Chapter 4

32 1 0
                                    

6 Agustus 2016, 10:14 a.m.

Merah.

Matang layaknya tomat, sewarna dengan kepiting rebus. Menjalar sampai telinga, membuat bibir kaku tak berani ucapkan kata. Malu. Sungguh malu diriku dengan segala keserampangan yang mendarah daging, mengakar kuat.

God bless me please.

Kusembunyikan wajah dibalik telapak tangan. Aku menggelengkan kepala masih tidak percaya. Pada dasarnya aku jarang menghina orang saat berada di tempat yang sama dengan orang itu. Kalau pun terjadi,  artinya aku sedang sial karena selalu berakhir ketahuan.

"Dia sudah pergi?" tanyaku memastikan.

"Menurutmu?" Dhea malah balik bertanya.

"Tadi dia dengar atau tidak, ya?" aku masih menutupi muka.

"Mulutmu itu hasil hybrid dengan toa masjid." Dhea menahan tawa yang hampir lolos.

"Oh."

Sialan. Masih sempat-sempatnya Dhea menghinaku. Atau ini karma? Yeah, karma does exist, dude.

"Sudah pergi belum?" aku mengulang pertanyaan tadi.

"Kira-kira?"

Hatiku mencelos mendengar jawaban Dhea yang sepertinya paling bahagia ketika menggodaku. "Ih, Dhea! Beneran nih, dia sudah pergi atau belum?"

"Udah."

Yah, datar amat? Ini malah buat diriku sangsi dengan kebenaran jawaban tadi.

"Yakin?"

"Yakin."

"Bener?"

"Bener."

"Are you sure?"

"Ampun deh, Nay... dia sudah pergi. Cepat buka tanganmu dan liat sendiri sebelum mie gorengmu amblas kumakan," ancam Dhea yang sukses menyingkirkan tangan dari wajahku.

Dan aku hampir tersedak ludah sendiri ketika menyadari bahwa jarak Zaki tinggal dua meter saja dariku. Secepat kilat kuberi tatapan paling mengerikan pada Dhea yang saat ini tertawa ngakak.

"Kamu kok berbohong sih, Dhe?!"

"Siapa yang bohong?" kilahnya. "Dia memang sudah pergi... dari tempatnya semula alias datang kemari menawarkan dagangan."

"Tapi itu beda, Dhe!"

"Sama kok," Dhea dengan kalemnya menyeruput tehku tadi. "Anjir, manis banget!"

Rasain.

Aku mengalihkan pandangan. Zaki tengah sibuk melayani gerombolan siswi yang duduk di seberang mejaku. Dia berjualan apa, ya?

"Kamu ingin beli brownies tidak?" tanya Dhea.

Aku mengernyit. "Memang ada yang menjual? Setahuku tidak ada yang menjual brownies di sini. Kalau memang ada sudah aku borong dari dulu. Kamu tahu kan, aku demen banget brownies."

"Cocok. Orang yang jadi target truth or dare milikmu itu sekarang sedang menjualnya," jelas Dhea bersemangat.

"Apa?!"

"Aku panggil saja, ya? Kamu dan aku sama-sama ingin brownies, kan?"

"Ta--"

"Bang Zaki!" Dhea memotong perkataanku sambil melambaikan tangan. "Beli browniesnya dong!"

"--i kamu Dhe. Sumpah tai kamu," rutukku kecewa. Ini anak benar-benar bikin kesel saja.

Zaki mengangguk dan memberikan kembalian pada salah satu pembelinya sebelum beranjak kemari. Dia membawa sebuah kardus berisikan brownies yang terlihat... lezat. Aku meneguk ludah agak canggung. Elah, aku harus menahan gengsi kalau begini!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 14, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FORELSKETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang