Seorang kakak

45 3 2
                                    

Rieka Violetta

Aku memasuki halaman belakang rumahku dalam keadaan kacau balau. Badanku di penuhi luka lebam, wajahku penuh tanah, aku sempat mencium tanah saat berkelahi tadi, juga rambut yang berantakan. Aku bisa menjamin, jika satpam rumahku menemukanku dalam keadaan seperti ini, mungkin aku sudah di kira orang gila dan akan di usir dengan kejam. Mana keadaan taman belakang sangat gelap.

Kenapa aku tidak melewati pagar depan saja? Jika melakukan hal itu, berarti aku sedang mencari cara untuk mati. Bertemu dengan satpam rumah yang tidak lain adalah bawahan Ibuku, mereka pasti akan melaporkan diriku dan besok Ibu akan memarahiku sebelum pergi ke kantornya.

Karena itulah aku memilih melewati pagar belakang. Pagar itu memang selalu di kunci, tapi aku mempunyai kunci cadangannya. Yang sudah lama aku curi dan aku simpan sebagai salah satu caraku untuk keluar dan masuk ke rumah tanpa di ketahui oleh orang di rumah.

Aku melirik balkon kamarku dari balik dinding. Aku biasa masuk ke sana dengan menaiki pohon besar yang tepat berada di depan balkonku itu. Salah satu dahannya mendekati pinggiran balkonku, hanya perlu sedikit keseimbangan di tambah akrobatik hebat, aku sudah sampai di sana.

"Gue rasa, gue gak bisa gunain cara itu." Gumamku sambil melihat kondisi tubuhku yang sangat memprihatinkan. Di tambah lebam di kedua tangan dan jari tanganku, aku malah akan menarik perhatian satpam saat memanjat nanti.

Tapi, aku bukan orang yang mudah menyerah. Aku tetap memaksakan diriku untuk memanjat, meski rasa sakit hampir membuat seluruh tubuhku bergetar. Saat sampai di ujung batang pohon, aku sudah bisa melihat balkon kamarku. Tapi aku perlu sedikit tenaga lagi untuk mencapainya. Dengan penuh keyakinan aku meloncat.

Sayang sekali, kakiku terpeleset dan membuatku hampir terjatuh. Jika saja tanganku tidak bergerak cepat memegang pinggiran balkon. Aku pasti sudah menghantam tanah yang berjarak 3 m dari tempatku bergelantungan. Nyawaku bisa jadi taruhannya.

Aku memanjat naik, mengandalkan sedikit tenagaku yang masih tersisa. Sampai pada akhirnya aku sudah berdiri di balkon. Aku membuka pintu kaca yang menghubungkan balkon dengan kamarku. Kamarku masih gelap, sunyi dan terkesan menakutkan.

Sudah tidak kuat menahan rasa sakit, aku langsung merebahkan seluruh badanku di kasur besarku. Baru saja aku ingin menutup mataku, cahaya lampu kamar yang menyala membuatku kembali terjaga.

Aku langsung duduk dengan wajah tegang. Jangan bilang Ibuku sudah mengetahui kelakuanku hari ini. Sampai sebuah wajah membuatku berteriak histeris.

Oke, ini terdengar memalukan. Tapi siapa yang tidak akan berteriak saat wajah itu muncul dari samping tubuhmu dengan gerakan yang menyeramkan. Tangan putih pucat memegang bahumu seolah ingin mencekik lehermu.

Sampai aku menyadari siapa sosok menakutkan itu.

"Lo gila ya? Mau buat gue tuli di usia muda?" Teriak sosok itu. Suara cempreng yang juga hampir membuatku tuli. Aku yang sudah sadar dari kekagetan memalukan, langsung balas menghardik.

"Lo yang gila. Mau buat gue jantungan di usia muda?" Balasku sambil memegangi dadaku. Jujur saja, jantungku hampir berhenti berdetak tadi.

"Gue rasa lo bakal mati muda." Sosok itu langsung berdiri di hadapanku sambil memperhatikan tubuhku.

"Ya, gara-gara lo." Kataku kesal. Aku baru akan kembali tidur saat tangan Shintia menahanku.

"Maksud gue luka lo." Katanya sambil berjalan menjauh. Ia kembali dengan peralatan P3K. Aku hanya menatapnya dalam diam.

"Gue juga bakal mati suatu saat nanti kok. Karena takdir gila yang udah mengikat hidup gue." Kataku sendu. Shintia tidak menjawabnya.

"Gue yakin, suatu saat lo bakal bisa selamat dari takdir ini." Shintia berusaha tersenyum. Ia berusaha menghiburku.

piece of heartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang