The Power of Memories

85 9 2
                                    

Ilham berbaring dikasur empuknya. Ia menutup mata dengan lengannya, tapi tidak tidur. Ilham sedang merindukan seseorang. Itu pasti. Seorang gadis yang mampu membuat Ilham mengkhawatirkannya selama lebih dari tujuh tahun. Seorang gadis yang membuat Ilham takut kehilangan. Seorang gadis yang membuat Ilham...

"Ilham..." terdengar suara seorang wanita memanggilnya dari bawah. Ilham menggeliat malas. Ia baru saja menyelesaikan pendaftaran di sekolah baru tujuannya bersama Dicky. Ilham lelah. Memori tentang gadis itu terulang kembali. Gadis yang membuatnya betah menjomblo demi menunggunya kembali. Ilham benar-benar merindukannya.

"Ilham..." suara itu terdengar lagi. Mau tak mau Ilham beringsut meninggalkan kasurnya dan menyusul Bunda ke bawah. Di sana sudah ada Ayahnya, dan sebuah wajah baru yang tidak dikenalnya.

"Apa yang kau lakukan? Kau tidak ingin makan malam bersama kami?" tanya sang Ayah saat melihat putra tunggalnya melamun di tengah tangga.

"Eh, iya, Yah. Maaf," ujar Ilham sembari melangkahkan kaki mendekati meja makan. Setelah selesai menyiapkan semuanya Bunda duduk bergabung bersama mereka.

"Aku lihat ada wajah baru disini," gumam Ilham sedikit keras tanpa mengalihkan pandangannya dari nasi dan sup kentangnya.

"Astaga, Ilham. Kau tidak mengingatku? Secepat itu kau melupakanku?" tanya pemuda tampan itu. Ilham mendongak. Melupakan, katanya? Apa dia pernah bertemu dengan orang ini sebelumnya?

"Tidak." Satu kata singkat dari Ilham menyedot perhatian semua orang dimeja makan.

"Apa yang terjadi padamu, nak? Apa kau pernah mengalami kecelakaan dan amnesia?" tanya Bunda khawatir. Ilham menggeleng sebal. Sejak lahir ia selalu tinggal bersama kedua orang tuanya. Liburan pun mereka pergi bersama mengunjungi nenek di desa. Bagaimana Bunda bisa menanyakan hal konyol seperti itu? Apapun yang mungkin pernah dialami Ilham, bukankah seharusnya Bunda mengetahuinya?

Tiba-tiba pemuda tampan itu menjambak rambut Ilham, membuat Ilham kaget dan berteriak kesakitan. Apa-apaan bocah ini, batin Ilham. Ayah dan Bunda berusaha menghentikan pertengkaran itu.

"Tenang saja, Yah, Bun. Aku hanya sedang membantu Ilham mengingat kembali masa kecil kami," ujar pemuda tampan itu sambil memamerkan senyum manisnya. Mata Ilham membesar. Masa kecil? Menjambak rambut?

***

Para murid terlihat berhamburan keluar kelas setelah membaca doa sebelum pulang sekolah. Mereka terlihat bersemangat, membayangkan orang tua masing-masing sudah berada di luar untuk menjemput mereka. SDN 37 sangat ramai. Sekolah tersebut merupakan salah satu sekolah favorit di kota itu. Lingkungan yang bersih, guru yang berkualitas, membuat para orang tua tidak ragu untuk menyekolahkan anak mereka di sana. Anak-anak yang lulus dari sekolah tersebut terkenal sopan dan pintar. Tidak heran jika sekolah tersebut begitu banyak peminatnya.

Ilham keluar dengan senyum nakal. Ia membuat sepupunya menangis lagi hari ini. Ilham memang anak nakal. Bukannya meminta maaf, ia malah merasa puas. Ia baru saja merobek buku gambar sepupunya. Bukan hanya itu, Ilham dengan jahatnya menginjak-injak kertas-kertas kecil itu lalu mencibir pada sepupunya. Sontak saja bocah kecil itu langsung menangis. Ia mengancam akan mengadukan Ilham pada orang tuanya nanti, namun Ilham tidak peduli. Ilham berlalu pergi dengan Dicky.

"Kenapa kau suka sekali menjahili Reza?" tanya Dicky pada sahabatnya. Sedari dulu Dicky tidak pernah mengerti alasan Ilham menjahili Reza, sepupunya sendiri.

"Dia cengeng. Dan culun. Dia pintar, tapi...aku hanya senang menjahilinya," jawab Ilham. Hanya itu? Dicky bahkan sampai berpikir mungkin saja Reza mengambil gadis yang disukai Ilham. Eh, tapi apa Ilham benar menyukai seorang gadis? Pada umur 8 tahun? Yang benar saja.

Cerpen OriginalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang