Bunglon

9.5K 629 16
                                    

"Rona, bagaimana rencanamu sekarang?" Seorang lelaki paruh baya dengan stelan jas berwarna hitam sedang menanyai anaknya di suatu pagi. Sang anak terlihat sangat rapi, dan cantik. Ibunya ada di antara mereka berdua, sibuk membantu pelayan menyiapkan menu sarapan keluarganya.

Keluarga Rejata sedang berkumpul, dan membahas hal-hal serius seperti biasa. Kali ini, fokus utamanya adalah Rona, anak semata wayang mereka yang baru saja lulus sekolah menengah atas. Bulan depan dia bertolak ke Amerika, untuk wawancara masuk ke universitas paling terkenal seantero jagad raya. Tahap awal sudah  berhasil dia lewati, hanya beberapa langkah untuk menjadikannya mahasiswi disana.

"Aku akan berangkat bersama Marni, Pak. Aku akan kerepotan jika tidak ada Marni. Untuk sementara waktu, aku akan tinggal di apartemen  Bapak dulu disana. Itupun kalau  boleh..." ucapnya tertunduk malu. Orangtuanya menghentikan kegiatan sejenak, menatap anak mereka dengan tatapan bingung. "Bukan soal apartemen, tentu saja kamu bisa memakainya sesuka hati. Tapi Marni. Kamu serius? Bapak yakin Ibunya tak akan kasih ijin. Amerika tidak dekat, Ibu dan Anak itu tidak pernah terpisah jauh. Coba pikirkan matang-matang, apakah Marni harus dibawa atau tidak." Sang Ibu hanya mengangguk-angguk pasif, setuju atas pendapat suaminya.

Rona mengernyitkan kening, sesaat termenung, kepalanya sedang sibuk meramu kata-kata. "Bapak, Marni sudah seperti belahan jiwaku. Sejak kecil dia selalu menemani aku. Dan Bapak kan tahu sendiri, Ibu Nina selalu merestui jika anaknya ikuti aku kemana-mana. Apalagi ini Amerika, Ibu Nina pasti akan sangat bangga anaknya bisa pergi jauh ke negara itu." Dengan penuh antusias Rona menerangkan hal ini pada kedua orangtuanya.

Kedua orangtuanya hanya diam, mencerna setiap jawaban Rona. Tak masuk akal, tapi tetap bisa dipertimbangkan jika memang benar begitu kenyataannya.

                                      ***

"Tidak, kak. Aku tak akan ikut. Silahkan saja Kakak berangkat sendirian, atau cari orang lain yang bisa kakak ajak pergi. Kali ini, Marni tak bisa terima ajakan kakak. Tolong mengertilah, Ibu Nina sudah menua... tak bisa Marni tinggal jauh."

Remaja beranjak dewasa itu tegas menolak ajakan si tuan putri. Bisa terlihat wajahnya memerah, entah takut atau marah. Jelas, Rona tak senang atas penolakan itu. Hal pertama yang dilakukannya adalah, menarik baju Marni dengan kasar seperti biasanya. Bergetar bibirnya mengucap kata kasar. "Hey brengsek, sudah untung aku mengajakmu pergi. Ingat, jika sampai kau tak mau ikut. Ibumu akan kubuat menderita! Ayah Ibuku akan mengusir kalian dari rumah ini!" Ancaman kasar ala Rona kembali menyerang Marni yang tak berdaya.

Seorang wanita paruh baya tiba-tiba muncul, wajahnya terlihat marah. "Cukup non, sudah cukup! Jangan menyiksa anakku lagi! Non sudah menghancurkan hidup anak saya, jangan membuatnya lebih hancur lagi dengan memisahkan kami berdua! Kalau memang hidup kami terancam seperti kata Non, kami akan pergi." Matanya merah, menangis, suaranya bergetar hebat. "Ibu Nina tidak terima kalau harus berpisah dengan Marni. Cukup, non. Jangan meminta lebih lagi! Kami berdua akan pergi, dan tak akan mengganggu hidup non lagi. Silahkan cari gundik lain untuk melayani non." Wanita itu menarik tangan anaknya yang terlihat kaget atas sikap marah tak biasa itu. Tak terkecuali Rona yang sama kagetnya seperti Marni. Seumur hidup, belum pernah ada orang yang membentak tuan putri itu sekasar ini. Matanya berkaca-kaca, namun sikap angkuhnya tetap terjaga.

"Silahkan pergi! Kalian orang-orang tak tahu terimakasih! Akan kubuat hidup kalian menderita! Pergilah, sekarang juga! Aku akan bilang pada Bapak kalau kalian kabur membawa perhiasan berlianku!" Rona kembali mengancam. Mata si wanita paruh baya sempat terlihat membelalak, hanya beberapa detik lantas kembali normal. "Silahkan, fitnah saja kami sejahat yang non mau. Hanya gusti Allah yang akan membalasnya..."

                                       ***

Nyonya Rejata tampak gusar. Sementara Rona menangis sejadinya. Benar, dia tak main-main atas ucapannya. Anak itu mengadu bahwa Nina dan anaknya pergi meninggalkan rumah mereka sambil mengeruk perhiasan dalam lemari Rona. Tuan rumah sedang dinas luar, jika sedang bersama mereka saat ini, mungkin laki-laki kaya itu akan mengerahkan pihak berwajib untuk mencari dan menangkap Nani dan Marni. Nyonya Rejata bukan orang yang tega melakukan hal itu, meski sangat kesal, dia tetap berpikir bahwa Nina banyak berjasa dalam keluarga itu. Apalagi Marni, yang memutuskan untuk tak sekolah hanya demi melayani anak semata wayangnya. Kesal, sekaligus sedih harus kehilangan orang kepercayaan. Bukan soal hilangnya harta milik Rona, bagi sang nyonya... justru Nina dan Marni yang pergi tiba-tiba-la yang membuat hatinya jadi senewen tak karuan.

"Sudah jangan menangis, Ibu akan mengganti semua perhiasanmu yang hilang..." Upahnya pada Rona. Rona tak pura-pura, dia benar-benar menangis. Dalam kesalnya terselip ketakutan bagaimana hidupnya kelak tanpa kehadiran Marni. Biar bagaimanapun, anak ingusan itu banyak berjasa dalam hidup Rona. Sejak lama, dia terbiasa dilayani oleh Marni. Hati kecilnya menjerit, jangan-jangan sikapnya memang keterlaluan pada Ibu dan Anak itu. Tapi sisi hatinya yang lain berkata, "Kau perempun kuat, jangan kalah oleh orang-orang miskin yang lemah seperti mereka!"

                                        ***

Rona Rejata, mau tak mau harus mulai terbiasa hidup mandiri. Apalagi tak ada satupun kerabat yang tinggal di Amerika. Temannya kini hanya pundi-pundi kekayaan sang Ayah yang akan menjamin kehidupannya kelak disana. Berat rasanya harus berjuang sendirian, kedua orangtuanya terlalu sibuk pada urusan bisnis di tanah air. Mereka sangat percaya, Rona mampu berjuang meski tanpa mereka.  Tuan Rejata berpesan, "Kelak nanti kamu yang akan menjalankan perusahaan keluarga ini. Kamu harus jadi orang cerdas, untuk bisa mengendalikan semua dengan baik. Bapak sangat percaya, kamu bisa menjalaninya dengan mandiri. Kepintaran bukan segalanya, pakai hatimu untuk menaklukan dunia yang tak terlalu baik ini. Mungkin sekarang segalanya terlihat baik, tapi suatu saat kau akan mengerti... dunia itu kejam."

Rona hanya menganggukkan kepalanya, menganggap remeh kata-kata sang Ayah. Baginya, itu hanya omong kosong. Sejak lama hidupnya sangat mudah. Dunia begitu baik padanya, tak mungkin segalanya berubah dengan cepat. Dia percaya, selamanya dia akan hidup tenang... dan sesuai kehendaknya.

"Baik, Pak. Rona akan mengingatnya dengan baik. Rona akan hidup mandiri, dan membuat Ibu dan Bapak bangga." Jawabnya sambil tersenyum. Anak ini seperti bunglon, dan punya dua kepribadian berbeda.

                                         ***

Baru satu minggu dia menginjakan kaki di Boston, Amerika Serikat. Masih beradaptasi dengan negara itu, dan sibuk mempersiapkan segala kebutuhan untuk wawancara kampus. Saat tiba-tiba sebuah panggilan telepon masuk dari Indonesia. Nomor tak dikenal, sempat membuatnya ragu untuk mengangkat.

Namun akhirnya panggilan telepon itu diangkatnha juga,

"Halo.."
"Ya, saya Rona Rejata..."
"Apa?! Jangan bercanda! Bagaimana kondisi Bapak dan Ibu?"
"Ba...baik... baik..."

Ditutupnya panggilan telepon itu. Dengan histeris dia menjerit keras, menangis sejadinya. Dan terburu-buru dia masukkan beberapa barang penting, lantas berlari cepat  menuju lobi apartemen.

ASMARANDANAHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin