D U A

12.3K 1.1K 29
                                    

Ada kalanya seseorang akan memaafkan kesalahan yang diperbuat oleh orang lain, namun ada kalanya juga seseorang tidak dapat melupakan apalagi memaafkan kesalahan tersebut.


Dana merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang masuk ke dalam kategori kedua. Dimana ia tidak dapat melupakan apalagi memaafkan kesalahan yang aku perbuat. Dana mengingat itu semua dan ia berhasil menbalaskan rasa sakit yang aku torehkan padanya dengan membawa wanita lain ke atas pelaminan yang seharusnya menjadi milikku.


Meskipun kami belum bertunangan secara resmi, Dana sudah menganggapku sebagai tunangannya karena; a) Aku menerima lamarannya ketika Dana mengajakku menikah, dan b) Aku menggunakan cincin murahan yang Dana belikan di salah satu pusat perbelanjaan ketika kami sedang berada di Bandung, sebagai tanda kesediaanku untuk menyiapkan diriku untuknya seorang. Semacam promise's ring.


Jadi, ketika aku melakukan kesalahan tersebut, Dana benar-benar sakit hati. Ia bahkan tak perlu pikir panjang untuk menghinaku dengan berbagai macam hinaan yang tidak pernah aku sangka dapat keluar dari mulut Dana, terlebih ia tujukan untukku.


Kini, berjalan menuju ruang rawat inap Dana, aku bertarung dengan pikiran dan memori masa lalu yang berkelebat tepat di depan mataku. Ketika Dana mendapati aku dan Kafin berciuman, Dana memakiku, Dana memutuskan hubungan kami, hingga Dana yang membawa gadis asing ke villa yang kami pesan. Aku ingat semua itu dengan jelas. Tiada hati tanpa penyesalan aku lalui. Aku kerap menyalahkan diriku sendiri atas peristiwa-peristiwa tersebut.


Akankah Dana bersikap repulsive ketika ia melihatku nanti? Apa yang akan aku lakukan kalau Dana nanti justru mengusirku karena ia tidak ingin melihatku?


"Lo masuk duluan, Kar. Ada Tante Teti di dalam bareng sama Om Ramadi dan Kafin." Bima—kekasih Ninis—menegurku ketika aku terus terpaku di depan pintu kamar inap Dana.


Aku mengalihkan pandanganku kepada Ninis yang kini bergelayut manja pada Bima dan Dinda yang juga melakukan hal serupa dengan lelaki yang tidak aku kenali itu. Seakan mengerti pergolakan hatiku, Ninis mengangguk, berusaha menolongku menentukan pilihan yang sangat berkemungkinan besar dapat merusakku untuk kedua kalinya. Aku juga sudah mempersiapkan skenario terburuk tersebut dengan meminta Dinda atau Ninis untuk langsung menghubungi terapisku kalau memang pertemuanku dengan Dana nanti berakhir mengenaskan.


Aku kembali memandangi pintu kayu di hadapanku itu. Detak jantung yang tidak karuan, tangan yang bergetar hebat, peluh yang mulai bercucuran, jujur, aku bagaikan sedang terkena panic attack. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikiran dan tubuhku yang rasanya tidak karuan. This is it, aku tidak mungkin mundur lagi.


Ini saatnya bagiku untuk menghadapi salah satu ketakutan terbesarku.


Tangan kananku meraih handle pintu berlapiskan alumunium itu, aku tekan perlahan sembari mendorong daun pintu itu perlahan. Punggung Kafin dan kedua orang tua Dana menyambutku. Aku kembali terdiam ketika kedua mataku bertumpu pada sesosok yang terus mengisi hati dan pikiranku.


Dana terbaring lemah dan tidak berdaya di atas kasur dengan tangan kanan dibalut gips serta penyangganya dan kaki kiri yang juga mendapati pengobatan serupa. Belum lagi wajah tampannya yang penuh luka dan lebam. Kepalanya pun tak luput dari balutan kassa berwarna putih. Dana benar-benar terlihat mengenaskan.

Bound By MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang