Ariana masih duduk mematung menghadap cermin rias di kamarnya. Malam ini ia akan resmi dilamar oleh seorang laki-laki yang dikenalkan oleh orang tuanya. Tidak ada semburat kebaghagiaan pada sorot mata Ariana. Ke dua bola mata coklatnya masih lekat memandangi pantulan wajahnya pada cermin rias itu. Saat ini yang ia rasakan hanyalah perasaan ingin pergi melarikan diri sejauh yang ia bisa. Ia mulai ragu akan keputusannya menerima perjodohan yang orang tuanya tawarkan. Jika beberapa waktu yang lalu hatinya mantap untuk menerima perjodohan itu, tapi tepat di hari akan dilangsungkannya lamaran ini hatinya mulai gamang. Banyak sekali pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam fikirannya. Dan keberadaan seseorang yang telah menempati ruang di hatinya, kembali membuat Ariana ragu dengan keputusannya.
"Ade..."
Suara Renita berhasil membuat Ariana kembali pada kesadarannya. Gadis itu seketika memasang wajah sumringahnya dihadapan Renita. Ia menoleh ke arah kedatangan Renita yang saat ini tengah berjalan menghampirinya.
"Sudah siap?" Tanya Renita sembari memegang bahu adiknya dengan lembut.
Ariana mengangguk pelan. "Sepertinya begitu." Jawabnya dengan memberikan senyuman termanisnya, mencoba menutupi semua perasaan sebenarnya.
"Kalau gitu ayo kita keluar. Keluarganya Artha udah pada datang." Ucap Renita dengan membimbing adiknya.
Malam itu Ariana tampak cantik dengan baju kebaya berwarna orange muda dan rambut yang di gelung sederhana. Tapi penampilan cantiknya tidak sama sekali membuat hatinya bahagia. Ia tidak pernah membayangkan jika dirinya akan menikah dengan cara dijodohkan seperti ini. Dahulu Ariana selalu memimpikan jika suatu hari nanti saat ia akan menikah, maka ia akan menikah dengan seseorang yang ia cinta dan mencintainya. Ia akan merasakan perasaan berdebar saat seseorang yang dicintainya itu datang ke rumah untuk melamarnya. Dan semua itu ia bayangkan sebagai momen yang akan sangat membahagiakan dalam hidupnya. Tapi sayang, semua harapannya itu tidak terwujud. Acara lamaran dan pernikahan yang selama ini ada dalam bayangannya, tidak pernah menjadi kenyataan. Ia tidak merasakan kebahagiaan itu. Ia tidak merasakan debaran itu. Hanya sebuah perasaan kosong dan hampa yang menyakitkan yang saat ini ia rasakan.
"Nah ini dia tuan putrinya datang." Ucap Hadi─ayah Ariana.
Semua pandangan pun tertuju padanya. Termasuk Artha, seorang laki-laki yang berusia dua tahun di atasnya, dan sebentar lagi laki-laki itu akan memasangkan sebuah cincin pengikat di jari manisnya. Ariana duduk di kursi sebelah ibunya berhadapan dengan keluarga Artha. Dan acara lamaran itu pun di mulai oleh pamannya, sebagai perwakilan dari keluarga besarnya.
Acara berlangsung selama dua jam. Dan sekarang di jari manis tangan sebelah kanan Ariana terpasang sebuah cincin bermata Kristal sederhana berwarna silver. Ariana kini telah resmi menjadi calon istri dari seorang laki-laki bernama Arthaditya Ramadhan.
"Ari kapan balik lagi ke Jakartanya?" Tanya Artha setelah acara resmi lamaran itu berakhir. Mereka berdua kini tengah mengobrol di teras rumah saat ke dua orang tua mereka masih mengobrol di ruang tamu.
"Lusa, Mas." Jawab Ariana singkat. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa terhadap Artha yang baru dikenalnya beberapa waktu lalu.
"Kalau mau kita bisa bareng ke Jakartanya. Kebetulan Mas juga balik lagi ke sana lusa." Tawar Artha yang juga memang tinggal dan bekerja di Jakarta.
"Gak usah Mas terimakasih, aku nanti naik kereta aja." Tolak Ariana halus.
Ariana tidak mungkin ikut menebeng bersama Artha. Meski saat ini laki-laki itu adalah tunangannya dan sebentar lagi akan menjadi suaminya. Ariana masih harus beradaptasi dengan kedekatannya bersama Artha. Ia tidak bisa langsung sedekat itu.
Artha mengangguk mengerti. Laki-laki itu tidak akan memaksa wanita yang kini duduk di kursi sebelahnya untuk mau pergi bersama dengannya. Ia tahu, jika perlu waktu untuk membuat Ariana nyaman dengannya.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 dan rumah Ariana kini telah kembali sepi. Hanya ada ia, orang tuanya, dan keluarga kecil kakaknya yang malam itu menginap di rumah. Ariana sendiri kini sudah berada di kamarnya dan tengah membersihkan make up di depan meja rias. Ariana hendak bangkit dari kursi meja riasnya menuju kamar mandi saat sebuah dering panggilan masuk di ponselnya berbunyi. Ia mengurungkan niatnya. Diraihnya ponsel yang tergeletak di hadapannya itu.
