan bagaimana sepinya kalau malam hari?

"Kabarmu bagaimana, Nduk? Sekolahnya juga?" tanya Bapak kemudian.

"Kabar anakmu baik, Pak. Hanya kecanduan mie instan. Praktis soalnya. Pulang sekolah selalu sore, banyak tugas dan ekstrakurikuler," jawabku menumpahkan isi hati yang menumpuk.

"Anak cewek ndak boleh pulang malam-malam lho, Nduk."

"Nggak pulang kok, Pak."

"Kamu menginap lagi di sekolah?" selidik Bapak. "Hati-hati lho, Nduk. Kamu anak gadis Bapak satu-satunya, tapi tingkahnya melebihi kedua Abangmu. Dulu Abangmu ndak pernah nginap di sekolah."

"Iya, nggak pernah nginap di sekolah soalnya milih kelayapan di alun-alun," dumelku kesal. "Bapak tenang saja. Aku kan, anak gadis Bapak yang paling tangguh. Satu-satunya yang tinggal sendiri di usia SMA."

Bapak terkekeh pelan. "Jaga dirimu baik-baik ya, Nduk."

"Gampang itu. Bapak tidak lupa kirim jatah bulanan saja aku nggak bakal rewel," kelakarku tapi serius. Jelas serius. Kalau sampai tidak dikirim, mau makan apa aku?

"Sudah, sudah. Bapak mau berangkat dulu."

"Kemana, Pak?" tanyaku. Tumben Bapak keluar jam segini.

"Piket," balas Bapak singkat.

"Lho, katanya lagi nggak piket?"

"Suntuk di rumah jadi piket luar markas, hahaha... mau ngopi sama Pak Tiono maksudnya. Sudah dulu ya, Nduk. Assalamualaikum." Bapak memutus telepon sebelum aku sempat menjawab salamnya.

Smartphone dalam genggamanku kembali bergetar. Sebuah pesan dari Ardiansyah. Ada apa lagi dengan bocah satu ini?

"Nay, bisa ketemu? Aku lagi di Plaza."

Hmm, bau-bau ada yang bisa ditodong buat makan.

"OTW." Balasku.

Segera kusimpan smartphone di saku rok abu-abu lalu berjalan menuju tempat parkir. Untuk menuju tempat parkir, aku harus melewati lapangan basket dan taman belakang sekolah yang rimbunnya bukan main. Aku bergidik mengingat harus melewati taman belakang. Bukan karena angker sih, tapi karena minim pencahayaan. Nanti kalau aku tersandung batu, jatuh, lalu gegar otak bagaimana?

Samar-samar kulihat bayangan seseorang yang sedang mendribble bola di lapangan. Oh, ada orang selain diriku saat ini. Masa bodoh ah.

"Mbak Kanaya?!"

Aku celingak-celinguk mencari siapa yang memanggilku. Kulihat siluet tadi melambai padaku. Aku mengernyit heran. Siapa itu?

"Lama tidak jumpa," kata sosok tadi ketika sudah berjarak dua meter dariku. "Ternyata murid baru itu kamu."

"Adhyastha?" celetukku. "Sedang apa di sekolah semalam ini?"

"Basket."

Itu sih aku juga tahu, dodol.

"Oh. Kukira kamu lagi rujakan." Aku menggaruk pipi canggung dengan pernyataan konyol tadi. "Umm... aku harus pergi sekarang. Jangan kemalaman kalau pulang," pamitku.

Adhyastha tidak menanggapi.

Itu benar-benar Adhyastha. Manusia yang paling kubenci. Alasanku membenci seorang Adhyastha Kanaka ialah...

... karena aku menyukainya.[]

FORELSKETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang