Cicak

429 43 41
                                    


Sekejab kelopak mata itu terbuka, kedipan mata yang secepat kilat, meskipun dengan satu matanya yang membengkak, makhluk itu mengawasinya dengan senantiasa masih merayap cepat.

Memanjat salah satu kaki tempat tidur. Makhluk itu memandang anak laki-laki kecil yang berbaring di atasnya. Astaga, betapa benci keluar dari pandangannya itu, dendam seakan menyeruak dari dalam hati kecil miliknya.

Kali ini ia berniat untuk balas dendam lebih pada anak laki-laki itu, ia akan menggigit matanya. Yah, mata kakinya.

Nizam terbangun, dengan napas tersenggal-senggal ia segera memeluk erat kakinya. Kelopak matanya terbuka lebar menerawang lurus ke depan. Ia ingat telah tertidur di kamar pribadinya, lebih tepatnya dipan segi empatnya, yang sekarang dalam keadaan gelap gulita. Lalu lama kelamaan matanya mulai terbiasa dengan suasana gulita ini. Samar-samar akhirnya ia bisa melihat keadaan ruangan ini.

Ia melihat ke sekeliling tempat tidur dan memeriksa di bawah bantal. Tidak ada apa-apa. Lalu menjulurkan kepala ke bawah kolong yang lebar di bawahnya. Tidak ada apa-apa. Merangkak sedikit ke samping selimutnya. Tidak ada apa-apa. Ia kembali memeluk kakinya. Ia yakin baru saja merasakan serangan itu. Rasanya benar-benar menakutkan baginya, sehingga apapun yang sedang ia cari itu, ia bersikeras menganggap itu ada dan menengok sekali lagi ke bawah. Tapi tetap tidak ada apa-apa. Setelah itu, mungkin ia sedikit berharap itu ada, sehingga ia mencoba menjerit ketakutan secara wajar. Dan menengok sekali lagi ke bawah. Tapi kenyataanya tetap tidak ada apa-apa!

Nizam tak mengeluarkan sepatah kata pun setelahnya. Ia merambat berdiri ke dinding pagar tempat tidurnya melihat Ayah hanya duduk pada sofa besar kesayangannya sambil menikmati secangkir kopi dengan pikiran tenang. Lalu mencoba untuk memanggil, "Bah, bah, bah," saat itulah binatang liar itu muncul diam-diam dari balik lukisan buatan Ibu.

Nizam baru akan meraih seonggok kipas tangan favoritnya sebagai senjata, siaga ketika binatang liar itu menyusup ke kakinya namun tiba-tiba hampir menggigit tumitnya. Nizam terkejut hingga nyaris memekik. Ia cepat-cepat melihat ke bawah, dan mendapati seekor cicak lari terbirit-birit ke kolong dipan.

Iya, itu memang mata. Nizam menyadarinya. Tapi ketika cicak itu berhenti untuk memeriksa apakah ia akan mengejarnya. Nizam benar-benar melihatnya. Satu mata yang sebesar kerikil dan persis benjolan daging yang dipenuhi keropeng. Seketika itu membuat bulu-bulu halus di sekitar lehernya meremang.

Berbagai perkiraan asing pun muncul berkelabat dengan liar di pikiran Nizam. Seperti, serangan cicak itu mungkin akan membuatnya terjangkit penyakit kulit yang mematikan. Atau, mata cicak itu mengeluarkan semacam nanah untuk menularkan tumor kepadanya. Atau yang paling parah, menggunakan matanya, cicak itu baru saja mengencingi dirinya!

Nizam langsung tumbang oleh itu semua. Melihat reaksi Nizam yang seolah-olah akan mengejarnya. Cicak itu pun segera melanjutkan berlari untuk kabur.

Namun, sepertinya serangan dari cicak itu belum selesai sampai di situ saja. Karena kini tiba-tiba Nizam mendengar bunyi, "Cck... Cck... Cck... Cck..." Terus menerus memenuhi kepalanya. Hingga dengan gagah berani seekor cicak muncul dari bawah tempat tidurnya.

Nizam terperanjat, dan menambah satu lagi perkiraan asing dalam pikirannya—bahwa cicak ini mungkin sedang berniat menyerang jantungnya.

Nizam bangkit sambil melangkah mundur. Kini ia sudah sempurna menggenggam kipas tangannya itu. Menyadari ketakutan Nizam, cicak itu pun bersiap-siap mengambil rayapan cepat dan mendesak Nizam dari arah bawah. Sedangkan Nizam, tampak bersiap-siap untuk jungkir balik ke pojok tempat tidur sesegera mungkin.

Pertarungan tak masuk akal pun dimulai. Cicak merayap. Nizam jungkir balik ke samping. Cicak melompat, mengira ia bisa terbang. Nizam menebas ke kanan. Tebasan itu telak mengenainya. Cicak menabrak tembok, tapi cepat pulih dan berlari menuju Nizam. Nizam kembali naik ke atas tempat tidur dan tanpa sengaja melihat gelas berisi air susu yang tidak ia minum lagi. Segera ia bersiasat, mungkin bisa dengan cara itu.

Ketika cicak lawannya sudah naik ke atas tempat tidur seperti dirinya, ia pun sengaja menumpahkan seluruh air susu dari gelas itu di atas kain perlak. Cerdik, perlak tidak tembus air. Cicak itu dihentikan oleh genangan air susu itu. Tetapi ketika berusaha untuk berhenti, ia tak sanggup menahan dorongan tiba-tiba dari tungkai kakinya, sehingga badannya mendoyong ke depan dan mulutnya menyentuh genangan di atas perlak itu. Cicak itu terpaksa harus menghisap habis. Senyum Nizam melebar merasakan kemenangan. Siasatnya berhasil.

Nizam mencoba berdialog kepada cicak itu dengan bahasanya sendiri, "Kau menyukainya?" Cicak itu menghisapnya dengan penuh sukacita.

"Jadi, kita berdamai, ya?" kata Nizam. Karena ingin lebih bersahabat, Nizam pun menawarinya mainan menara hanoi miliknya. Namun nampaknya cicak itu lebih senang menghisap genangan air susu itu.

Nizam pun berkata, "Cuma bercanda. Kau kan tak bisa main ini."

Entah tersinggung atau tidak terima dengan ucapan Nizam barusan, binatang merayap itu kini membuat kuda-kuda menyerang. Ia menghentikan acara santapnya. Matanya yang semula sayu senyap kini menjadi awas. Menyadari geliat itu, gerakan cekatan Nizam dikeluarkan untuk menghalau serangan tiba-tiba dari si cicak. Khawatir binatang itu mengeluarkan semburan lidah beracunnya, Nizam meraih kipas tangan yang sedari tadi sudah ia genggam sebagai tameng. Namun cicak lebih cemas. Binatang itu tak punya racun seperti yang dipikirkan Nizam sehingga cara terakhir agar selamat ia harus kabur. Putuslah ekor cicak itu. Nizam panik dan ia mulai menangis. Mendengar tangisan anak pertamanya itu, Ibu masuk ke kamar Nizam untuk melihat situasi. Ketika mereka melihat pemandangan ganjil itu, Ibu menenangkan, "Cup, cup, cup. Tenang sayang, ada Ibu." Cicak pun melenggang di balik lukisan, dimana tempat pertama ia muncul. Ia kabur.

CicakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang