Kabut pagi dan udara yang basah terasa menyelimuti rumah-rumah adat beberapa penduduk di lembah itu. Angin basah sisa hujan semalam membuat suasana semakin menusuk. Tak terlihat aktifitas yang menunjukkan bahwa mereka akan bekerja hari ini. Karena hanya terlihat beberapa perempuan mengasuh anak mereka, beberapa anak kecil yang duduk di teras sambil bermain dengan tertawa. Dinginnya suasana tak membuat anak-anak itu meringkuk di bilik tidur mereka.
Sementara asap terlihat mengepul hampir di setiap dapur rumah-rumah adat itu. Menandakan bahwa mereka sedang berusaha menghangatkan diri dengan perapian. Langit masih saja mendung dan sepertinya matahari tak hendak muncul hari ini.
Di sebuah rumah adat yang paling besar, terdengar percakapan yang melibatkan suara laki-laki. Sementara di bilik belakang, terdengar kesibukan karena Aruma, perempuan setengah baya dengan wajah anggun dan tegas, sedang mengawasi Leti memasak. Bau daging bakar terasa menyengat penciuman para lelaki yang sedang melakukan pembicaraan serius itu.
"Beberapa hari lalu, hulubalang Meka datang kembali." Lewanu, laki-laki setengah baya yang terlihat gagah dan berwibawa itu menatap laki-laki muda yang sedang duduk di depannya sambil mengasah ujung tombak yang akan dipakainya untuk berburu.
Lansa, si lelaki muda itu, terdiam tak menjawab. Dia malah terlihat serius dengan kegiatannya. Ujung tombak yang sudah terlihat demikian runcing dan tajam itu masih saja diasahnya.
"Kau tak mendengar ucapanku, Lansa?" Lewanu kembali bersuara dengan suara sedikit ditegaskan, membuat Lansa mendongak. Dia menghentikan kegiatannya dan menatap sekilas kearah Lewanu.
"Aku mendengarnya." Lansa kemudian kembali menunduk, meneruskan kegiatannya lagi.
"Perjodohan kalian sudah terjadi semenjak kalian masih sama-sama kecil dan bermain bersama." Lewanu kembali mengisahkan hal serupa yang sering didengarnya dari sang ayah itu.
Lansa tak menyahut. Sebenarnya dia bosan dengan bahan obrolan yang itu-itu saja. Perjodohannya dengan Mona, putri hulubalang Meka yang terkenal cantik dan hebat menggunakan pedang itu, sudah menjadi berita yang nyaris basi di telinga Lansa. Karena sejujurnya, dia tak suka dengan perjodohan itu.
"Hulubalang Meka mengajak kita berembug untuk segera melaksanakan upacara pernikahan kalian. Secepat yang bisa kita lakukan," Lewanu meneruskan pembicaraannya sambil sesekali menghisap tembakau yang terbakar pada canting pipa yang terbuat dari gading gajah itu.
"Aku masih ingin berpetualang, Yah. Aku belum cukup tua untuk tetap melajang."
Lewanu menatap Lansa tajam.
"Ini sudah yang kesekian kalinya kamu menolak pernikahan itu dengan bermacam alasan, Lansa. Ayah akan kehilangan muka jika nantinya harus ditunda lagi."
"Kalau Ayah tak mau kehilangan muka, Ayah bisa menjodohkan Mona dengan Dalton."
Lewanu semakin terkejut dengan ucapan yang dilontarkan Lansa. Bagaimana mungkin Lewanu harus mengalihkan perjodohan anaknya dengan Dalton?
"Lansa! Kamu ingin mencoreng nama baik Ayahmu? Apa kata Hulubalang Meka jika mengetahui idemu yang konyol itu?" Lewanu menghardik dengan suara keras dan tegas.
"Mengapa Ayah selalu memikirkan kata Hulubalang Meka, sementara Ayah tak mempertimbangkan perasaanku? Anak Ayah itu aku, bukan Hulubalang Meka atau Mona."
"Lansa! Jaga bicaramu! Jangan sampai apa yang kamu ucapkan itu sampai ke telinga Hulubalang Meka. Ayah tak mau memicu permusuhan dengan Hulubalang. Kamu tahu? Mereka memiliki kerabat yang jumlahnya tidak sedikit di Cherokee ini. Jika sampai kita memiliki alur yang bertentangan dengan mereka, Ayah tak tahu apa yang akan terjadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
KEMELUT LEMBAH CHEROKEE
FantasyTersesat di pemukiman penduduk suku Cherokee saat camping, membuat Yiska nyaris gila karena tak bisa keluar dan meninggalkan perkampungan yang berada di lembah paling subur dan penuh logam emas di kawasan itu. Apalagi saat Lansa, anak kepala suku Ch...