Tinggal Kita Berdua

25.8K 1.5K 78
                                    

Seorang laki-laki paruh baya tengah menangis, di samping jasad kaku penuh darah berselimut kain lapuk. Anak kecil di pangkuannya hanya asik memilin rambut, tak ada kesedihan dalam raut wajah si anak.

"Menangislah, nak. Seolah Ibumu memang berarti untukmu..." Sang lelaki mengusap kepala anaknya anaknya. Sesaat anak itu diam, tak sampai 10 detik perhatiannya teralihkan pada sepotong kaca yang menggambarkan wajah dirinya. Di ambilnya serpihan kaca yang lebih kecil, matanya menatap lekat sebuah mata berwarna abu. Keningnya mengernyit, lalu dia tatap mata laki-laki di sampingnya dengan keheranan. "Pa... pa" Ucapnya sambil menunjuki sebelah mata si laki-laki. Laki-laki itu menangis lebih keras, semerta-merta memeluk tubuh si anak. "Hanya tinggal kita berdua... tak ada Ibu", katanya.

Bertiga, dalam gubuk kecil di pinggiran kali. Tak ada sesiapa yang bersimpati atas meninggalnya seorang perempuan dewasa yang sebelumnya sibuk mengurusi ayah dan anak ini. Terlalu lelah, begitu katanya. Mengurusi suaminya yang buta sejak lahir, dan seorang anak perempuan bermata abu. "Persetan dengan cinta, hanya membuat hatiku terus tak bahagia!!! Kebutaanmu membuatku muak! Tak berguna!!!!" Teriak wanita itu pada sang suami malam tadi, sebelum akhirnya dia putuskan urat nadi di tangan dengan menggunakan cermin yang sempet dia lempar ke arah suaminya.

Sang anak terlelap tidur, sampai tiba-tiba Ayahnya mengguncang tubuh si anak sambil menangis histeris. Meski dia buta, telinganya tak tuli, dan hidungnya dengan jelas mencium bau anyir darah sang istri. "Aku tahu, darah ini milikmu sayang! Aku hapal betul bau ini!!!" Dengan panik, laki-laki itu mencari tubuh wanita yang disayanginya. Tangis tak terbendung, tatkala sadar... nadi itu tak bisa digenggam untuk sekadar menakar detak.

Asmarandana, anakku sayang anakku malang...
Hanya tinggal kita berdua, di bawah kuasa Tuhan yang Maha Penyayang. Biarkan Ibumu pergi, hanya kau dan aku sekarang.

Jasad itu hanya dibenamkan, beberapa batu diikatkan memakai tali disana. Manalah mampu dirinya membeli sepetak tanah untuk sekadar mengubur jasad. Tak ada uang di kantungnya, sang mendiang tak pernah memberitahu dimana dia menyimpan uang hasil memijat. Ya, laki-laki itu hanya seorang tukang pijat. Bersama anak semata wayangnya yang kini piatu, dia berencana untuk pergi.

Wanita itu sebenarnya baik, pernah saling mencintai. Namun kemiskinan membuatnya gila, kesepian membuatnya tak tahan menjadi manusia. Seorang anak perempuan pendiam yang dilahirkannya pun toh tak juga membuatnya kembali normal. Wanita itu gila, rela membunuh dirinya sendiri hanya karena miskin. Kasihan... kini mereka hanya berdua, bahkan sang Ayah tak tahu apa yang selama ini dimakan oleh si buah hati.

Anak itu mulai menangis, merengek minta makan.... lantas merengek minta susu. Sebut saja itu susu, meski sebetulnya hanyalah air beras yang disaring dan di campur sedikit gula. Mereka berdua sama-sama tak tahu, betapa sang Ibu mulai tersiksa tatkala penghasilan suaminya bahkan tak mampu membelikan anaknya susu untuk tumbuh dan bertahan hidup.

"Kau terlalu naif, Ujang! Mau saja dibayar murah oleh orang-orang yang memanfaatkan kedua tanganmu untuk memijati tubuh gendut mereka!" Hanya kata-kata itu yang diingat suaminya saat sang Istri mulai meracau. Laki-laki itu hanya bisa menundukkan kepala sambil bicara, "Aku memang tak melihat, aku memang naif. Tapi percaya sayang, Tuhan maha melihat, maha tau. Suatu saat dia akan tunjukkan kuasanya, keagungannya. Setidaknya buat anak kita."

Asmarandana... seandainya kau tahu bagaimana Ibumu bersikap, dan bagaimana Ayahmu begitu sabar menghadapinya. Mungkin kau akan mengerti, betapa sulit kehidupan keluargamu...

ASMARANDANAHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin