Chapter 37

1.3K 50 1
                                    

  Menjelang subuh aku sudah terjaga dari tidurku. Aku perlahan- lahan menangkap keadaan sekeliling yang tidak familiar. Aku pun sadar, sedang menginap di tempat kak Faisal. Lampu kamar mandi menyala dan terdengar suara percikan air, kakak sedang mandi. Ini pun sesuatu yang baru buatku. Hidup sendiri dalam persembunyian telah banyak merubah kakak. Tak lama kakak pun keluar dari kamar mandi,

"Adek sudah bangun juga..."
"Iyah, mau sholat subuh."
"Yuk, barengan ama kakak."

Aku gembira mendengarnya. Kakak sudah lebih relijius. Aku pun mengambil wudhu dan kami berdua untuk yang pertama kalinya dalam hidup sholat berjamaah. Dalam hatiku aku meresapi setiap detik yang ku lalui bersama kak Faisal. Seusai sholat, kami berbaring berduaan di atas ranjang menyambut sang fajar meresapi kebersamaan kami. Awalnya aku canggung untuk memeluk kak Faisal, namun ketika kakak memelukku, aku pun memberanikan diri. Aku sebisanya bersikap wajar di luar, namun aku tak bisa menipu rasa di hatiku, kalau perasaan rindu yang kuat sekali sedang menggelora didalam diriku, sekalipun aku saat itu sedang duduk bersebelahan dengan kakak. Sepertinya jarak beberapa centi ini masih terlalu jauh. Setiap detik yang ku jalani bersama dengan kak Faisal adalah hal yang amat sangat berharga setelah aku pernah kehilangan sosoknya dan menangisinya setiap malam untuk waktu yang lama.

Setelah langit di ufuk timur merona, aku menyiapkan kopi pagi sementara kakak menyiapkan roti dan selai, juga piring dan sendok yang di pakai untuk mengolesi roti dengan selai. Kami pun kembali duduk berduaan di dalam kamar kontrakan yang sangat sederhana, sarapan roti dengan selai. Tak puas- puasnya aku memandang wajah kak Faisal. Kakak pun tersenyum.

"Dek, gimana itu hubungan kamu ama si Rian?" tanya kakak ditengah kami menikmati roti kami.

Aku ceritakan cukup detail kepada kakak, perubahan sikap Rian setelah menyusulku ke Palembang, sikap cemburu berlebihan yang mengarah kepada tindakan kekerasan dan hubungan yang lebih kearah tindakan seksual. Ku ceritakan juga Erwan yang ternyata mencintaiku setelah bertunangan hingga hubungan ku dengan dia membuat situasi ku di Bangka malah bertambah kusut. Tak luput ku ceritakan juga cemburu Rian yang melebihi batas normal hingga mengarah ke tindakan tak wajar, hingga paling parahnya membakar rumah emak karena cemburu tentang hubunganku dengan Erwan.

Kak Faisal mendengarkan dengan semua ceritaku sambil menikmati sarapan roti selai.

"Kakak udah bisa baca sifat Rian kayak gitu, cuma waktu itu kakak lagi dapet masalah yang lebih gawat lagi, jadi kakak gak sempet urusin itu. Kakak berharap kamu nantinya bisa jaga jarak aja ama dia. Kamu apa masih sayang ama Erwan?"
"Masih sih kak, awalnya justru dia yang nembak aku duluan. Aku gak sangka dia kayak aku. Cuma untuk sekarang, selama ada Rian, kita gak akan pernah bisa hidup tenang. Belum lagi rasa bersalahku ama Erwan yang gak jadi nikah. Beban berat semuanya buat ku kak... Semua yang ku jalani dalam hidupku jadinya salah atau berantakan. Kalo ku gak kuat iman ku udah mikir bunuh diri duluan."
"Jangan lah, masih ada kakak yang sayang ama kamu kan, nanti kakak kesepian gak ada yang temenin."
"Mana ku tahu kakak masih hidup waktu itu? Ku merasa semuanya udah buntu."

Kak Faisal memegang pundakku sambil menatapku,

"Udah dek, sekarang ada kakak. Kakak gak akan kemana- mana lagi. Kita hadapi semua bareng- bareng."

Ku tak sadar air mataku jatuh. Kak Faisal mengusap air mataku sambil menatapku penuh arti.

Di luar ku dengar suara mobil. Bang Rizal sudah menjemputku jam 9 lewat.

"Kak, Rio pulang dulu yah, lusa Rio dateng lagi."
"Ya dek, hati- hati di jalan. Ingat, jangan ada yang tahu kakak ada di sini."
"Iyah kak. Rio akan rundingan ama papa Alvin yah selanjutnya."
"Makasih yah dek."
"Gak masalah kak, Rio sayang kakak."

Kak Faisal tidak mengucapkan apapun, dia hanya memelukku. Aku menarik nafas dalam- dalam, membiarkan aroma tubuh kak Faisal masuk lewat lubang hidungku dan terpatri di ingatanku.

Di rumah papa Alvin aku berusaha bersikap sewajar mungkin dan tidak memperlihatkan rasa bahagiaku. Mama dan emak memperhatikan wajahku yang cerah, ku jawab sebisaku, reuni dengan teman sekampus yang sudah hampir tamat. Di kamarku aku duduk merenung, memutar ulang peristiwa semalam. Baru saja aku tiba sepuluh menit yang lalu, namun rasa rindu kepada kakak kembali menyeruak kedalam kalbuku.

'pah, nanti siang ada waktu? Rio mau ngobrol ama papah.'

Butuh waktu enam menit hingga ada sms jawaban dari papa Alvin.

'lunch papa ada janji, tapi jam 3an papa udah senggang. Papa jemput di rumah?'
'oke, sip'

Jam 3 mendekati 3:30 barulah papa Alvin datang ke rumah. Aku langsung menghampiri mobil papa,

"Gak lagi sibuk kan pah?" sapaku sambil tersenyum.
"Tadi sih sibuk, sekarang papah sebenarnya sih udah bisa pulang kok. Mau kemana?"
"Kita bicara di cafe aja yah, ada yang mau dibicarakan, agak privasi deh."
"Oke deh."

Sesampainya di salah satu restoran di mall di pusat Palembang, kita pesan minuman.

"Oke Rio, kamu mau bicara apa nih ama papah?"
"Eh... Soal kak Faisal..."

Papa Alvin agak tegang mendengar jawabanku.

"Tenang pah, Rio sudah tahu dari bang Rizal dan pernah liat sendiri... Kemarin Rio ketemu dan nginep di tempat kakak."

Papa Alvin mulai lebih tenang.

"Pah, ada 2 hal yang mau Rio bicarain..."

Papa Alvin menyimak dengan serius.

"Satu, gimana kita bantu kak Faisal. Kakak gak bisa terus- terusan hidup kayak gini..."

Papa Alvin berfikir untuk agak lama.

"Memang gak gampang soal Faisal. Secara legal dia sudah dianggap meninggal."
"Soal gembong narkoba nya itu juga. Apa mereka masih ngejar kakak?"
"Gini deh, soal identitas bisa diurus, pake nama baru, kartu kk bisa ikut papa aja..."

Aku gembira sekali... Kak Faisal bisa secara legal jadi kakakku.

"Kenalan papah bisa urus ampe ktp pun bisa. Cuma papah harus minta bantuan temen papah di kepolisian, cari tahu apa mereka masih berkeliaran. Rio, tenang aja, papah udah bantu dari awal, papah pasti bertanggung jawab. Oh ya, gimana tempat Faisal?"
"Kumuh pah, gak tega liatnya. Kalo bisa ngekos aja yang sama jauhnya tapi lebih rapih dikit aja, Rio bisa lebih tenang."
"Gak usah kuatir. Satu- satu kita beresin. Pertama musti Faisal. Biar papah pastiin dulu."
"Makasih pah... By the way, papah gak keberatan kakak jadi tanggungan papah?"

Papa Alvin tersenyum.

"Anak kandung atau adopsi sama aja Rio, Faisal orangnya baek, cuma manja aja waktu kecilnya. Toh Faisal kan seperti anak mama Mega. Kamu tenang aja. Ada kalian yang sekarang mengisi hari- hari papah dengan kebahagiaan."

Mau tak mau aku pun terharu.

"Pah, maafin sikap Rio dulu- dulu yah... Rio nyesel kalo inget."
"Maafin juga papah yah, hidup kita memang banyak lika likunya..."
"... Rio, kamu gak kepikiran selesaikan studinya?"
"Rio rencananya sih mau lanjut lagi, tapi mau tunggu semua urusan kak Faisal tuntas dulu ampe dapet identitas baru. Jadi ada semangat untuk lanjut kuliah juga... Bareng ama kakak."
"Hm... Good idea... Ya udah langkah pertama dulu papah urusin. Pulang yuk."

Papa Alvin membayar minuman kami, lalu pulang ke rumah. Hari pun sudah sore menjelang maghrib.

"Kamu kapan mau ke tempat Faisal?"
"Lusa kali, minta bang Rizal yg anter. Rio mau belanja dulu buat kakak."
"Itu biar papah aja yang beli, nanti mamah curiga pula."
"Oh iyah yah."

Dua hari kemudian, aku bertemu dengan bang Rizal di kantor papa Alvin, dengan dua kantung besar persediaan makanan dan amplop yang cukup tebal. Aku asumsikan itu adalah suntikan dana.

Di tempat kak Faisal, suasana sudah lebih santai. Ku ceritakan kepada kakak tentang rencana papa Alvin untuk melacak gembong narkoba dan identitas baru. Kak Faisal cukup senang mendengarnya, merasa masa- masa persembunyiannya akan berakhir. Sedikit kekhawatiran tentang gembong narkoba masih bercokol, seperti apa yang ku pikirkan. Kak Faisal pun juga ikut tegang menanti kabar dari papa Alvin.

Hampir setiap kali aku bertemu kak Faisal sesudahnya aku membawa banyak barang persediaan, entah makanan ataupun keperluan lain yang di sediakan oleh papa Alvin, tak lupa juga subsidi biaya hidup kakak. Ku juga tidak lupa memberitahukan perkembangan papa Alvin mengurus gembong musuh Faisal. Kak Faisal pun seperti mendapat semangat baru ketika kakak mendengar usaha papa ikut membantu mengatasi gembong narkoba. Perlahan kak Faisal pun mulai sayang terhadap sosok papa Alvin.

Kurang lebih satu minggu kemudian papa mendapat kabar dari koneksinya di kepolisian. Aku bertemu dengan papa di kantornya satu sore.

"Ada kabar apa pah?"
"Papah dapet kabar dari kepolisian bahwa otak dari gembong sudah mati tertembak dalam operasi berantas narkoba dua tahun lalu, dan sisa anggota di jebloskan ke dalam penjara kurang lebih ada empat orang, dan bagusnya kak Faisal tidak ada kaitan apa- apa dalam insiden itu, itu yang bikin papah lega. Tapi papah pun masih kuatir ama sisa anggota yang masih ada di penjara. Mereka bisa saja mencari kak Faisal kemudian hari. Tapi mereka akan dalam intaian polisi kalo pun lepas."
"Sukurlah pah, paling gak otaknya udah gak ada lagi. Kak Faisal udah bisa lebih lega."
"Tinggal identitas baru. Itu gampang. Papah punya kenalan yang bisa bantu, pokoknya tinggal terima beres aja. Nanti bilangin ama Faisal."
"Iyah pah, besok aja Rio kesananya."
"Papah sekalian aja ikut kamu, ada yang mau papah bicarakan juga ama Faisal."
"Apa pah?"
"Papah juga mau dia lanjutkan studinya dan... Kembali ke keluarga kita."

Aku tertegun.

"Kak Faisal orangnya kadang keras kepala. Itu ku gak berani jamin."
"Kita bicara baek- baek aja, papah cukup percaya dia mau ngerti. Toh dia juga gak menikmati toh hidup kayak gini."
"Semoga yah pah."
"Papah yakin setiap niat baik pasti akan dirambut baik pula."
"Pah... Makasih yah, papah sudah terlalu banyak bantu kami." aku memeluk papah erat sekali.

Papah membalas pelukanku.

"Selama itu bisa papah lakukan, akan papah lakukan."

Wajah papah yang tampan tersenyum ke arahku.

Malam keesokan harinya, aku dan papah dalam perjalanan kontrakan. Aku berusaha mengingat jalan ke kontrakan kak Faisal.

"Jauh amat ini tempatnya..." sahut papa Alvin.
"Iyah pah, aku lagi ingat- ingat ini jalannya. Pah kayaknya itu di depan belok ke kiri deh."
"Iyah, kita harus cari tempat yang lebih beradab..."
"HAHAHA papah... Betul kan kataku..."
"Iyah."

Setelah melewati tiga belokkan, akhirnya kami sampai di satu tempat kontrakan yang terletak jauh sekali dari pinggiran kota. Terlihat dua rumah yang sudah kosong, satu bekas warung yang sudah hampir bobrok. Papa Alvin menghela nafas. Ku melihat papa dengan rasa haru. Kak Faisal bukan anak kandung, tapi tetap beliau rela memberi pertolongan dan kasih sayang.

Kami turun dari mobil, masing- masing dari kami membawa kantung belanjaan yang cukup besar. Kami berjalan menuju pintu dan mengetuk. Tak sampai satu menit kak Faisal membuka pintu.

"Oom, Adek..." kak Faisal sedikit tegang ketika melihat kami berdua.
"Jangan takut kak, tak ada yang tahu kok."
"Masuk, maaf seadanya yah keadaannya." jawab kakak berusaha sopan.

Beberapa saat setelah sunyi melanda papa Alvin membuka pembicaraan.

"Faisal, oom datang ke sini memang ada beberapa gak yang mau dibicarakan..."
"... Pertama, oom sudah dapat info dari kenalan baik di kepolisian, kalo otak gembong mafia narkoba, musuh kamu, dua tahun lalu mati tertembak bersama asistennya yang pegang peranan penting. Yang tersisa adalah anggota baru yang belum lama bergabung, kemungkinannya kecil mereka mengenal kamu... Kamu sudah bisa bebas..."

Aku melihat raut wajah kak Faisal perlahan menjadi cerah, seperti semua beban hidup yang mengimpitnya terangkat.

"Sukur alhamdulillah... Akhirnya aku bisa bebas hidup lagi. Oom, makasih yah untuk semua bantuan kepada Faisal."
"Oom senang bisa bantu. Satu lagi Faisal..."

Kak Faisal menatap kearah papa.

"... Oom punya kenalan yang bisa bantu urus identitas baru kamu, karena secara legal kamu dianggap wafat. Pake identitas kamu yang baru, kamu bisa hidup jadi warga sah..."

Kak Faisal tambah gembira mendengar penuturan papa.

"Wah bener Oom?"
"Iyah, itu sudah kami pikirkan. Itu keinginan Rio juga yang ingin lanjut kuliah bareng kamu."

Kak Faisal menatap kearah ku,

"Makasih yah dek... Kakak sangat bersukur punya kalian sebagai keluarga."
"Karena kamu masih belum cukup umur untuk punya kartu kk, oom mungkin bisa ajukan kamu..."

Semua terdiam.

"... Ikut kk oom aja, jadi oom bisa jadi wali sah kamu."

Kak Faisal terdiam dan terlihat kaget. Mulutnya menganga. Aku sudah takut kakak tidak suka ide itu dan membuat papa tersinggung.

"Benar oom?"
"Itu pun kalo kamu bersedia." papa menjawab dengan tenang.

Kak Faisal menundukkan kepalanya, lalu berkata dengan suara lembut,

"Punya ayah seperti oom adalah hal yang indah. Makasih Oom bersedia menolong aku sebanyak ini."

Aku lega bukan main, kak Faisal menerima tawaran ini.

"Oom..."

Kak Faisal terdiam, lalu mengangkat wajahnya dan menatap papa Alvin dengan tatapan damai,

"Papah..."

Aku kaget bukan main. Aku tahu sifat kak Faisal yang keras dan gengsi tinggi bertahun- tahun lampau ketika aku baru pindah ke Palembang. Aku cukup menderita di tahun- tahun pertama. Kali ini aku melihat kak Faisal yang berbeda. Papa Alvin tersentuh, lalu bergeser ke arah kak Faisal dan mereka saling memeluk satu sama lainnya.

"Aku merasa seperti lahir baru. Aku akan sangat berbahagia menjadi anak adopsi papa Alvin... Sebagai kakak Rio."

Kata kak Faisal seperti pelukan hangat yang ku rasakan. Paling tidak, aku mendapat kembali kasih sayang kak Faisal. Lebih dari itu tak aku pikirkan saat ini. Aku ingin membenahi hidupku yang bertahun- tahun berantakan dari musibah satu ke musibah lainnya.

"Nanti Oom cariin tempat kos yang lebih layak yah. Kamu tetap bisa bersembunyi selama kamu perlu. Aku cariin daerah yang lebih bagus tapi tetap agak ke luar kota."

"Boleh, pah, tapi Isal belum siap ketemu mama. Tunggu waktu yang tepat yah."
"Iyah, itu kamu yang bisa atur. Satu persatu kita benahi, nanti juga selesai."

Aku trenyuh, kakak memakai nama kecilnya di hadapan papa Alvin, artinya sudah terbangun kepercayaan. Selama dua jam kami mengobrol ringan setelah jiwa kami terangkat berkat cerita bahagia ini. Jam sebelas malam papa Alvin pulang dengan aku menginap di tempat kakak. Malam hari ketika tidur aku sudah mulai bisa membiasakan diri tentang berpelukan atau saling memegang tangan. Aku sudah tidak mempertanyakan lagi soal hetero- atau homoseksual ketika kami saling berbicara dengan bahasa kasih sayang.

Beberapa minggu berjalan. Setiap dua hingga tiga kali dalam satu minggu aku menginap. Satu malam ketika aku diantar papa Alvin ke tempat kakak, kami mendengar di kamar kakak ada satu suara lagi. Kami sempat bingung siapa. Namun aku sudah mengenal suara kak Fairuz. Benar, ketika kak Faisal membuka pintu, kak Fairuz berdiri menyambut kami.

"Halo Oom Alvin, Rio, lama gak ketemu yah." sapa kak Fairuz dengan ramah kepada kami.
"Malem Fairuz, gimana kabar istri ama anaknya?"
"Mereka baik, Faisal kecil udah tambah nakal... Mirip bapanya tuh..." kak Fairuz tersenyum mengarah ke kak Faisal yang tersenyum menahan malu.
"Halo Rio, gimana nih kabarnya?"
"Baek kak, Rio udah lebih bahagia, ditemeni kak Isal."

Aku merangkul kak Fairuz yang sudah lama tak ku lihat.

"Sukurlah kamu sudah mendapatkan kembali apa yang hilang."

Kak Fairuz sudah tahu cerita semuanya, jadi dia pun sama berterima kasih kepada papa Alvin. Suasana malam itu sungguh hangat. Kami mengobrol macam- macam, dari situasi di Bangka, rencana kak Faisal untuk meneruskan studi bersamaan dengan aku, identitas baru dan nama baru. Setelah menimbang kakak memilih nama Ferry, karena huruf awalan F yang sama. Malam itu aku baru bisa melihat kemiripan mereka. Wajah kak Fairuz lebih dewasa, jambang dan kumis lebih lebat, sementara kak Faisal lebih senang jambangnya di pangkas pendek dan tanpa kumis. Kumisnya selama ini hanya untuk supaya tidak mudah dikenali saja. Postur mereka sekarang sama tinggi, hanya kak Fairuz lebih langsing. Dia pun sangat mendukung kak Faisal ikut kk papa Alvin, setelah melihat semua pertolongan papa. Kak Fairuz pun berkata ini hanya soal legalitas dan hubungan darah tidak akan putus. Silaturahmi akan tetap terjalin. Namun aku sedih, aku malam itu tak bisa menginap. Kak Fairuz menginap selama tiga hari. Selama itu aku pun sering mengunjungi kak Faisal, juga melepas rindu kepada kak Fairuz.

Tiga minggu setelahnya, papa Alvin menemukan tempat kontrakan rumah yang lebih bagus, lagi- lagi dari kenalan bisnisnya. Terletak sama jauhnya dari kota. Rumah kontrakan berupa rumah berukuran 6 x 12m, sangat cukup untuk satu orang. Dua hari sesudahnya, kami, dibantu oleh kak Rizal pindahan. Barang kak Faisal memang tidak banyak, jadi kami lebih sekedar menemani kak Faisal. Juga untuk itu papa Alvin memberikan ponsel dengan nomor baru. Jadi hanya kami yang punya nomor ini dan kami sudah tahu nomor ini tak akan kami sebarkan. Tempatnya memang lebih asri, jauh dari kota, melewati daerah kosong. Di sekitarnya hanya ada sekelompok kecil perumahan dengan dua warung. Jarak ke mini market agak jauh. Kondisi rumah relatif baru, dan bersih, sangat nyaman. Ada dua kamar tidur, dan sudah diberi perabot yang cukup oleh papa.

Saya sungguh menikmati rumah kontrakan baru kakak. Kadang kak Rizal atau papa mengantarku kesana, dan selalu menginap. Secara tak langsung kami pun membiasakan diri hidup berdua. Aku hampir setiap kali disana pasti memasak untuk kakak. Kakak senang sekali dengan masakanku. Beberapa bulan kemudian, papa pun rampung mengurus identitas baru kak Faisal dengan mana Ferry. Ketika kami membicarakan rencana kuliah, kak Faisal belum siap untuk keluar kandang, memberitahukan eksistensinya kepada mama Mega. Jadilah kami masih menunggu kak Faisal untuk siap, itu sudah kesepakatan kami.

Satu hari, emak bilang padaku bahwa ia tidak betah tinggal di Palembang, karena tidak biasa menganggur. Apalagi dengan mbak Isah yang sedang akan merintis usaha café, meneruskan kueh emak, beliau mendapat semangat lagi untuk bekerja. Mama Mega memaklumi hal itu dan juga mengerti, ia pun bingung ingin berbuat sesuatu supaya tidak cepat pikun. Bersamaan dengan itu aku mendapat sms dari Erwan. Sudah lebih dari satu tahun aku putus kontak darinya, ketika aku sudah benar- benar jenuh dan muak dengan situasiku yang bertambah kacau.

'halo rio, pa kabar?'
'halo wan, lama bgt gak ada kabar. Gimana kabar lu? Ngapain aja?'
'gua baek aja, tinggal ama papa Alvin di palembang. Msh nganggur, blm lanjut studi. Gimana kabar lu '
'gua ud memutuskan utk married ama Anna'

Aku tertegun. Setelah semua yang terjadi, Erwan dan Anna masih sanggup berrekonsiliasi, dan akhirnya menempuhi hidup baru.

'selamat yah, gua bahagia untuk kalian'
'rio, km yakin kamu rela?'
'wan, aku ingin kamu bahagia'
'kebahagiaan gua cuma ama lu...'

Aku menahan nafas, aku tidak mengharapkan jawaban ini. Sebesar apapun cinta aku kepadanya, aku tahu, dalam hati kecilku, aku tidak akan bisa bersatu dengannya. Terlalu banyak pengorbanan untuk kebahagiaan yang belum jelas.

'wan, gua harap ini semua sudah bisa kita lewatkan. Gua bener ingin lu berbahagia dengan jalan hidup yang diterima masyarakat.'
'rio, gua tetap mencintai lu. Walau status gua akan jadi suami, ayah, gua tidak pernah bisa melupakan apa yang gua rasa kepada lu.'

Mataku berair. Aku tahu, cintaku kepada Erwan tidak pernah bisa pudar. Aku tahu apa yang Erwan perjuangkan untukku, menentang pernikahan, Anna dan keluarganya. Itu bukan sekedar bicara kosong. Erwan telah membuktikan cintanya, berjuang melawan semua halangan. Aku merasa bersalah telah meninggalkannya sendiri. Disinilah... Pada titik ini, aku hampir saja menyerah. Aku hampir saja bunuh diri. Dadaku sesak, nafasku berat.

MENGAPA AKU TAK PERNAH BISA MENCICIPI SEDIKIT SAJA BAHAGIA? APA YANG SALAH DENGAN AKU?

Aku menangis tersedu sedan. Aku sudah tidak kuat. Ryan, kak Faisal dulu, sekarang Erwan. Hanya satu hal yang belum lepas dariku... Nyawaku...

'wan, gua sadar, kita masih saling mencintai. Tapi... Maaf... Kita tidak bisa bersatu...'
'KENAPA RIO? GUA UDAH BERKORBAN SEGALANYA.'

Susah payah aku menahan isak tangisku.

'gua gak mau lu merusak hiduplu karena mencintai seorang gay yang cuma apes aja hidupnya'
'GUA TETAP MENCINTAI LU RIO! Walau gua nikah pun...'
'erwan, move on lah, biar kita simpan cinta kita dalam satu tempat aman'
'demi lu, gua sanggup, walau perih' 'wan, aku tetap menyayangi kamu sekalipun kita gak bersatu'
'... Rio, jangan pernah lupa aku tetap mencintai kamu, sekalipun badanku bersatu ama Anna'

Aku luluh lantah menjawab semua sms Erwan. Aku seperti membuka kembali luka lama.

'kapan resepsimya?'
'3 minggu lagi. Gua kirim undangannya yah'
'oke, pasti gua datang'

Dua hari berikutnya, larut undangan pun datang. Aku gembira, Erwan bisa merengkuh kebahagiaannya sendiri. Hanya pengakuannya di sms itu yang membuatku berat untuk pulang ke Bangka. Aku takut disana aku tak mampu melepas Erwan, belum lagi ketakutanku bertemu Ryan. Perasaanku berkecamuk. Sorenya, aku seperti biasa menginap di rumah kakak.

"Sayang yah, kakak gak bisa ikut temani kamu. Kakak tahu kamu pasti ingin kakak bisa ikut."

Aku tak langsung menjawab. Aku tertunduk, dalam hati aku mengiyakan.

"Kakak masih hidup dan ada bernafas di hadapan Rio, itu artinya segalanya kak."

Kak Faisal merapatkan tubuhnya kepadaku, merangkul pundakku.

"Kamu jangan sedih yah dek, kita kan lagi menata hidup kita lagi. Kita saling menguatkan satu sama lainnya aja."

Aku balas memeluk kak Faisal, membenamkan wajahku di dadanya. Kak Faisal membelai rambutku. Sungguh aku merasa damai dalam dekapannya.

Mama Mega sibuk membelikan segudang oleh- oleh untuk emak dan keluarganya. Hubungan mama dan emak sudah terjalin kembali. Aku pun bersukur mempunyai dua sosok ibu. Sifat mama sudah banyak melunak, tidak lagi terlalu mengatur.

Dua minggu kemudian, aku pun sudah berada di Bangka. Emak ikut aku untuk pindah dan bertemu dengan mbak Isah mengobati kangenku. Enak seperti biasa, tak bisa menganggur menikmati hidupnya, sejak suami Isah mampu mengangkat ekonomi keluarga. Isah pun tak mau kalah, usaha kue emak di teruskan, bercita- cita membangun warung kopi lengkap dengan penganan manis kue liar emak, menambah kemapanan keluarga. Aku tidak bisa lebih bahagia melihat kehidupan emak sekeluarga tambah makmur. Doa ku terkabul juga. Resepsi nikah Erwan masih dua hari lagi. Emak renang melihatku. Bersama emak dan membahagiakan emak sudah menceg cita- citaku. Emak bilang aku terlihat lebih senang. Di saat aku berdua dengan emak, aku ceritakan segalanya. Emak pun terkaget- kaget mendengar cerita kak Faisal. Satu kalimat dari emak yang mengejutkanku.

"Hubungan kamu dan Faisal adalah hubungan yang tidak biasa. Jalan jodoh kalian masih panjang, semua peristiwa mengarah kesitu."

Aku bingung mengartikan kalimat itu. Aku tanya emak apa maksudnya, emak hanya tersenyum diam.

"Suatu hari nanti kamu akan mengerti."

Esoknya, aku memberanikan diri untuk menghubungi Erwan.

'wan, aku ud sampe bangka kemaren. Ku ada di rumah emak, nanti siang ku mampir.'  

Pelangi Dilangit BangkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang