Di Atas Angin

11.6K 821 24
                                    

Seorang perempuan cantik berjalan di lorong sekolah, semua mata memandang ke arahnya. Beberapa anak perempuan lain terlihat mencibir, ada tatapan iri dari mata mereka saat menatap si perempuan cantik. Tapi pasangan mata lainnya terlihat takjub, kebanyakan anak laki-laki, mereka memuja namun tak mampu berkata-kata.

Rona namanya, anak perempuan satu-satunya keluarga Rejata. Keluarga terpandang yang menguasai kekayaan separuh kota ini. Tubuhnya melenggang bagai seorang selebriti, yang sadar bahwa seluruh perhatian sedang tertuju kepadanya. Entah sudah berapa puluh laki-laki yang dia tolak, tak pernah ada yang berhasil mendapatkan hati "Rona Rejata".

Hari ini kornea matanya berwarna biru, beberapa hari yang lalu terlihat hijau. Agak berlebihan untuk seorang pelajar, memakai lensa berwarna di sekolah. Tak apa bagi seorang Rona Rejata, suka-suka saja. Toh sebagian besar saham di sekolah swasta ini juga milih Ayahnya. Dia bisa sesuka hati bersikap, abaikan saja segala peraturan, karena semua guru tunduk padanya. Bahkan kerap kali kepala sekolah coba menjilat pada anak berumur 16 tahun itu.

Sikapnya tinggi hati, dia tahu keluarganya bukanlah orang sembarang. Rona Rejata mengerti benar bagaimana memanfaatkan keadaan. Di depan kedua orangtuanya, dia akan bersikap seperti anak paling baik di dunia. Tapi di sekolah, dia bersikap seenaknya bagai seorang putri raja. Banyak yang tak suka padanya, mencari celah kekurangan seorang Rona. Beruntung otaknya sangat encer, hingga orang tak berhasil temukan satupun kekurangan dalam dirinya.

Percaya atau tidak, selalu ada asisten di belakangnya setiap waktu. Mungkin di belahan bumi Indonesia ini, hanya dia yang pergi ke sekolah ditemani asisten. Jika dia mengantuk, dia akan tertidur pulas tanpa beban di kelas. Sang asisten yang akan mencatat semua pelajaran di kelas. Tak dekat dengan siapapun, anak ini bagai tak punya teman. Sepupu jauh yang satu sekolah dengannya pun seolah tak saling kenal. Hanya beberapa anak yang disapanya sepulang sekolah, tentu saja yang menurutnya layak untuk disapa. Beruntung jika dia ingat nama, seringkali dia hanya menyapa karena merasa kenal. Sisanya, diabaikan.

Sejak kecil hidupnya tak pernah susah. Bagai itik buruk rupa, dia bermetamorfosa dengan cepat menjadi seekor angsa yang menawan. Orang bilang, uang adalah segalanya. Dengan uang, si itik berubah menjadi sangat cantik. Banyak suara nyinyir berbisik, "Dulu dia lusuh sekali, jelek..."

Tapi Rona Rejata, tak acuh pada hal remeh seperti itu. Kepalanya sibuk memikirkan bagaimana caranya menjadi seorang perempuan yang seperti Ayah dan Ibunya harapkan. Sosok keduanya merupakan panutan. Kaya, terpandang, dan tentu saja terhormat. Hanya saja, anak perempuan ini tak mampu menahan diri dari kesombongan. Dia merasa kalau dirinya sangat istimewa. Hal-hal kecil seperti teman-temannya di sekolah bukan hal penting. Tak peduli apapun yang mereka bicarakan, toh tak akan mengubahnya menjadi terpuruk.... dan sengsara.

Entahlah, dia begitu takut menjadi miskin. Ada suatu hal yang membuatnya sangat takut akan hal itu...

Setiap menonton berita di televisi, atau surat kabar yang membahas tentang kriminalitas kaum papa, dia akan merasa ketakutan. Segera dia tutup kedua telinga dan matanya. Sang asisten paham, tuannya begitu cemas akan hal seperti itu. Buru-buru perempuan muda itu mematikan tv, atau merebut koran yang dibaca Rona.

