Chapter 4 : Selalu tentang Dira

3.1K 254 0
                                    

"Mas Reno pernah menghubungi Mba Dira?" tiba-tiba saja terlontar pertanyaan itu dari seorang Karin. Pasti ini semua gara-gara topik obrolan makan malam tadi. Tante Joyce menyinggung soal pernikahan dan Reno hanya bisa memasang muka masam karena tak tahu harus menjawab apa.

Reno hanya menggeleng sementara hatinya ingin sekali melontarkan banyak pertanyaan. Bagaimana kabarnya sekarang? Apakah ia masih berada di Sydney? Mungkinkah dia pernah menanyakan soal dirinya selama ini? Atau mungkinkah dia sudah menikah? "Kenapa tanya begitu?" namun hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulut Reno.

"Gak kenapa-kenapa Mas Reno, tapi apa kamu sama Mba Dira sudah baik-baik saja? Maksud aku, kalian dekat tapi bahkan Mba Dira gatau kalau Tante Silvana meninggal." Karin menyadari perubahan air muka Reno. Ada yang salah.

"Mas Renp tidak ingin membahasnya Kar. Lebih baik kamu istirahat. Sudah malam. " Reno mengecup kening Karin lalu pergi meningalkannya begitu saja. Saatnya mengakhiri pembicaraan ini.

"Sampai sekarangpun kamu gak pernah jujur Mas Reno ada apa antara kamu dengan Mba Dira." Karin menggumam dalam hatinya, ia sungguh penasaran. Karin tidak tahu apa yang terjadi di hari kepergian Dira ke Sydney yang bertepatan dengan hari meninggalnya ibunda Reno. Karena setelah itu semuanya serasa begitu kacau. Bahkan keputusan Reno untuk pergi ke London. Karin tidak yakin kalau itu hanya karena pekerjaannya. Terlalu mendadak. Sangat sangat mendadak. Karin sangat yakin ini pasti ada hubungannya dengan Dira, tapi Karin tak pernah tahu karena ia tak diberi kesempatan untuk mengerti.

"Rokok Bim?" Reno menawarkan sekenanya menyadari Bimo yang sekarang duduk di kursi teras belakang bersama dirinya. Bimo, Anggi, dan Satya memang sudah beberapa hari ini stay di rumah Tante Joyce. Tentu saja ini semua karena dirinya, mereka ingin benar-benar menyambut Reno bagai tamu agungnya.

Bimo menggeleng perlahan meskipun Reno tak menatapnya, "sudah berhenti semenjak ada Satya. Kenapa lagi Ren? Sudah kabur 4 tahun dan lo masih terlihat kacau?" bukan tanpa alasan Bimo berkata begini. Bimo tahu sekali kebiasaan Reno, Reno bukan perokok yang modelannya ngebul terus macam cerobong asap. Rokok hanya mengalihkan pikirannya, kegiatan yang selalu ia lakukan saat pikirannya sedang kacau. Saat ayahnya meninggal, saat ia mengatakan kalau ia mencintai Dira, saat Dira pergi meninggalkannya bersamaan dengan kematian ibundanya. Saat ia tak bisa menceritakan perasaan yang meluluhlantakkan emosinya. Di saat itulah ia mencari pelarian.

"Masih soal Dira?" Reno kalah telak. Belum apa-apa saja, Bimo sudah berhasil mengulitinya hidup-hidup. Semua orang di sini mengingatkannya dengan satu nama itu, satu nama yang sesungguhnya hanya ingin ia simpan untuk dirinya sendiri sampai ia akhirnya menyerah nanti.

Reno terkekeh, entah menertawakan apa. Mungkin dirinya sendiri. "Sampai kapan lo mau menunggu Dira? Bahkan lo gak pernah bilang apa-apa sama dia setelah hari itu. Tante Silvana pasti mengerti Ren, lo gak perlu menyiksa diri lo begini. Lo bisa melepaskan janji itu sekarang." Hanya Bimo yang tahu. Hanya Bimo yang mengerti mengapa Reno sekacau ini. Mengapa Reno harus kabur dari semua ini dan tak pernah melepaskan janjinya. Juga mengapa ini menjadi penyesalan yang membayangi hari-harinya.

"Gue gak akan pernah bisa Bim, sampai kapanpun. Meskipun gue gak akan pernah bertemu lagi sama Dira, meskipun Dira membenci gue, dan meskipun dunia gak merestui gue bersama dia. Dia akan jadi orang terakhir yang gue tunggu, itu janji terakhir gue sama Ibu." Reno mencengkeram ujung-ujung rambutnya dengan kedua tangannya. Menariknya mengikuti alur hingga tengkuknya. Benar kata Bimo, sudah 4 tahun dan ia masih sekacau ini.

"Jadi lo mau cari Dira sekarang?"

"Enggak tahu. Gue gak pernah mau memaksa dia. Gue sudah pernah bilang kalau gue akan menunggu dia. She's my last one. Jadi mugkin gue akan tunggu dia sampai gue bilang gue menyerah."

Let's (not) Fall in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang