27 | Rasa, Harus Ditebus Bagaimana?

49.7K 4.7K 902
                                    

"Sorry gue udah ngotot kemaren," ujar Amara menghampiri meja Aurora begitu kelas mulai kosong.

Aurora hanya mengangguk sekilas dan malah sibuk dengan ponselnya membuat Amara sedikit gemas. Aurora masih kesal sih sepertinya. Tapi Amara ngga menyesal juga mengeluarkan unek-uneknya kemarin. Aurora ini sedikit menyebalkan kalau sudah sok-sok berprinsip.

"Lo jadi ke Bandung hari ini?" Tanya Amara lagi yang dihadiahi kernyitan di dahi oleh Aurora. Lalu dibalas anggukan lagi. Amara mulai kesal.

Amara menarik kursi dan duduk menghadap meja Aurora. Di saat yang sama Aurora sudah akan berdiri dan beranjak meninggalkan kelas yang langsung ditahan oleh Amara. "Duduk. Gue mau ngomong," kata Amara lagi dengan nada tegas.

Aurora melepaskan tangan dengan gerakan halus dan tetap berderap meninggalkan Amara yang melongo sejenak dan tak habis pikir. Aurora mengajak dirinya berkonfrontasi juga ternyata!

"Pengecut!" Geram Amara dengan cukup sukses merasuk ke telinga Aurora.

Aurora langsung berbalik dan menatap tajam Amara dibalas dengan tatapan tak kalah sengit dari empunya. "Lo pikir lo keren dengan bersikap independen kaya gini? Childish ngerti ngga!" Ucap Amara langsung.

"Lo udah jadi Aurora yang berbeda dari yang gue kenal dulu. Anak penuh ambisi yang kurang ajarnya ngisengin  Irfan, Didi, Tora karena gangguin Disa bahkan Pak Bagyo cuma karena itu guru semena-mena nabrak kucing trus kabur. Kemana Aurora yang suaranya paling toa kalau kelasnya istirahat duluan? Kemana Aurora yang bilang jangan samakan dia sama Princess Aurora karena pasti dia mulutnya bau gara-gara udah tidur bertahun-tahun? Lo gadaikan kemana kepribadian menyenangkan lo itu?

"Kemarahan lo semuanya jadi bias. Lo marah karena lo dibohongi atau karena lo emang insecure karena lo ngga cukup bisa mempertahankan orang yang lo percaya?" Tukas Amara menggebu-gebu belum ada tanda akan berhenti.

"Everyone has their extraordinary ordinary life. Lo harus struggle buat hidup lo sendiri. Lo ngga bisa nuntut orang lain harus ngejaga perasaan lo terus, which is your brother, your family, other people you care about. Lo juga ngga bisa menarik diri dari peredaran dan hilang kepercayaan ke orang lain begitu aja. Lo ngga punya teman, jauh dari saudara lo sendiri, nyakitin nyokap bokap lo. Mikir sampai situ ngga?"

"Lo kalau cuma mau bilang 'tolong maafin Antariksa' ngga usah berbelit," sambar Aurora yang wajahnya sudah merah padam menahan amarah.

"Itu urusan lo mau maafin dia apa engga. Yang gue mau, lo maafin diri lo sendiri," balas Amara.

"Basi!" Aurora lantas pergi meninggalkan Amara yang terduduk dengan isak tangis. Sahabatnya terlepas lagi dari genggamannya.

***

Arlo gelagapan begitu dipergoki Aurora berada di balik pintu kelasnya. Tanpa banyak bicara Aurora terus melanjutkan langkah dan mengabaikan Arlo sepenuhnya.

Sejenak dipandanginya figur Aurora dari belakang yang tampak tangguh namun ternyata rapuh. Saat ini dia sedang mengalami patah hati yang hebat. Merasa disakiti oleh orang yang dia percaya, saudaranya, dia, dan kini sahabatnya. Bagaimana mungkin Aurora tak akan menjadi semakin mengabur dari dunia setelah ini.

Dikejarnya Aurora yang sudah hilang ditikungan. Penebusan dosa Arlo sudah dimulai sejak pagi di mana dia bangun tidur di hari ulang tahunnya dan menemukan goresan kemurkaan Aurora padanya. Bentuk kekecewaan yang diinterpretasikan Arlo sebagai penyaluran yang berbeda dari rasa peduli. Dan Arlo tidak bisa membiarkan perempuan itu lepas lagi.

Persetan dengan masa lalu. Arlo sudah selesai dengan itu semua. Dan saatnya Arlo membuat Aurora berdamai dengan kisah lalunya yang tak menyenangkan dan ingin menggantinya dengan kisah masa depan yang lebih baik. Pun, Arlo tidak mau menjadi masa lalu Aurora yang buruk. Kalau ada masa lalu yang harus diingat sebagai kisah yang manis, tentulah Arlo harus ada di prioritas memori Aurora.

CompliantwinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang