Aku terduduk di sofa cokelat yang terletak di sudut kamar apartemen. Mataku menyipit karena sinar matahari masuk dari sela gorden yang tidak tertutup rapat. Hampir setengah jam aku duduk dan hanya mengumpat dalam hati,
Dasar bodoh! Sekarang kamu pantas disebut Bajingan!
Ya, ya, ya! Baiklah. Aku memang tidak pantas disebut pria baik-baik karena telah meniduri wanita yang sekarang menangis sesengukan di ranjangku. Namanya..., ah, siapa namanya, itu adalah salah satu hal penting yang aku lupakan.
Tunggu, jangan berprasangka negatif dulu. Aku berani sumpah tidak memerkosanya. Dan lagipula, jika kami bercinta sampai dua kali, itu sudah pasti bukan perkosaan, kan? Lalu, aku tidak tahu mengapa sekarang dia menangis tersedu-sedu di atas ranjang yang kami tiduri tadi malam.
Aku akan menceritakan sedikit detail yang kuingat semalam, tentang sebuah pesta yang rutin diadakan kantorku setahun sekali. Dan aku seratus persen yakin, wanita ini bukan karyawan kantor tempatku bekerja. Jadi bagaimana dia bisa ada di sana?
***
Angin malam menerpa wajahku, bukan dalam artian lembut. Rasanya seperti ada yang memasang kipas angin tepat di hadapanku. Astaga, ini bulan Desember, pantas saja sejak tadi langit bergemuruh seperti menyimpan monster besar nan galak di dalamnya. Kumatikan rokok yang sedari tadi menemaniku dan segera berjalan ke dalam gedung. Bukannya aku tidak suka pesta, hanya saja suasana hatiku sedang buruk. Aku memutuskan kembali ke dalam karena sebentar lagi after party akan dimulai. Mungkin aku bisa minta sebotol wine untuk meringankan isi kepalaku yang terasa berat.
Dari kejauhan, aku melihat Mandy, teman kencan malam ini yang sedang asyik mengobrol dengan Nathan, sahabatku. Aku tidak peduli. Ya, sejujurnya aku benar-benar tidak peduli. Hubungan kami hanya sebatas senang-senang. Kata 'serius' benar-benar jauh dari hubungan yang kumiliki dengannya. Selama kami sama-sama menikmatinya, maka terserah ia mau berbuat apa di luar sana. Lagipula, perasaan yang kumiliki padanya pun tidak bisa dibilang cinta. Cih, apa itu cinta?
Aku berjalan menuju meja bar dan meminta sebotol wine. Kupikir segelas saja tidaklah cukup. Seorang bartender hanya bisa memberikannya tanpa berkata apa-apa setelah tahu siapa yang sedang berhadapan dengannya. Setelah itu, aku berjuang melewati kerumunan orang-orang yang mencoba menyapaku. Beberapa dari mereka terlihat seperti penjilat yang berusaha mencari muka untuk kenaikan jabatan atau mendapat kewenangan dalam proyek-proyek basah. Ya, kau tahulah, proyek senilai ratusan juta atau bahkan miliaran yang dengan mudah mereka selipkan ke rekening masing-masing.
Dasar sampah!
Aku berhasil keluar, dan tujuanku adalah taman yang terletak di belakang gedung. Di sana ada kursi panjang yang akan menemaniku minum dan melamun malam ini. Jika kau bertanya apa yang membuatku begitu kacau malam ini, jawabannya adalah kebosanan. Ya, aku bosan. Aku bosan dengan kehidupan jetset yang selama ini menyelimutiku. Bayangkan, dengan mudah aku mendapatkan fasilitas kelas atas di berbagai tempat. Aku bosan dengan kehidupan percintaanku. Aku sudah tidak lagi dapat membedakan mana itu nafsu dan mana itu cinta. Bahkan, aku sudah tidak tahu bagaimana rasanya mencintai dan dicintai. Intinya aku bosan. Dan patah hati. Soal patah hati, akan kuceritakan nanti.
Melanjutkan apa yang sudah dikerjakan Kakek dan Ayahku, bukanlah hal yang menarik. Aku menyukai musik, sejak duduk di bangku sekolah aku ingin menjadi musisi. Namun impianku kandas, bahkan sebelum aku memulainya. Suatu hari, Ayah memporak-porandakan peralatan musik milikku karena aku hampir tidak naik kelas. Sejak saat itu, dengan berurai air mata, kutinggalkan mimpiku tentang musik. Terdengar cengeng memang, tapi belakangan baru aku sadari, ketika seseorang mematahkan mimpimu, maka gairah hidupmu pun ikut mati bersamanya. Hidup terus berjalan hanya karena ingin membuktikan kepada Ayah bahwa aku, putra bungsunya, bisa menjadi kebanggaan. Dan terbukti, aku mampu menggantikannya mengurus perusahaan kami di usia yang relatif muda.
Lamunanku terganggu ketika mendengar suara isakan dari belakang pohon besar di belakangku. Kudengar isakan itu dengan hati-hati. Aku hanya berhalusinasi atau itu memang hantu? Penasaran, aku dekati pohon itu dan menemukan seorang wanita sedang terduduk di rumput yang basah. Dia menangis sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya.
"Hey, apa yang kamu lakukan di situ?" tanyaku heran. Aku sedikit berbisik karena ragu makhluk apa yang berani duduk di bawah pohon malam-malam begini.
"Memancing! Sudah jelas aku sedang menangis," jawabnya terdengar kesal sambil kembali sesengukan.
"Heh, bodoh! Di sini ada kursi, kenapa kamu malah duduk di rumput basah?" Tanpa sadar, aku membantunya berdiri. Awalnya dia menolak, tapi aku memaksanya dan membawanya ke kursi panjang yang tadi sempat kududuki. Ada sinar lampu yang meskipun remang, tapi cukup membantuku melihat dengan jelas wajahnya.
Rambut hitam sebahu sangat kontras dengan kulitnya yang sedikit pucat. Matanya bulat seperti boneka. Secara keseluruhan dia cantik, sayang bukan tipeku. Aku menyukai wanita yang... kau tahulah tipe wanita masa kini. Modern, seksi, dan kuat. Kuat untuk mengimbangiku di ranjang. Dan sepertinya, pertemuan pertamaku dengan wanita ini sudah cukup menjelaskan betapa lemah dan cengengnya dia.
"Temani aku minum, aku yakin kamu tidak akan sedih lagi setelah itu"
Dia menggeleng pelan, "Aku tidak pernah minum alkohol."
"Ya, kalau gitu coba saja," ujarku masih meyakinkannya.
Dia terlihat ragu, tapi akhirnya menerima botol yang aku sodorkan padanya. Wine tidaklah terlalu buruk untuk pemula, meskipun wajahnya agak mengernyit saat meminumnya.
"Not bad," ujarnya sambil tersenyum tipis.
Aku terkekeh, kemudian menoleh padanya. "Apa yang membuatmu menangis?"
Jujur, aku penasaran.
"Aku sedang mengalami masa yang sulit." Wajahnya berubah muram.
Aku menarik napas, "Aku juga..."
Dia tersenyum sinis, bahkan tanpa menoleh padaku.
"Kenapa?" tanyaku lagi. Aneh dengan responsnya, seolah tidak percaya dengan jawabanku barusan.
"Kamu? Sedang mengalami masa sulit? Nggak percaya." Matanya berusaha menilaiku.
Gadis pintar, pikirku dalam hati.
Aku tertawa terbahak-bahak, rasanya alkohol sudah mendominasi pikiranku. "Kau tahu, kadang memiliki segalanya terasa membosankan. Orang-orang berlomba ingin memiliki apa pun yang mereka inginkan, tapi percayalah, ketika kamu sudah memiliki semuanya, hal itu akan membuatmu bosan."
Dia mengernyitkan kening, terlihat heran. Saat mulut mungilnya terbuka dan bersiap bertanya sesuatu, aku langsung memotongnya.
"Sudahlah, mari kita minum saja." Kusodorkan botol wine lagi padanya.
Perbincangan itulah yang terakhir kuingat. Selain itu, aku tidak ingat bagaimana awalnya sampai kami berciuman, dan aku menelepon supir untuk segera menjemput dan membawa kami ke apartemenku.
Bajingan sekali bukan? Memanfaatkan wanita yang sedang bersedih untuk kepuasanku. Tapi aku jelas sedang mabuk, karena aku tidak akan melakukannya dengan wanita yang baru kukenal.
Lalu bagaimana sekarang? Bagaimana jika ternyata dia bukan wanita baik-baik? Bagaimana jika kejadian ini juga digunakannya untuk memanfaatkan kekayaanku? Sehingga ia dapat memerasku.
Ah, bukankah hal itu tidak akan menjadi masalah. Karena berapa pun yang ia inginkan, aku pasti dapat memberikannya. Jadi, persoalan beres bukan?
Belum, ternyata belum. Ternyata, Ini baru awalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stick With You (TERBIT)
RomanceKarena satu kesalahan, Alaric dan Sandra harus membuat sebuah perjanjian. Mereka akan tinggal bersama sampai bayi yang dikandung Sandra lahir tanpa ikatan apa pun. Namun cinta kerap kali menyusup diam-diam tanpa bicara. Singgah ke dalam relung hati...