                                         ***

Seisi kelas menunggu guru pengawas ujian matematika datang. Mereka tegang karena hari ini adalah hari ujian untuk kelulusan mereka dari SMA. Banyak rencana dalam kepala, namun bisa saja buyar jika nilai ujian matematika ini hancur. Hanya Rona yang terlihat santai, sang asisten tak ikut masuk kelas seperti biasa. Perempuan itu duduk di depan kelas memandangi sang tuan putri, bibirnya komat-kamit mendoakan agar Rona bisa menyelesaikan soal ujian dengan baik. Tuan dan Nyonyanya di rumah sempat menitip pesan, "Kalau Rona gagal dalam ujian, semua salahmu... Marni." Meski dia tahu ini hanya canda, tapi dia tetap waswas takut disalahkan, jika hal itu terjadi.

Pengawas datang, semua siswa mulai mengerjakan soal dengan serius. Rona, dia tersenyum membaca soal, dengan senyum meremehkan khasnya. Hanya butuh 30 menit untuk menyelesaikan semua soal itu, lantas dia melenggang dengan anggun melewati teman-temannya yang masih berjibaku dengan soal. Anak-anak kelas riuh memelototi Rona, sebagian bertepuk tangan melihatnya mengumpulkan soal dan jawaban dengan sangat percaya diri. Percaya atau tidak, sudah bisa dipastikan... nilainya 100. Soal seperti itu terlalu mudah untuk jenius semacam Rona.

Benar saja, namanya muncul sebagai siswa dengan nilai tertinggi, lulus sempurna. Rona istimewa, dan kesempatan besar di depan sana sudah menanti. Kedua orangtuanya berencana menyekolahkan dia ke Amerika, jika memungkinkan... dia akan dikirim ke Harvard University. Hanya sekolah itu yang layak untuk anak sepintar Rona. Sekolah di negeri ini terlalu mudah untuknya. Keberuntungan memang selalu berpihak padanya, dan perempuan sombong itu menganggap segalanya mudah.

Marni, perempuan muda yang selalu mendampinginya... hanya satu-satunya manusia yang selalu ada di dekat Rona. Namun tak sekalipun ucapan terimakasih terucap dari bibirnya, untuk sekadar berterimakasih atas segala pengorbanan yang Marni lakukan untuknya. Mereka tumbuh besar bersama, hanya saja... Ibu Marni hanya seorang asisten rumah tangga di rumah keluarga Rejata, berbeda dengan kondisi Rona yang bergelimang kekayaan dan kasih sayang.

Marni dan Ibunya muncul saat Rona berumur 6 tahun. Awalnya Nyonya Rejata berempati pada pengemis yang sedang menggendong anaknya di perempatan jalan. Berbaik hati, sang Nyonya mengajaknya tinggal bersama di rumah besar keluarga itu dan mempekerjakan menjadi pembantu rumah tangga dengan kehidupan yang jauh lebih layak daripada sekadar menjadi pengemis.

Sejak kecil, Marni menjadi pengikut setia Rona. Bukan sahabat, karena anak itu tak diperlakukan layaknya seorang sahabat. Marni yang pertama kali menawarkan diri untuk menjadi seorang asisten untuk Rona, dia malas bersekolah meski tuan dan nyonya Rejata memintanya untuk tetap bersekolah.

Mereka tak tahu...

Si nona muda keluarga itu yang sebenarnya memaksa Marni untuk tak usah bersekolah hanya untuk menemaninya kemanapun dia pergi. Marni bersikap seolah memang dirinyal lah yang ingin tetap berada di samping Rona, seakan dia begitu menyayangi tuan putri dengan sepenuh hati.

Ibu Marni tahu hal ini, hati kecilnya menjerit karena tahu sang anak sangat takut pada si tuan putri. Dalam doanya, dia berharap Tuhan akan melindungi anaknya dari sosok anak keluarga Rejata yang terlalu mengekang Marni. Hampir semua waktu Marni habis untuk melayani perempuan sombong itu. Wanita miskin itu bersedih, sang anak terlihat tak punya masa depan seperti harapannya sebagai seorang Ibu. Dia ingin anaknya bersekolah, tapi tak berani menentang keinginan Rona. Hanya Tuhan dan dirinya sendiri yang tahu bagaimana keadaan sebenarnya. Dia yakin, Marni ingin sekolah dan bergaul dengan banyak anak seusianya. Tapi terlalu takut menghadapi putri satu-satunya keluarga kaya ini.

Rona, dia tak peduli sekitarnya. Yang dia pikirkan hanya dirinya sendiri. Anak itu sangat percaya diri. Cenderung gemar meremehkan segala hal. Dia tak tahu, hidup tak selamanya berjalan mulus. Suatu saat dia akan menyadarinya, tak lama lagi dia akan menyadarinya.

ASMARANDANAHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin