Chapter 15 : The Lost Man

2.1K 199 8
                                    

       

Dira berkali-kali mencuci mukanya hari ini, persetan dengan make up-nya yang mungkin sudah hilang tak berjejak. Sudah hampir dua minggu berlalu sejak ... lagi-lagi Dira enggan menyebutkannya atau ia akan semakin mengingatnya. Dira bahkan masih bisa merasakan dengan jelas rasa manis yang menempel di bibirnya saat Reno menciumnya.

            Pikirannya kacau tapi ia tak bisa membohongi dirinya sendiri kalau hatinya bahagia. Kebahagiaan dalam konteks sederhana di dalam sebuah kerumitan sebuah cinta.

Sejak saat itu pula, sebenarnya Reno sudah berkali-kali menghubunginya namun tak pernah Dira hiraukan. Dira sedang dilanda kebingungan, dia tidak ingin Reno memperparah kebingungannya. Cinta memang membuat yang sederhana terasa rumit karena cinta tak pernah sederhana.

Pikiran Dira teralihkan ketika ada sebuah telepon masuk ke telepon genggamnya, terlihat nama penelepon disana. "Halo Karin."

"Mba Dira tau mas Reno dimana? atau kapan terakhir kali mba ketemu Mas Reno?"

"Pelan-pelan bicaranya Kar, memang Reno kenapa?"

"Mas Reno udah seminggu terakhir ini gak bisa dihubungin, rumahnya juga kosong dan sepertinya sudah agak lama ditinggalin soalnya aku lihat koran-koran tergeletak begitu aja diluar. Mba Dira tahu?"

"Aku terakhir ketemu Reno ya waktu hari pernikahan kamu Kar. Mungkin mas Renomu sedang liburan atau dinas dari kantor."

"Gak kok, kata Gita juga Mas Reno sudah seminggu cuti kerja, aku baru tahu tadi pas telepon Gita. Gita kan temen kerjanya mas Reno." teman kerja? Dira rasanya butuh untuk menyatukan puzzle yang berantakan di kepalanya.

"Yaudah kamu tenang dulu, Reno mungkin lagi pengen liburan sendiri tanpa diganggu Kar. Aku coba bantu cari ya, kalau aku dapat kabar langsung aku hubungin kamu."

Suara Karin terdengar sudah dipenuhi tangisan," iya kata mama juga mas Reno mungkin lagi mau sendiri soalnya hari ini memang peringatan 5 tahun meninggalnya Ibu tapi terakhir kali dia kayak begini, mas Reno ninggalin aku ke London mba dan empat tahun dia baru pulang. Terus kalau mas Reno pergi lagi gimana?"

"Iya Karin, Reno pasti gak akan ninggalin kamu lagi. Dia gak akan kemana-mana. Sekarang kamu tenang ya?"

"Iya Mba Dira, makasi banyak ya."

Mendengar ini Dira menjadi khawatir, apakah dirinya yang menyebabkan Reno pergi. Ia tak pernah mengangkat telepon ataupun membalas pesan Reno. Mungkinkah Reno sakit hati padanya dan memilih pergi lagi? Rasa bersalah menyelimutinya. Ia mencoba menghubungi Reno namun selalu gagal karena nomornya sedang tidak aktif. Meninggalkan pesanpun terasa percuma.

Kekhawatiran Dira membesar, pesannya pada Karin agar ia tidak terlalu mengkhawatirkan Reno ternyata serasa tong kosong nyaring bunyinya. Sekarang malah dirinya yang harusnya menerima pesan tersebut. Dira menyambar tas tangannya dan segera pergi meninggalkan hotel bahkan tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Ia sudah tak memikirkan lagi pekerjaannya, ia harus menemukan Reno kali ini.

Dira mengemudikan mobilnya tanpa arah, ia tidak tahu harus memulai dari mana. Dira bahkan tidak tahu apakah Reno masih ada di kota yang sama dengannya atau tidak. Seminggu telah berlalu dan mungkin saja Reno sudah tidak ada di kota ini lagi. Dira menyusuri jalanan Jakarta yang sedikit lengang, mungkin karena belum waktunya jam pulang kantor. Dira tersentak ketika terdengar suara klakson cukup nyaring di belakangnya, ternyata lampu lalu lintas sudah berubah menjadi warna hijau. Pikirannya tidak fokus, ia sedang mencoba mencari petunjuk kemana kira-kira Reno pergi.

"Kamu dimana Ren?"

Dira sudah menyusuri setengah Jakarta ketika ia akhirnya memilih menghentikan mobilnya. Mencoba mencari petunjuk dari pesan-pesan yang Reno tinggalkan untuknya, namun nihil tak ada petunjuk apapun.

"Hari ini peringatan lima tahun kematian Ibu ..."

Dira langsung terkesiap ketika mengingatnya. Mungkinkah?

_*_*

Dira mengarahkan mobilnya menuju daerah pemakaman di bilangan Jakarta Selatan. Dira rasa ini tujuan terakhirnya, berharap Reno benar-benar ada disana. Jika tidak, Dira tidak tahu lagi harus mencari Reno kemana. Sesampainya di area pemakaman, Dira melepaskan heels-nya dan menggantinya dengan flat shoes yang memang selalu ia siapkan di mobilnya.

Dira menapaki perlahan taman pemakaman ini, bukan jalan asing yang tak pernah ia tempuh. Ia tahu dimana letak makam ibunda Reno. Jantungnya berdetak lebih fluktuatif dari biasanya, kecemasan merambatinya. Ia memupuk harapan terlalu tinggi, ia hanya berdoa semoga harapannya tak dihempaskan begitu saja.

Langkahnya terhenti, nafasnya tercekat ketika melihat ada sosok yang tak mungkin tidak ia kenal meskipun hanya lewat punggungnya saja. Reno berjongkok disana. Dira tidak dapat melihat wajah Reno, namun ia bisa merasakan kalau Reno sedang mengadu disana. Dira berdiri kira-kira satu setengah meter dari tempat Reno berada. Dira mendengar suara isakan disana. Hatinya remuk seketika, seburuk itukah kesedihan yang harus Reno rasakan. Punggung Reno bergetar, Dira masih tetap berdiri disana, ia tidak ingin mengganggu waktu sendiri Reno.

"Reno masih nepatin janji Reno kok Bu, sayang aja sekarang Reno harus berjuang sendirian. Biasanya ibu selalu bantu Reno untuk ajak main Dira ke rumah,"tubuh Dira membeku ketika tahu namanya disebut disana,"tapi Reno gak akan nyerah bu tenang aja. Itu janji terakhir Reno sama ibu, jadi Reno pasti berusaha buat nepatinnya. Meskipun akhir-akhir ini Reno mulai putus asa, tapi kalau Reno liat ibu, Reno jadi semangat lagi. Kangen banget sama ibu." Reno bercerita di tengah isak tangisnya.

Dira menjadi penasaran apakah janji yang Reno maksud. Dira tidak pernah tahu soal itu. Itukah yang membuat Reno tak pernah menyerah dengannya? Air mata ikut menetes di pipi Dira melihat kesedihan yang Reno rasakan. Hatinya bagai ditancapkan oleh sebuah jarum-jarum kecil yang menyakitkan.

"I love you Ibu. Forever and always." Reno mencium batu nisan makam sang ibunda dan beranjak bangkit. Dira memberanikan diri melangkah mendekati Reno. Dira melakukan apa yang seharusnya ia lakukan sejak dulu, sejak tante Silvana meninggal – membantu Reno meringankan bebannya. Dira melingkarkan tangannya di pinggang Reno.

"Biar aja seperti ini sebentar ya Ren, aku juga mau ngerasain kesedihan kamu." Reno terkesiap merasakan sebuah sentuhan di tubuhnya dan suara itu. Reno meraih lengan yang melingkar di pinggangnya, menggenggamnya erat. Ia mampu merasakan punggungnya basah. Dira pasti menangis, namun Dira menolak untuk dilihat jadi Reno membiarkan dirinya dipeluk dari belakang seperti ini. Sesuai permintaan Dira."Selama ini selalu aku yang meluapkan kesedihan aku tanpa aku tahu kamu juga punya rasa itu. Kamu juga butuh teman berbagi."

Saat Dira mulai merenggangkan pelukannya, Reno berbalik menatap wajah Dira. Reno menghapus air mata yang ada disana. "Jangan sedih lagi Ren, ibu pasti mau kamu bahagia."

"Aku bahagia kok liat kamu disini. Kamunya jangan sedih." Reno tetap melontarkan senyumnya meskipun hatinya sedang bersedih.

Pertemuan Reno dan Dira diinterupsi oleh kedatangan seseorang, "Sore mas Reno, sore mba Dira, lagi nengok ibu ya mas?" Pak Hadi datang dan menyapa keduanya.

"Eh Pak Hadi, iya nih pak." Lalu Reno menyadari sebuah kejanggalan," Loh pak Hadi kenal sama Dira?"

Dira tersenyum canggung berharap pak Hadi tidak membocorkan rahasianya,"Mba Dira sering kesini nengok ibu mas. Kadang-kadang suka ikutan bersihin makam ibu, kadang bawa bunga yang cantik-cantik buat ibu. Iya kan mba?" pupus sudah harapannya, pak Hadi mengutarakan semuanya.

"Kamu?" Dira tak menjawab apa-apa hanya sebuah senyuman.

"Yasudah kalau begitu mas Reno, mba Dira, saya mau keliling dulu bersih-bersih lagi. Dilanjutkan berdoanya." keduanya pun melepaskan kepergian pak Hadi dengan senyuman dan ucapan terima kasih.

"Kamu gak pernah bilang kalau ..."

"Kita pulang yuk! orang satu rumah itu khawatir sama kamu karena kamu hilang seminggu ini. Karin sampai mewek takut kamu kabur ke London lagi."

"Tapi kamu belum kasih aku penjelasan Dir."

"Nanti aja aku jelasinnya kalau sudah di rumah."

_*_*_*

Let's (not) Fall in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang