Bulir-bulir Air yang Jatuh dari Langit

280 25 31
                                    

Nizam menguap. Bulir-bulir air di samping mata kiri dan kanannya menyeruak. Ia terduduk di kasurnya ketika rintik-rintik genting kamarnya kejatuhan sesuatu. Ia menoleh ke arah jendela. Genting kaca yang sedang dijatuhi sesuatu itu membuatnya penasaran. Dipandanginya titik hujan yang jatuh dari langit itu, keningnya mengerut. Ia tak paham benda apa yang jatuh itu. Seingatnya benda itu bisa membuat dirinya kedinginan waktu Bubu menyeretnya mandi.

Brr... tubuhnya begidig. Meskipun begitu, ia tetap penasaran terhadap benda itu. Bening dan jatuh bebas dari langit. Indah sekali. Dentingnya merdu. Telapaknya mengepak untuk menggapai benda bening di atas sana. Namun tak sampai.

Melihat anak pertamanya sudah bangun, Bubu menangkap Nizam. Nizam tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia merangkak menjauhi Bubu. Tubuhnya berguling ke samping. Namun Bubu tidak kalah sigap. Tangannya mengejar Nizam.

"Kamu mau lari lagi ya?" kata Bubu. "Tidak bisa. Kamu terpojok."

Dengan wajah polos Nizam memalingkan wajah. Ia masih menatap indahnya rintik hujan di kaca itu. Ia takjub pada zat yang berbunyi tik-tik itu.

Bubu paham apa yang sedang diamati Nizam. Digendongnya bayi umur sembilan belas bulan itu menuju jendela depan. Dibukakan jendela itu dan membiarkan tangan mungil Nizam menyentuh tetesannya.

"Baaaa..." katanya pelan. Nizam kaget ketika air hujan itu ternyata dingin.

Sambil mendudukan Nizam di kursi bayinya, Bubu memberitahu. "Ini air. Namanya air hujan. Jatuh dari langit."

Tiba-tiba Baba muncul dari balik meja kerjanya menghampiri Bubu dan Nizam.

"Si Bubu. Nizam mana ngerti soal air jatuh dari langit," katanya. "Sini, biar Baba yang cerita."

Nizam menoleh ke arah Babanya sambil memasang muka penasaran. Tangan kirinya masih mengepak-ngepak bekas air yang menetes di kulitnya.

"Air hujan itu air mata para bidadari."

"Si Baba malah ngaco. Mana ada bidadari nangis?" sanggah Bubu. "Bidadari kan hidup bahagia di sana."

"Benar juga sih," kata Baba. "Bu, katanya mereka juga punya wajah yang elok cantik luar biasa."

"Iya, katanya sih begitu."

Bubu melirik Baba. Baba sudah senyam-senyum daritadi. Baba sedang menjahili Bubu.

"Eeeh, maksudnya apa nih?" seru Bubu. "Baba mau cari bidadari baru?!"

Baba melengos.

Nizam meronta. Bukan karena tidak paham arah pembicaraan Bubu dan Babanya, tapi karena Nizam punya trauma tersendiri pada air.

Ia teringat ketika Bubu menipunya dengan bebek-bebekan yang sedang berenang di atas kolam. Tahu-tahu, tanpa sadar, dirinya sudah terendam air dingin. Menggigilah Nizam sesudahnya.

Setelah itu ada semacam cairan yang dioles Bubu ke seluruh badannya. Ia curiga cairan itu adalah penawar air dingin. Setiap hari selepas dirinya diceburkan ke dalam air dingin, cairan itu membuat tubuhnya hangat kembali. Pijatan Bubu di bagian punggung dan dada membuatnya geli.

Belum selesai perkara dengan cairan itu, bokongnya ditabur semacam bubuk halus. Tidak hanya bokong, dada, perut, leher hingga wajah tak ketinggalan. Bubuk itu yang selalu membuatnya bersin-bersin. Hidungnya seperti digelitiki sesuatu. Melihat Nizam bersin, Bubu hanya tertawa senang.

Mengingat rentetan peristiwa-peristiwa itu bulu kuduk Nizam berdiri. Ingin sekali jika air yang membasahi tubuhnya itu diganti dengan taburan coklat seres saja.

Nizam teringat Bubu mengajari sebait lagu entah apa itu namanya.

Tik... tik... tik...

Bunyi hujan di atas genting.

Airnya turun tidak terkira...

Dengan susah payah Nizam mengikuti iramanya.

Bah... abh... bah...

Bah ba ba bah

Abh bah bah...

Mendengar nyanyian anak laki-lakinya, Baba bertepuk tangan. Ia pikir anaknya kelak akan menjadi penyanyi ternama.

Kemudian Baba mengeluarkan sebuah kegundahan kepada Bubu. "Bu, Baba sedih lho kalo hujan turun."

"Sedih kenapa, Ba?" tanya Bubu antusias.

"Baba suka kasihan sama orang-orang yang tinggal di jalanan, yang tinggal di kolong jembatan, yang rumahnya terbuat dari kardus. Belum lagi kalau banjir."

"Iya, ya, Ba. Kasihan mereka. Tapi Bubu lebih kasihan lagi lho, Ba."

"Lho kenapa, Bu?" tanya Baba.

"Kalo hujan, Bubu suka inget sama mantan Bubu yang pergi ninggalin Bubu di tengah hujan," kata Bubu terus terang. "Kayak sinetron sih, tapi itulah yang terjadi. Dan lucunya, waktu itu Bubu yang nangis."

Baba mengangguk-angguk. "Eh, gimana? Bubu punya mantan? Kok ga' cerita-cerita sama Baba?!"

"Biarin... weee~" Bubu menjulurkan lidah, membalas kejahilan Baba sebelumnya.

"Jangan kabur!" seru Baba mengejar Bubu. Mereka pun akhirnya kejar-kejaran.

Nizam menguap melihat kelakuan orangtuanya.

Ah pusing, katanya dalam hati. Sebenarnya hujan itu apa? Kalau tak hujan, orang-orang pasti mengeluh kekurangan air, tanah kering, gagal panen, dan mereka mungkin jarang mandi. Tapi kalau hujan... jatuhnya air itu malah bikin galau.

Matanya berputar-putar tanda tak bisa memikirkan hujan lebih jauh lagi. Terlalu banyak misteri yang dibawa air dari langit itu. Bila terus dipikirkan mungkin tubuhnya kelewat tua daripada umurnya. Mungkin pula akan menguras lebih banyak lagi energi karena saraf yang bekerja akan lebih banyak membutuhkan asupan. Sementara asupan terbesarnya hanya asi. Nizam pun tetap tak bisa membanyangkan betapa dahsyatnya gumpalan kabut yang berisi uap air itu bergerak ke titik terdingin bumi sehingga jatuh menjadi tetes-tetes hujan yang deras.

Banyak hal yang tak diketahui Nizam tentang hujan. Yang paling ia tahu soal hujan adalah rasa nyaman yang diberikan oleh Bubu kepadanya: memeluknya, menciuminya, membalutnya dengan sehelai selimut sehingga tubuhnya hangat, dan ditemaninya hingga ia terlelap.

Aku memang suka hujan. Suara air yang menghujani genting itu menenangkan. Suaranya merdu, bahkan lebih merdu dari suara Baba yang menimangku tidur. Dan satu lagi yang indah, ketika hujan itu reda, muncullah pelangi. Bubu selalu menyanyikannya untukku...

Pelangi, pelangi...

Alangkah indahmu...

Bla... bla...

Aaah aku lupa lagi kelanjutannya...

CicakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang