{in media : Guanlin as Alin}
Pernahkah kamu merasa sangat canggung di sekeliling orang yang menatapmu dengan tatapan aneh dan sangat—observatif? Well, saat ini aku sedang mengalaminya.
Hampir semua orang diruangan OSIS menatapku dengan tatapan penuh intimidasi. Hampir semua kecuali Daniel. Dia hanya sibuk memainkan suatu benda kecil yang kuyakini adalah mainan kuno, tamagotchi.
"Rafa, lo yakin yang ini orangnya?" ucap Austin—ketua OSIS ku—sambil menoleh kepada Daniel. Ah, sepertinya pengurus OSIS lebih sering memanggilnya Rafael, bukan Daniel.
Ku alihkan pandanganku pada Daniel dan melihat dia mengangguk namun masih tidak mengalihkan pandangan dari tamagotchi nya. "Anastasia Jihan cuma satu, dan dia yang gue temuin di ruang radio sekolah tadi."
"Tapi ini nggak sesuai sama yang lo bilang tadi, Rafa. Kata lo dia—"
"Gue kan nggak bilang gue yakin sama ucapan gue sebelumnya. Mumpung orangnya ada disini, kenapa kalian nggak tanya langsung?"
Nada bicara Daniel sangat—ketus. Aku tidak suka itu. Aku tidak suka saat dia menggunakan pronomina 'orangnya' saat aku memiliki nama sendiri. Huh, seandainya aku bisa membenci nya dalam satu detik.
Dan apa yang sebenernya mereka katakan? Apa mereka sedang membicarakanku? Situasi ini sangat tidak nyaman, dan mereka malah membuatnya makin buruk dengan membicarakan aku di depan diriku sendiri.
"Kalian ngomongin soal gue? Kalo iya, Daniel betul, kenapa nggak tanya sama gue aja mumpung gue disini?"
Kuperhatikan alis Austin sedikit menekuk saat menjawab, "Daniel siapa—oh? ah, Rafael? Okay gue sama yang lain sebenarnya pengen tanya beberapa hal soal lo." Austin menunjuk kursi di dekat pintu, posisinya bersebelahan dengan tempat duduk Daniel. "Duduk aja dulu."
Setelah aku duduk, Austin kembali berkata, "Jihan, suara lo bagus banget tadi di radio sekolah." aku sedikit mengerutkan kening. Ini bukanlah hal yang kuharapkan mengingat mereka menatapku dengan sangat intens beberapa detik yang lalu. "Seperti yang lo tau, bulan depan sekolah kita bakal ngadain pensi. Gue dan pengurus OSIS lainnya pengen lo buat tampil di pensi nanti. Sebagai perwakilan seni menyanyi di sekolah kita."
Aku membelalakan mata mendengar ucapan Austin. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku tidak suka jika suaraku di publikasikan, karena itu aku tidak memilih masuk paduan suara meski suaraku tergolong bagus. Tapi apa ini? Kenapa sekarang OSIS malah menyuruhku untuk mempublikasikan suaraku di depan ratusan—atau mungkin ribuan—murid SMA Harapan Bangsa dan beberapa tamu dari sekolah lainnya?
Dengan cepat aku menggeleng. "Gue nggak bisa. Kenapa nggak suruh anak paduan suara aja? Suara gue juga nggak bagus."
"Semua anak padus udah dikirim ke Yogygakarta buat lomba dua minggu kedepan." jawab Tara dengan nada jutek nya. Ah, akhirnya ia menunjukan sifat aslinya yang buruk itu.
"Dan lo kenapa nggak ikut? Lo kan anak padus."
"Ngapain amat, urusan OSIS lebih penting."
Nada bicaranya sekarang penuh dengan kemunafikan. Sepertinya ada tujuan lain kenapa dia tidak ingin ikut. Ah, aku tahu. Dia ingin tampil di pensi sebagai anggota padus yang tersisa, namun sepertinya anggota OSIS malah tidak sengaja mendengar nyanyianku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Radio Sekolah
Fiksi RemajaJihan suka dengan Daniel sejak pertama kali Daniel pindah ke samping rumah nya. Jihan suka dengan Daniel dan selalu menunggu Daniel menyadarinya. Tapi masalahnya, apa Daniel akan menyadarinya? Sifat Daniel yang dingin saja membuat Jihan tidak yakin...