Jennie yakin suhu di ruangan kelas ini cukup hangat mengingat cuaca di luar lumayan dingin menyambut musim gugur, namun sejak kelas sejarah ini di mulai, ah bukan lebih tepatnya saat Taeyong mengambil alih bangku kosong berada tepat di sampingnya, suasana berubah menjadi lebih dingin. Seperti aliran dalam darahnya bergerak tak normal dan lebih cepat dan membuat jantungnya seolah terbakar. Ada perasaan ganjal yang menyelimuti gadis itu seolah dia ingin melakukan sesuatu pada pemuda yang ada di sampingnya.
Manik almond Jennie melirik Taeyong yang menatap lurus ke depan. Tapi seolah kebalikan darinya, Taeyong tampak jauh lebih cemas, bisa di lihat bagaimana dari caranya mengatur napas yang seolah naik turun seperti baru saja melakukan lari marathon yang sudah pasti menghabiskan tenaga. Bahkan pria itu tampak berkeringat dingin dan kakinya yang terus bergerak tak bisa diam.
“Apa kau baik-baik sa..” belum selesai Jennie melanjutkan kata-katanya, Taeyong segera menepis tangan yang mencoba meraihnya dan menatapnya sinis.
“Fokus saja pada pelajarannya,” balas Taeyong.
Waktu baru berjalan 40 menit namun guru tambun berambut plontos itu sudah mematikan laptopnya dan mengembalikannya ke dalam tas. Ia lalu mengatakan kelasnya berakhir lebih awal karena ia mempunyai urusan lain yang lebih penting dan saat ia keluar dari kelas saat itu pula Taeyong melangkahkan kakinya untuk segera pergi. Rasa panas yang seolah membakar jantungnya itu hilang seketika.
-0-
Hanbin dan temannya menemukan presensi Jennie yang duduk di sudut kafetaria yang dekat dengan etalase makanan. Hanbin tak percaya ada beberapa gelas yang sudah tandas berada di sana, dan terlihat Jennie yang sedang meneguk gelas berikutnya.
“Astaga, kau sebegitu kehausan selama di kelas Mr. Shin sampai menghabiskan 7 gelas ice lemon tea, huh?” tanya Hanbin tak percaya. Ia ingin tertawa namun terhenti ketika Jennie menampakkan wajahnya yang tampak pucat.
“Jen, kau kenapa?” tanya Hanbin yang berubah lembut dan meletakkan telapak tangannya pada dahi Jennie.
“Aku baik-baik saja,” jawab Jennie seraya meneguk tetes terakhir di gelasnya, “Lagi pula sehabis ini ada pelajaran fisika. Aku tak ingin melewatkannya,” sambungnya.
“Kau sungguh menyukai pelajaran itu?” tanya teman Hanbin yang akhirnya membuka suara.
“Iya, bisa dikatakan seperti itu.” Jennie menjawabnya malu-malu. Nyatanya, ia memang menyukai pelajaran yang berhubungan dengan eksakta seperti sains maupun matematika.
“Kau tahu siap penemu pertama lampu bohlam?” tanya temannya menguji.
“Hey, jangankan tanya Jennie. Aku saja tahu. Thomas Alva Edison, kan?” sela Hanbin dengan bangga.
“Sebenarnya Warren De la Rue-lah yang pertama kali menciptakan bohlam 87 tahun lebih dulu sebelum Edison yang mampu menyempurnakannya dan menjadikan hak paten.” Jennie bersuara dengan percaya diri.
Teman Hanbin yang cukup rupawan itu mengangguk dengan senang dan berkata, “Tepat sekali. Ah sudah kuduga kita cocok. Aku Goo Junhoe, tapi kau bisa memanggilku June,” ucanya mengenalkan diri. Sejujurnya sulit untuk berkenalan dengan pria yang satu ini karena ia tampak seorang yang sinis, dan kaku namun jika ia menemukan persamaan dengan orang lain, dirinya lebih hangat dan bersahabat.
Jennie menikmati makan siangnya dengan tontonan Hanbin dan Junhoe yang seolah saling bertengkar. Namun hal itu tak berlangsung lama ketika Rosé, Lisa, dan pemuda tinggi yang belum Jennie kenal datang mendekati meja makan mereka.
“Jennie, seseorang menunggumu di rooftop,” ucap Lisa yang seolah ragu mengatakan.
“Siapa?”
“Taeyong,” Rosé bersuara. Masih menatap angkuh Jennie.
“Secara teknis dia tidak menunggumu, tapi lebih baik jika kau menemuinya,’ pemuda tinggi bersurai hitam itu menjelaskan.
“Jaehyun.” Rosé tampak kesal mendengar penjelasan pemuda itu.
“Untuk apa Jennie kesana?” tanya Hanbin secara defensif, seolah orang-orang dihadapannya ini adalah musuhnya. “Jennie, sebaiknya kau abaikan saja mereka. Kau tak perlu kesana,” ucap Hanbin mencoba meyakini Jennie.
“Itu bukan urusanmu, Hanbin,” Jaehyun berucap dengan dingin.
“Ini juga bukan urusan kalian jika yang bersangkutan adalah Taeyong dan Jennie,” sahut Junhoe membela Hanbin.
“Kami hanya ingin menyampaikan hal ini saja, Junhoe. Ini tergantung pada Jennie akan menemuinya atau tidak,” balas Rosé.
“Apa ini berkaitan dengan kondisinya? Kulihat saat di kelas sejarah ia tampak tidak sehat,” Jennie bertanya. Vokalnya terdengar khawatir.
“Ya, kurang lebih seperti itu,” jawab Lisa.
“Kalau begitu aku akan ke sana.” Tanpa basa basi Jennie segera berdiri bangku, namun tangannya tampak di cegah oleh Hanbin dan berkata, “Aku ikut denganmu.”
“Tidak perlu, Hanbin. Aku bisa sendiri,” tolak Jennie dengan halus lalu segera meninggalkan kafetaria.
-0-
Pintu tua itu di ujung sana terbuka dan berderit membuat Taeyong yang memejamkan matanya terbuka seketika. “Jaehyun, apa itu kau?” tanyanya.
“Maaf, tapi ini aku—Jennie,” jawab Jennie dengan pelan.
Taeyong sontak berdiri dan melihat Jennie di ujung sana dengan pandangan defensif. “Mengapa kau kemari?”
“Entahlah. Aku hanya ingin menghabiskan sisa jam istirahatku di sini.” Jennie mencoba memberi alasan.
“Kau bohong. Pasti mereka yang menyuruhmu kemari. Benarkan?” tebak Taeyong yang mengacu pada Lisa, Rose dan juga Jaehyun.
“Baiklah, aku mengaku. Mereka memang meminta untuk datang kemari untuk menemuimu. Aku juga tidak mengerti, aku bisa membantu apa di sini.” Jennie menjawab dengan tidak menatap langsung Taeyong yang tampak mengintimidasinya.
“Seharusnya kau mendengarkan Hanbin untuk tidak kemari,” ucap Taeyong mulai mendekati Jennie.
“Atau kau memang sudah tertarik denganku?” pertanyaan itu terdengar seperti penasaran ketimbang mengejek dan Jennie tidak menyadari bahwa kini jarak mereka kurang dari satu meter. Ia mengangkat kepalanya, melihat manik Taeyong yang menggelap menatapnya dengan penasaran.
Jennie pun lantas berpikir keras apa dia tertarik pada Taeyong. Ia jadi ingat di kelas bahasa inggris tadi, ia bahkan secara spontan melafalkan nama pria itu dan aroma yang menguar pada Taeyong sejujurnya membuat Jennie seolah menginginkan pria itu.
Seketika tangan dingin Taeyong dengan sengaja meraih pergelangan tangan kanan Jennie, ia tersenyum melihatnya. “Kau vampire terhangat yang pernah kutemui,” bisiknya.
Alis Jennie bertaut setelah mendengarnya, lantas iapun mulai berucap, “Apakah itu artinya baik atau...”
“Buruk. Sangat buruk untukku,” potong Taeyong sebelum akhirnya ia menarik pinggang Jennie dengan tangan kanannya yang bebas, memapas jarak mereka lalu mendaratkan ciuman tepat di bibir gadis itu.
-0-
Ceritanya semakin aneh, maapkeun
See ya
And
Keep bust a move
KAMU SEDANG MEMBACA
The 7th Sense [Postponed]
FantasyIn the irregularity that's hard to understand There's a story that's deeply hidden The 7th Sense by NCT - U Dulu, Jennie selalu berpikir bahwa menjadi seorang vampire adalah hal terburuk yang terjadi pada dirinya. Tahun demi tahun berlalu, ia mulai...