Sania.
Nama itu yang tertera di layar ponselnya. Ia segera menekan tombol jawab atas panggilan sahabatnya itu.
"Ya Hallo..." Ucapnya segera setelah menekan tombol jawab.
"Hai beboh." Sapa Sania dari ujung telefon sana.
"Kenapa Suneo lo telefon gue malem-malem?" Tanya Ariana pada sahabat sejak SMA nya itu.
Sania menggerutu tidak jelas setiap kali sahabatnya itu memanggil namanya menjadi Suneo. Ariana yang mendengar gerutuan kesal tidak jelas sahabatnya itu hanya bisa cekikikan tertawa.
"Jadi lo malem-malem gini nelfon gue ada apa? Lo cuma mau ngomel-ngomel gak jelas gitu, iya?" Ariana kembali bertanya dengan tawa kecilnya.
"Lo malem ini abis lamaran ya? Ciee... yang udah one step closer, selamat ya sayongg. Gue seneng akhirnya lo gak jadi jomblo karatan lagi." Ledek Sania pada Ariana.
"Sialan lo ngatain gue jomblo karatan. Sorry ya gue selama ini bukan jomblo, tapi single. Tolong bedakan." Ariana mengelak setiap kali mendapat julukan jomblo dari sahabatnya itu.
"Ya whatever lah ya, menurut gue sih sama aja, hahaha..." Tawa kencang Sania sontak membuat Ariana dengan reflek menjauhkan telinganya dari ponselnya.
"Eh...Suneo lo kira-kira dong kalau ketawa, kuping gue bisa budge nih gara-gara lo." Sungut Ariana kesal.
Sania masih tertawa terbahak mendengar omelan Ariana. Setelah beberapa saat akhirnya Sania bisa kembali mengontrol dirinya. Di ujung telefon sana, Ariana masih dengan sabar menerima panggilan dari sahabat gilanya itu.
"Ekhem... aduh perut gue sampe sakit. Tadi gue ngomong sampe mana ya?" Setelah Sania berhasil menghentikan tawanya ia kembali teringat akan maksud dan tujuannya menelfon sahabatnya itu.
"Dari mana apanya? Dari tadi lo belum ngomong apa-apa selain ngeledekin gue." Sungut Ariana kesal.
"Oh iya ya, haha... sorry sorry bebeoh. Oke gini sebenernya ada info penting buat lo. Tapi gak tau sih ini bakal jadi penting atau enggak buat lo sekarang. Ya... berhubung lo udah tunangan gitu." Jelas Sania panjang lebar yang masih belum bisa Ariana tangkap isi dari pembicaraan tersebut.
"Info apaan?" Ariana mulai tidak sabar dengan pembicaraan sahabatnya itu.
Sania terdiam seketika. Gadis itu bingung harus mengatakannya atau tidak.
"Woi... Suneo, lo masih nelfon kan? Kok diem sih?" Ariana bingung saat tidak ada tanda-tanda kehidupan sahabatnya dari ujung telefon sana.
"Iya gue masih di sini. Em... gini loh Ar, jadi gue tadi siang ketemu sama... Rama di café gue. Dan ternyata selama ini dia kuliah dan tinggal di Hanover."
Penjelasan Sania tiba-tiba membuat jantung Ariana seolah berhenti sejenak saat mendengar nama itu. Nama yang selama sembilan tahun ini selalu ia rindukan. Sebuah nama yang selalu ia selipkan dalam doa-doa panjangnya. Sebuah nama yang selama bertahun-tahun berhasil merebut semua perhatiannya. Sebuah nama yang selama bertahun-tahun sanggup membuatnya meneteskan air mata. Sebuah nama yang selalu merebut semua kerinduannya.
"Ari? Ri, are you ok?" Sania khawatir saat seseorang di ujung telefon sana tiba-tiba terdiam.
Ariana masih mendengar Sania memanggil-manggil ia di ujung telefon sana. Tapi fikiran Ariana yang saat ini tengah kacau membuat gadis itu segera memutus panggilan dari Sania tanpa berkata apa-apa pada sahabatnya itu. Ia letakkan ponselnya di atas meja riasnya. Wajahnya ia tangkupkan pada ke dua telapak tangannya dan kini ia benamkan di atas meja riasnya. Ariana kembali menangis. Kali ini dadanya benar-benar terasa sesak. Ia menangis sejadi-jadinya malam itu. Ariana sudah tidak perduli apakah orang-orang di rumahnya akan mendengar tangisnya atautidak. Hatinya sudah benar-benar tidak lagi sanggup untuk menahan semua perasaan sesaknya selama ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Missing You Like Crazy
ChickLitAriana hanya ingin menunggu sebentar lagi. Menunggu seseorang yang selama 12 tahun telah menempati tempat khusus dalam hatinya. Tidak ada satu orang pun yang dapat menggoyahkan hati Ariana, sampai Ariana mulai menyadari. Harus sampai kapankah ia te...