6. Epilog

2.4K 54 3
                                    

10 bulan kemudian..

"Ayo dorong terus.." bisik bidan dari balik kamar itu.

Aku yang mendengar gelisah dibuatnya. Kubolak balik kekanan kekiri sambil terus menatap pintu dan jam tangan.

"Sudah satu jam lebih tapi belum keluar juga, semoga tak terjadi apa apa.." bisikku sambil terus berdoa.

Ku jadi teringat saat beberapa bulan yang lalu tepatnya sesudah pulang dari vila itu istriku mulai muntah muntah, sering mumet dan banyak tidur. Aku kira istriku sedang masuk angin karena memang udara sepulang dari puncak memang kurang bersahabat.

"Ayo kuantar kerumah sakit Nis, aku yakin pasti gara-gara pulang dari vila."

Aku yang terus mengelus punggungnya saat nissa mulai muntah di wastafel rumahku bingung dibuatnya, apalagi Nissa sesudah reda muntahnya hanya nyengir menatap mataku penuh binar hanya membuatku tambah bingung.

"Jangan menatapku dengan wajah itu Nis, lihat aja akibatnya jadinya. Tadinya kita hanya nginap di vila cuma beberapa hari, jadinya keterusan sampai sebulan.. hhe" ujarku sambil mengedipkan mata menyunggingkan senyum penuh arti.

Nissa yang tadinya menatap penuh binar langsung merona lebih merah dari buah naga.

"Mungkin itu ada hubungannya dengan ini" ujarnya malu dengan wajah merona 2 kali lipat dari tadi lalu menunduk memandang wastafel.

Aku yang terus memandangnya akhirnya mengerti, dan senyumanku pun tambah 3 kali lipat lebarnya karena ku tahu betapa bahagianya aku saat ini.

"Hhe, ternyata gak salah kupilih lagu iyakan??"

Nissa yang tadinya tak mau melihat kearahnya lalu menatapnya bingung.

Aku hanya memutar bola mata karena nissa belum tahu maksud perkataannya.

"And when you can see your unborn children in her eyes.
Ya know...."

"....ya really love a woman" sambung Nissa berlinang air mata sambil mencium kedua pipinya dan tersenyum mesra.

Aku jongkok dan mengelus perut nissa yang masih kecil sambil terus berbisik.

"Kamu yang kuat ya nak, jadilah anak yang sholehah, ibumu akan baca surat maryam. Ayah surat Yusuf dan surat Thoha..."

"Koq kamu bisa bilang ini bakal anak perempuan? Dan surat Thoha untuk apa sayang?" ujar Nissa sambil mengelus kepala Irwan

"Aku gak tahu kenapa, tapi aku ada feeling ini bakalan perempuan dan kenapa surat Thoha? karena itu bagai sayur tanpa garam" kulirik istriku yang cemberut dan ku hanya tersenyum. "Maksudku orang orang terbiasa dengan surat Yusuf dan Maryam dengan harapan anak kedepannya punya wajah ganteng dan cantik tapi seakan lupa dengan ayat pendek surat Thoha. Kisah Nabi Musa meminta kelapangan dada kelancaran urusan dan terlepas dari kekakuan ini" ujarku sambil menunjuk pada lidah "Aku membaca surat itu semoga Allah melancarkan bicara anak kita nantinya, dan mengenai feeling anak perempuan bukannya mau mendahului ketentuan Allah tapi aku..." aku menarik napas panjang "Sebelum pulang dari vila aku bermimpi ibuku menimang bayi dan tersenyum kearahku.."

Nissa yang berdiri langsung ikut jongkok menatapku.

"A..ku juga bermimpi.. ibumu tersenyum kepadaku dan memberiku bayi perempuan lalu memintaku menjagamu.." lirihnya berkaca-kaca.

"Aku... kenapa ibuku..." aku menunduk kepala menahan airmata. Tapi kedua tangan Nissa dipipiku membuatku menatap parau kearahnya.

"Oh sayang kamu jangan begitu, kamu tahu ibumu sayang padamu. Walaupun dia tak bilang padamu bukan berarti dia tak sayang... mungkin ibumu ingin merestui kita berdua,, aku bahagia sayang, sungguh aku bahagia walau ibumu hanya bilang untuk menjagamu..."

Kunci Jawaban Dari Tuhan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang