Pada suatu hari Baba sedang berada di sebuah halte. Ia mendapati gerak-gerik lelaki muda aneh yang menarik perhatiannya. Dia duduk hampir tepat di sebelahnya. Hanya terhalang oleh tiang penyangga halte. Pemuda itu tengah menulis pada sesobek kertas yang ukurannya sejengkal tangan. Pulpen yang dipakainya telanjang, hanya isinya. Baba tersenyum geli. Hihihi... makanya kerja cari duit. Sepertinya pemuda itu mendengar isi hati Baba sehingga disematkanlah pulpen telanjang itu di lipatan bibirnya.
Rambutnya berantakan, seperti tak pernah bertemu dengan sisir. Bajunya merah-biru, mengingatkan Baba pada super hero yang pandai memanjat dinding, itu pun kalau bajunya disetrika rapi. Nyatanya pemuda itu memang tidak terlihat rajin menyetrika baju. Terlihatlah kain yang lecek. Belum lagi, bulu-bulu hidung mencuat dari lubangnya dan keringat yang membasahi lipatan ketiak pemuda itu. Baba begidig.
Kepalanya terangkat. Tanpa menggemingkan kepalanya, bundaran hitam matanya kemudian berputar. Mata itu menclok kepada anak sekolah tingkat pertama yang ikut menunggu bis. Baba sadar bahwa anak sekolah itu ternyata terlalu asyik dengan bacaannya di telepon genggamnya sehingga ia tak menyadari bahwa sedang diawasi si pemuda.
Mata itu kemudian hinggap di perempuan kantoran di sebelah siswi tadi, lompat kepada orang tua di sebelahnya, kemudian seluruh halte disapu pandangannya. Sikap itu sudah pasti merupakan sikap kewaspadaan diri si pemuda. Detik selanjutnya, mata itu bertemu dengan pengawasan Baba. Sedikit canggung, namun Baba menatapnya dengan tegas. Si pemuda hanya bisa membalasnya dengan menggaruk-garuk kepala sambil membuang muka.
Ketika pemuda itu membuang muka, terlihat gerakan kecil muncul. Secarik kertas kosong itu dimasukan ke dalam saku celananya. Kemudian ia duduk memunggungi tiang halte. Kedua tangannya mengedur sambil mengatur nafas dalam beberapa tarikan.
Dia mendeham dua kali sambil melirik Baba yang masih intens duduk menunggu bis yang belum tiba.
Melihat Baba dalam keadaan seperti itu, dengan cepat ia meraih sebuah koran dari balik pakaiannya. Lalu membuka halaman dengan cepat hingga sampai di halaman tertentu. Menyadari tidak ada yang memperhatikan tindak tanduknya, pemuda itu menulis sesuatu di kertas sobekan yang hanya sejengkal itu.
Baba melakukan sebuah gerakan pindah kaki, tanpa sadar pulpen telanjang pemuda itu telepas dari gengamannya. Permukaannya yang licin membuatnya terlempar jauh dari kursi halte. Si pemuda gelagapan karena pulpen satu-satunya itu melesat jauh.
Bulatan matanya yang hitam itu kembali bergeser. Lebih dari sepuluh hitungan ia menatap si perempuan kantoran. Memperhitungkan agar gerakan mengambil pulpen si pemuda itu tidak tertangkap pengamatan si perempuan.
Sementara Baba sedang menduga si pemuda itu adalah anak putus sekolah. Mungkin pemuda itu pernah kuliah beberapa tahun, atau beberapa semester, atau beberapa bulan, kemudian keluar. Atau pernah SMA, lalu tak meneruskan kuliah. Melamar kerja, oh iya, ia mungkin sedang mencari pekerjaan. Bagus, usaha terus ya, Nak!
Barangkali pemuda itu punya tujuan tertentu sampai ia harus terpaksa menunggu di halte bis ini. Mungkin hanya untuk menghindari omelan orangtuanya karena dianggap tidak produktif. Atau, paling parah, pemuda itu hanya iseng belaka: mengibaratkan dirinya sedang berperan sebagai agen spionase yang pandai mengendap-endap.
Baba mengerutkan kening, pemuda ini sedang melakukan apa sih? Berdiri seperti patung seolah gerakannya tak mau diperhatikan orang-orang, sementara kaki kanannya menjulur-julur meraih sesuatu di bawah kursi si perempuan kantoran. Kepalanya menoleh berlawanan arah dengan tubuhnya. Sesekali posisi tangannya kanannya mengepal ke atas seperti orang ngulet. Sementara tangan kirinya mengejang ke bawah. Baba jadi teringat pada komedian yang terkenal karena susis-nya.
Pada akhirnya Baba paham setelah melihat pulpen telanjang si pemuda itu ternyata terjatuh. Si pemuda berusaha meraihnya dengan rasa gengsi yang tinggi.
Baba berdeham kemudian menghampiri si pemuda. Menjinjing kerah baju si pemuda untuk menjauhkannya dari tempat duduk si perempuan kantoran itu, lalu Baba berkata, "Tong, nih gue kasih lu pulpen yang baru."
Si pemuda kemudian meringis malu. Namun sikap kewaspadaannya itu tidak hilang. Ia membuka lagi koran miliknya sambil menutup wajahnya dari tatapan Baba. Tetapi tak lama kemudian pemuda itu membuka wajahnya sambil tersenyum tanggung. "Anu, kertas buat nulisnya kurang. Boleh minta sekalian?"
Baba mencoba menahan tawanya dengan membalikkan badan dan mengambil sebuah note block dari balik tas kantornya.
"Nih, lu pake dah buku gue."
"Makasih, Om."
Setelah beberapa menit, apa yang dilakukan si pemuda itu selesai. Koran miliknya ditutup dengan melipat-lipatnya menjadi kecil dan dimasukkan ke dalam pakaiannya dengan elegan yang dipaksakan.
Setelah itu, si pemuda berdiri sempurna sambil mengacungkan telunjuk untuk menyetop bis. Berjalanlah ia dengan langkah yang sangat enteng memasuki bis yang membawanya hilang dari penglihatan Baba.
Baba geleng-geleng kepala, Anak itu kenapa sih? Kebanyakan nonton film detektif kayaknya tuh.
Belakangan setibanya di kantor dan membaca koran hari itu, Baba mengerti apa yang dilakukan si pemuda di halte bis pagi itu. Apa yang ia curigai ternyata terbukti. Pemuda itu mencatat lowongan pekerjaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cicak
Short StorySebuah cerita pendek tentang imajinasi seorang anak yang di atas rata-rata, bahkan orang dewasa akan sulit memahami imajinasi anak ini.