Matahari terik terasa membakar kulitku. Semakin terbakar, aku semakin senang. Semakin perih, aku semakin bahagia. Itu artinya, ada rasa sakit lain yang bisa kuterima selain sakit di hatiku. Sudah hampir dua bulan berlalu sejak aku mengunjungi Anindita dan Alfa di Ubud, Bali. Keesokan paginya, setelah malam perayaan kehamilan Anindita, aku langsung terbang ke Australia. Kebetulan perusahaanku baru saja membuka proyek apartemen di kota Melbourne, sehingga aku ada alasan untuk lari dari kenyataan. Bahkan sempat aku berpikir, apa sebaiknya aku tinggal di sini saja? Rasanya, sudah tidak ada lagi alasan untukku tetap tinggal di Jakarta.
'Viva La Vida' milik Coldplay membuyarkan lamunanku. Kulihat nama Nathan terpampang di layar ponselku.
"Hmm...," jawabku malas.
"Gue emang nyuruh lo liburan, tapi nggak selama ini juga, kali. Asal lo tahu, ya, gue hampir gila di sini ngurusin semuanya sendirian!" Nathan berteriak kesal.
"Gue belum mau pulang, terserah mau lo apakan perusahaan Bokap gue."
"Gue tahu, selain untuk menenangkan diri, lo juga sembari membantu pengurusan pembangunan proyek apartemen di sana. Tapi masalahnya, waktu lo paling lama di sana itu hanya satu bulan. Dan ini sudah dua bulan dan lo belum pulang juga. Berhentilah bersikap seperti anak kecil yang bosan pada mainannya," ucap Nathan sambil bersungut-sungut. Aku tahu dia sebenarnya peduli padaku, tapi sumpah demi Tuhan, aku masih ingin berlama-lama di sini.
"Al, please...,"
Aku mendecak kesal, "Iya, iya. Gue pulang. Tapi berikan gue waktu beberapa minggu lagi."
Dia kembali berteriak, "Aaarggh! Yaudah, terserah! Gue nggak peduli lo mau pulang kapan. Gue cuma mau menyampaikan, ada cewek nyari lo. Sandra, namanya." Nathan menutup teleponnya dengan kesal.
Aku terdiam cukup lama. Otakku berpikir, mencoba mencari-cari memori tentang nama itu.
Sandra?
Yang mana, ya?
Astaga! Gadis pucat yang menangis di bawah pohon itu. Yang sempat kutiduri sebelum kepergianku ke Ubud. Kenapa dia mencariku?
Tiba-tiba, aku berharap punya pintu ke mana saja seperti milik Doraemon agar segera mengantarku ke Jakarta sekarang juga.
***
Aku berusaha menutupi kantung mata dengan kacamata hitam. Semalam aku langsung ke airport dan mencari penerbangan ke Jakarta tercepat. Sejak Nathan menyebutkan nama wanita itu, mataku sama sekali tidak bisa terpejam. Tiba-tiba ingatanku melayang pada sikap kakunya saat dia sadar apa yang kami lakukan. Tatapannya kosong setelah cukup lama menangis. Betapa bodohnya aku, jangan-jangan aku sudah menghancurkan hidup seorang wanita.
Dari kejauhan, aku melihat Pak Darmin, supir pribadiku, melambaikan tangannya. Dia langsung mendekat dan mengambil koperku. Aku mengikutinya menuju mobil.
"Mas, ke apartemen atau ke kantor?"
Aku memijat pelipisku, "Ke kantor dulu, Pak."
Pak darmin langsung membawaku menuju kantor yang terletak di pusat kota. Aku mencoba terpejam dalam perjalanan meskipun hanya sesaat. Kepalaku terasa berdentum, dan ada perasaan tidak enak yang sejak tadi malam menghantuiku.
Saat usiaku 10 tahun, kucing kesayangan keluarga kami sakit. Sore hari dia dibawa ke dokter hewan. Semalaman aku tidak bisa tidur dan seperti dihantui perasaan tidak enak. Seperti saat ini rasanya. Keesokan harinya, Walnut –nama kucingku- diberitakan telah meninggal. Jika perasaan ini adalah perasaan yang sama dengan yang kurasakan saat kejadian itu, maka sesuatu yang buruk pasti sedang terjadi. Dan firasatku mengatakan ini berhubungan dengan wanita pucat bernama Sandra itu.
Suasana kantor masih ramai saat aku menginjakkan kaki di sana. Ina membelalakkan matanya seperti melihat hantu ketika aku muncul di hadapannya.
"Terima kasih Tuhan, akhirnya Bapak pulang juga." Entah dia benar-benar bersyukur atau sekadar menyindir kepulanganku.
Aku bergegas masuk ke ruangan kerja sambil berteriak padanya, "Bawa masuk semua file yang harus kutandatangani dan daftar tamu yang mencariku saat aku pergi." Ina tidak menjawab, tapi ia langsung melompat dari kursinya dan melaksanakan perintahku.
Ketika masuk ke ruanganku, wanita bertubuh tinggi itu terlihat tergopoh-gopoh membawakan beberapa file. Yang kulakukan pertama adalah memeriksa buku tamu. Mencari nama wanita itu di antara sederet nama orang yang datang untuk mencariku.
Nah. Ini dia!
Sandra Alexandria. Rupanya itu nama lengkapnya.
"Na, Sandra ini sempat kasih tahu alasan dia mencari saya, nggak?"
Ina terlihat berpikir kemudian menggeleng. "Tidak, Pak."
"Dia meninggalkan sesuatu? Nomor telepon atau alamat?"
Sekali lagi Ina menggelengkan kepalanya. Namun dia teringat sesuatu, "Ah, tapi dia berjanji akan kembali. Mungkin saja hari ini."
Senyumku terkembang. Sebenarnya aku hanya merasa penasaran saja, apa, sih, yang membawanya kemari untuk menemuiku? Mengingat terakhir kali kami berpisah, dia bahkan tidak mengucap sepatah kata pun.
Aku menunggunya sambil memeriksa beberapa file. Hampir satu jam dan kepalaku sudah ingin pecah akibat kelelahan. Sepertinya aku akan pulang saja ke apartemen. Mungkin Sandra akan datang besok. Atau besoknya. Atau besoknya lagi. Siapa tahu kedatangannya hanya sekadar ingin mengobrol denganku. Yang jelas, saat ini aku butuh mandi dan tidur.
Ketika aku bangkit dari kursiku, terdengar ketukan pelan dan Ina menyembulkan kepala dengan mata berbinar.
"Dia ada di sini," bisiknya.
Bola mataku hampir keluar saking terkejutnya. Baiklah, itu berlebihan. Dengan segera aku menyuruhnya masuk.
Seorang wanita berjalan masuk ke ruanganku. Tubuh mungilnya dibalut celana hitam dan blouse berwarna biru langit. Di lehernya tergantung kalung dengan liontin berukiran namanya dalam tulisan latin. Aku baru menyadari bahwa dia tidak pucat. Perbedaan kontras antara rambut hitam dan kulitnya yang putihlah yang membuatnya terlihat pucat.
"Sandra?"
Aku memanggil namanya dan mata kami bertemu.
"Silakan duduk."Aku mempersilakannya duduk di sofa hitam.
Dengan ragu dia melangkah dan duduk di sana.
"Kau ingin minum sesuatu? Panas? Dingin?" tanyaku cepat, berusaha mengakrabkan diri dengannya.
Dia menggeleng. Tampaknya dia tidak menginginkan apa pun kecuali bicara denganku. Aku mengalah dan duduk di sampingnya. Tangannya terlihat meremas ujung blouse-nya. Mengapa dia terlihat begitu cemas?
Aku segera duduk di kursi yang berhadapan dengannya.
"Ada yang bisa aku bantu, San?"
Matanya bulatnya menatap mataku. "Aku... hamil." Suaranya bergetar.
Ha?
Tadi dia bilang apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Stick With You (TERBIT)
RomanceKarena satu kesalahan, Alaric dan Sandra harus membuat sebuah perjanjian. Mereka akan tinggal bersama sampai bayi yang dikandung Sandra lahir tanpa ikatan apa pun. Namun cinta kerap kali menyusup diam-diam tanpa bicara. Singgah ke dalam relung hati...