Footsteps

165 8 3
                                    

Gerimis terus turun membasahi bumi sejak tadi siang. Bersamaan dengan itu, Effendi menunggu di lorong rumah sakit dengan gelisah. Anak sulungnya jatuh tertidur di pangkuannya. Effendi tidak henti-hentinya berdoa untuk istrinya yang sedang berjuang di dalam sana.

"Ya Allah, selamatkan istri dan anak hamba."

Kata-kata itu terus terucap di dalam hati  Effendi. Sudah sejak kemarin sore Effendi mengantar Vina ke rumah sakit. Vina mengeluh sakit di perut buncitnya. Namun setelah diperiksa oleh dokter, belum ada tanda-tanda Vina akan melahirkan. Dokter menyarankan untuk terus berada di rumah sakit sampai waktunya melahirkan. Menurut perkiraan dokter, waktunya tidak lama lagi.

Tadi siang Vina menyuapi Reza makan bubur kesukaannya. Setelah itu Vina sempat bermain sebentar dengan Reza.

"Reza, sebentar lagi kamu punya dedek bayi," ujar Vina lembut sambil meraih tangan Reza untuk mengusap perutnya. Reza kecil terlihat bingung melihat perut Mamanya begitu besar. Reza mengusap perut Vina, lalu mengusap perutnya sendiri. Kenapa berbeda? Mungkin itu yang dipikirkan Reza kecil sekarang. Vina dan Effendi terkekeh geli melihat kelakuan anak sulung mereka.

Tiba-tiba Vina meminta suaminya untuk membawa Reza keluar dan memanggil dokter. Vina merasa perutnya sangat sakit, seperti yang Ia rasakan saat melahirkan Reza satu tahun yang lalu. Effendi segera menuruti permintaan Vina. Ia mengambil Reza dari tangan istrinya lalu berlari memanggil dokter. Reza yang dipisahkan dari Mamanya terus menangis hingga akhirnya Ia lelah sendiri dan tertidur dipangkuan Effendi.

Matahari tergelincir di ufuk barat, bersamaan dengan terdengarnya tangisan bayi di dalam sebuah ruangan rumah sakit. Effendi segera sujud syukur mendengar tangisan pertama anak keduanya. Anaknya selamat, Effendi yakin itu. Sekarang Effendi hanya ingin tahu bagaimana keadaan istrinya.

Sesaat kemudian seorang suster memperbolehkan Effendi memasuki ruangan. Kebahagiaan Effendi terasa begitu lengkap saat melihat anak keduanya berbaring dengan nyaman di samping ibunya. Effendi tidak kuasa menahan air mata haru. Ia segera menghampiri anak dan istrinya, lalu membaringkan Reza disisi anak keduanya yang baru saja hadir melengkapi keluarganya. Effendi membelai dengan lembut rambut Vina. Vina hanya tersenyum lemah. Sama seperti suaminya, Vina juga meneteskan air mata bahagia.

"Selamat ya, Pak, anaknya laki-laki," ucap dokter sambil tersenyum. Sungguh ruangan itu dipenuhi dengan kebahagiaan sekarang.

"Terima kasih, Dokter," ucap Effendi. Dokter menjabat tangan Effendi sebelum pergi meninggalkan keluarga kecil itu.

"Siapa nama anak kita, Mas?" tanya Vina pada Effendi. Effendi tersenyum simpul. Ia sudah memikirkan nama sejak jauh-jauh hari. Nama perempuan dan laki-laki. Karena sekarang anaknya laki-laki, jadi namanya adalah...

"Muhammad Ilham Fauzi Effendi," ucap Effendi. Vina ikut tersenyum.

"Nama yang indah. Ya, Ilham?"

***

Dua orang bocah tampan sedang makan dengan lahapnya. Bagaimana tidak lahap? Sang Ibu menyiapkan sarapan roti dengan mentega dan mises dengan minuman susu coklat favorit kedua anaknya. Tidak cukup satu atau dua, kedua bocah itu meminta jatah roti mereka yang ketiga.

"Ilham Mama kasih satu lagi, tapi nggak boleh ikut Kak Reza ke sekolah, ya," ujar Vina sambil mengambilkan roti ketiga untuk Ilham. Ilham menoleh sejenak pada kakaknya, lalu beralih menatap roti ditangan Mamanya.

"Iam mau roti, tapi mau sekolah juga sama Kak Reja," seru Ilham keras, hampir berteriak.

"Sekolah Ilham beda sama Kak Reza. Ilham di sekolah PAUD, sedangkan Kak Reza sekolah TK," ucap Vina, berusaha membuat Ilham mengerti. Memang dari dulu Ilham tidak mau dipisahkan dengan Reza. Ia selalu ingin menyamai Reza. Baju yang sama, sepatu yang sama, ransel yang sama, dan Ilham ingin sekolah yang sama dengan Reza. Namun apa daya, Ilham belum bisa memasuki sekolah TK karena Ia belum cukup umur.

Cerpen OriginalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang