stick with you part 2

221K 7.2K 33
                                    

Aku mengajaknya sarapan. Meskipun lajang, tapi dapurku selalu lengkap. Baiklah, aku akui itu pekerjaan Ibuku yang cerewet karena terlalu takut anaknya mati kelaparan.

Wanita berparas pucat itu duduk di meja makan sambil melamun. Pada akhirnya – setelah berpikir keras, aku bisa mengingat namanya. Sandra. Dan astaga, apakah dia begitu terpukul dengan apa yang terjadi semalam? Bukankah semalam dia juga bersenang-senang bersamaku?

Aku berdehem, berusaha memecah keheningan yang terasa menyesakkan saat menaruh sepiring omelette keju dan jus jeruk untuknya.

Dia menatapku gamang. "Apa benar kita melakukannya semalam?" Suaranya bergetar.

"Apa kau sama sekali tidak ingat?" Apa pertanyaannya perlu diganti dengan, apa kau tidak merasakannya?

Dia menggeleng pelan. Kemudian mulai menyendokkan omelette ke bibir tipisnya. Kami sarapan dalam diam. Aku sendiri tidak tahu harus bicara apa. Dia hanya memakan setengah dari isi piringnya, kemudian meminum jus jeruk yang juga di sisakan setengah.

Sandra berdiri, "Aku harus pergi."

"Tunggu dulu." Aku berlari ke kamar dan mengambil sebuah kartu nama dari meja kecil.

"Ini... simpanlah. Jika kau butuh sesuatu atau mungkin kau butuh teman ngobrol, kau bisa menghubungi aku."

Maafkan aku jika itu hanya basa-basi. Aku tahu bahwa Sandra masih bingung dan aku siap menjelaskan kapan pun dia ingin mendengarkan.

"Terima kasih." Suara kecil itu keluar dari bibirnya. Dan setelah itu, dia berbalik menuju pintu tanpa menoleh lagi.

Bahuku merosot menahan beban yang sedari tadi kutahan. Tidak pernah ada satu pun wanita yang mengintimidasiku. Tapi Sandra, astaga, dia bahkan tidak berkata apa-apa. Yang aku tahu hanya dua hal, namanya Sandra dan dia sedang dalam masa yang sulit. Oh, iya satu lagi, aroma tubuhnya seperti bunga lavender.

***

Hari ini, rasa malas benar-benar mendominasi pikiranku. Aku bahkan datang ke kantor tanpa setelan jas. Semua meeting yang sudah diatur oleh Ina, sekretarisku, harus dijadwal ulang. Aku tidak peduli, aku jelaskan sekali lagi, lama-lama kebosanan ini bisa membunuhku pelan-pelan.

Pintu ruang kantorku terbuka dan Nathan berdiri dengan tatapan heran. "Lo kenapa?" Dia berjalan masuk dan duduk di kursi yang berhadapan denganku.

Aku menjawabnya dengan gelengan kepala.

"Lo batalin semua meeting hari ini. Muka lo kayak nggak mandi dan nggak tidur gitu. Ada apa?" tanyanya sekali lagi.

Nathan adalah orang kepercayaanku di kantor. Kami bersahabat sejak kecil dan sama-sama menimba ilmu di negeri Paman Sam. Saat pulang ke Indonesia, aku langsung mengajaknya bekerja sama menangani perusahaan properti milik Ayahku.

Aku mengangkat bahu dan berjalan menuju jendela besar di samping meja. "Gue jenuh. Lo tahu kan, ini bukan keinginan gue." Suaraku bahkan terdengar menyedihkan di telingaku sendiri.

"Tapi lo berhasil. Nggak semua yang kita impikan bisa kesampaian. Maka terimalah."

Aku terdiam, sekali lagi merenung. "Gue mau berhenti."

Nathan terlihat terkejut dan bangun dari kursinya. "Maksud lo? Apa yang barusan lo omongin itu nggak serius, kan?"

"Gue serius." Aku memijat keningku yang tidak pusing.

"Oke, mungkin lo butuh liburan. Well, gue akan minta Ina untuk mengatur semuanya," ujar Nathan sambil berdiri.

Aku tidak menahannya ketika Nathan beranjak keluar menuju meja sekretarisku. Sekali lagi, aku melihat ke bawah melalui jendela besar.

Ya, selain kebosanan dengan hidup dan pekerjaan yang tidak kuinginkan, ada hal lain yang mengacaukan pikiranku. Seorang wanita yang pernah merebut hatiku, tapi kemudian malah memilih Kakakku menjadi suaminya. Miris. Menyedihkan.

Anindita. Wanita sederhana yang membuatku jatuh hati selama bertahun-tahun lamanya. Dia pindah tepat di seberang rumahku, dan sejak itu kami berteman. Anindita terlihat begitu cantik dengan caranya. Rambut panjang yang digerai, wajah yang tanpa ulasan make up, belum lagi senyum yang menawan. Ah, lagi-lagi aku mengingatnya, membayangkannya ada di dalam pelukanku sementara dia sudah menjadi Kakak iparku sendiri.

Kuangkat interkom yang langsung menuju ke meja Ina. "Na, tolong pesankan tiket ke Bali."

"Ya, besok pagi. Semua urusan serahkan kepada Nathan," sambungku lagi.

Oke, sudah kutentukan. Aku akan mengunjungi Anindita dan Kakakku, Alfa, di Bali. Melihat dan memastikan apakah dia bahagia hidup bersama pria lain.

Stick With You (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang