1970
Pada tahun 1970, dikota ini, hiduplah seorang gadis bernama Nirmala. Ia merupakan anak bungsu dari petani apel bernama Angkoro Probodityo, ibunya seorang mantan penari jaipong bernama Siti Sulastri. Sejak menikah dengan Angkoro, Siti Sulastri sudah berhenti melakoni pekerjaan malam sebagai penari.
Nirmala punya dua orang kakak yang keduanya perempuan. Nama mereka Nurlaela dan Nurjannah. Sejak kecil mereka sudah bekerja membantu kedua orang tua mengelola perkebunan apel milik seorang penguasa di negeri seberang. Tersebutlah seorang penguasa bernama Sultan Bramakusuma yang kaya raya namun terkenal pelit. Beliaulah yang punya perkebunan apel di kota ini. Perkebunan yang berhektar-hektar tersebut dikelola oleh beberapa orang petani di kota ini, termasuk Angkoro. Sebagai warga biasa yang hidup serba kekurangan, Angkoro tak punya pilihan lain selain menjadi petani di perkebunan tersebut. Dia tak bersekolah, miskin pendidikan dan ilmu pengetahuan. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menjadi petani demi menghidupi istri dan ketiga putrinya. Siti Sulastri-pun demikian, tak punya pilihan lain. Kalau mau balik jadi penari lagi, tentu itu takkan mungkin, sebab ia sudah tak lagi muda. Bentuk tubuhnya-pun juga tak lagi sintal seperti muda dulu. Alhasil, jadilah mereka berdua petani di perkebunan milik Sultan Bramakusuma. Ketiga putrinya-pun ikut membantu karena tak punya pilihan lain.
Nirmala dan kakak-kakaknya menjalani masa kecil di perkebunan dan di rumah mereka yang nyaris seperti gubuk dengan suka dan duka. Siang hari mereka bermain sekaligus bekerja di perkebunan, membantu orang tua merawat pohon apel dan memetik buah yang sudah matang yang nanti akan dikumpulkan di rumah. Seminggu sekali, Sultan Bramakusuma akan datang mengambil buah-buah apel yang sudah dipetik yang akan ia jual dan pasarkan ke kota-kota lain di pulau Jawa.
Demikianlah kehidupan Nirmala dari kecil hingga usianya menginjak delapan belas tahun. Ia tak pernah sekolah, begitupun kedua kakaknya. Karena tak ada biaya dari kedua orang tua untuk menyekolahkan mereka. Bahkan Siti Sulastri pernah berkata pada putri-putrinya bahwa perempuan itu percuma sekolah, wong ujung-ujungnya juga akan di dapur kok. Ya, demikianlah pemikiran orang tak berpendidikan dan miskin ilmu seperti dirinya dan sang suami. Alhasil, tumbuhlah ketiga putrinya menjadi gadis tak bersekolah dan terpaksa menguras tenaga bekerja sejak kecil.
Namun berbeda dengan kedua kakaknya, Nirmala tetap ingin belajar. Meski ia tak sekolah, tapi ia tetap ingin belajar. Toh, ilmu itu tak hanya di dapatkan dibangku sekolah saja. Disela-sela kesibukannya bekerja mengurus perkebunan dan memetik buah apel, gadis itu tetap belajar. Ia bahkan belajar berhitung dari apel-apel yang dipetiknya. Ia belajar penjumlahan, perkalian, pembagian, semuanya hanya dari buah apel. Ia menghitung dan menjumlahkan buah apel yang berhasil ia petik, ia belajar perkalian dari buah-buah apel yang sudah terkumpul. Dan belajar pembagian dari buah apel yang ia belah menjadi beberapa bagian.
Selain itu, Nirmala belajar membaca dan menulis dari beberapa teman sebayanya yang berhasil sekolah walau hanya sampai SD. Ia bahkan mencuri-curi waktu untuk dapat membaca buku-buku pelajaran teman-temannya itu. Tak jarang, ia naik ke puncak pohon dan membaca disana agar tak ada yang mengganggu. Karena kalau ia dibawah dan orang tuanya melihat, pasti ia akan disuruh bekerja terus. Maka, disela-sela kegiatannya, Nirmala belajar membaca dan menulis.
Begitulah hari-hari yang dilalui Nirmala. Dan hari ini, sama seperti hari-hari sebelumnya, Nirmala berangkat dari rumah bersama kedua kakaknya pada saat matahari mulai beranjak turun. Ya, sekitar jam empat, mereka datang ke perkebunan untuk memetik apel seperti biasanya. Dengan membawa keranjang yang dikalungkan di tangan, ketiga gadis itu berlarian sambil tertawa-tawa. Gaun bermotif bunga-bunga yang mereka kenakkan menari-nari di udara. Langkah kaki mereka yang memakai sendal jepit itu memecah tanah gersang hingga menimbulkan debu yang beterbangan di udara.
Begitu tiba di perkebunan, langsung saja ketiganya menyebar menuju pohon-pohon apel yang berdiri kokoh di sepanjang lahan. Buah-buahnya yang merah menyala terlihat kentara sekali ditengah-tengah dedaunan yang hijau pekat. Jadi tak terlalu sulit untuk memetiknya karena terlihat dengan jelas. Nirmala mulai menjulurkan tangannya memetik buah-buah apel tersebut dan memasukkan kedalam keranjang yang ia kalungkan di tangannya. Ketika menemukan buah yang busuk, ia akan langsung membuangnya. Ia senang dengan pekerjaan ini, ia jalani sepenuh hati dengan perasaan suka. Bahkan, sembari memetik apel, gadis itu juga bersenandung sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arjuna & Nirmala
RomanceIni adalah kisah cinta klasik berlatar era tahun 1970-an. Pembaca akan dibawa pada masa-masa dimana zaman belum se-modern dan serba canggih seperti sekarang ini. Tersebutlah seorang pemuda pengelana bernama Arjuna yang akhirnya bertemu dengan Nirmal...