Chapter 38

1.4K 51 6
                                    


Tak lama aku menunggu, sms balasan pun sampai.


'aku sekarang mampir tempatmu.'

Selang setengah jam kemudian, dia datang. Sulit untuk melupakan sosoknya, kebaikannya, pengorbanannya. Aku semakin tidak mengerti pilihanku meninggalkannya. Pandangan mata kami bertemu. Aku membaca pancaran cinta masih menyala untukku. Semakin bingung aku memikirkan aku telah menyakitinya.

"Baru datang kemarin?"
"Iyah, sore. Selamat yah pernikahannya."
"Rio, makasih yah udah datang."

Kami berpelukan melepas rindu. Aku ajak Erwan ke kamarku supaya lebih leluasa berbicara, setelah beberapa saat mengobrol dengan emak. Dalam kamarku, aku bingung, semua kata- kata yang ku rangkai hilang seketika. Kami saling menatap satu sama lainnya ditengah kesunyian.

"Wan, maafkan aku yah, aku telah menyakiti kamu." aku memberanikan diri memecah kesunyian.

"Sesakit apapun aku, aku tetap cinta kamu."
"Wan, aku berharap kamu hidup bahagia dengan Anna yah."
"Rio, apapun nanti hidupku, aku akan selalu menyimpan cinta ini."

Erwan mengangkat kedua tangannya, menempel pada pundakku. Dari situ telapak tangannya bergeser ke pipiku. Dia mengarahkan wajahku hingga aku menatapnya langsung ke matanya. Aku membaca kejujuran yang sangat bening. Aku melihat cinta yang tulus yang sudah ia buktikan. Ia sudah berjuang untuk cinta kita yang semu.

Aku menangis.

Menangisi takdir kita. Menangisi cinta kita yang telah lewat.

Erwan mendekatkan wajahnya kepadaku. Awalnya aku merasa risih karena ia sudah menetapkan dirinya menjadi seorang hetero, namun aku membiarkan semuanya terjadi. Erwan berhak mendapatkan yang terindah dariku. Kalau saat itu ia ingin mendapatkannya, akan ku berikan segalanya yang ada padaku. Bibirnya menyentuhku. Aku membiarkan diriku hanyut dalam ciumannya. Aku biarkan diriku larut dalam cintanya. Aku biarkan cintaku bersinar terang benderang, sebelum aku harus merekalannya padam, seperti supernova. Pagi itu, adalah kala terakhir kita menghayati sisa cinta kita. Sesudah kami melepas kebahagiaan itu melesat, kami berdua menangis.

"Rio, jangan lupa ama cinta aku yah."
"Erwan, jadilah suami dan ayah yang baik. Jangan kamu cari lelaki lain."

Setelah kami membersihkan sisa keringat dan lendir dengan kaos ku untuk ku cuci nanti, kami berbaring berdua, menikmati momen terakhir kami menjadi kekasih. Hingga jam makan siang kami hanya berbaring dan saling memeluk.

Dua hari setelahnya, aku menghadiri pesta resepsi Erwan dan Anna. Aku menebalkan kulit mukaku. Aku hanya datang sebentar, sekedar memberi salam kepada mempelai dan berbasa- basi dengan orang tua kedua mempelai. Sukurlah, mereka tidak mengungkit- ungkit masalah tahun kemarin. Erwan pun mengerti kalau aku tidak nyaman berlama- lama. Benar seperti apa yang ku takutkan, Ryan hadir, duduk sendiri. Aku kaget melihatnya. Ekspresi wajahnya kosong, seperti orang ling lung. Aku memberanikan diri untuk menyapanya.

"Halo Ryan, apa kabar?" sapaku hati- hati.

Ryan untuk sesaat tidak menjawab, duduk tertunduk. Aku mulai merasa tidak nyaman. Dia menoleh kepadaku. Aku terkejut melihat raut wajahnya yang kosong tanpa ekspresi.
Aku merasa kasihan atas nasibnya, namun aku juga sadar apa yang telah ia perbuat, menteror kehidupanku, merusak hubunganku dengan Erwan.

"Rio..." katanya singkat dengan lambat, seolah bingung.

Ia menatapku seperti teringat sesuatu. Pandangan matanya kosong. Aku tak nyaman ditatap seperti itu. Ia menggenggam tanganku, mendekapkannya pada dadanya dan ia menundukkan kepalanya seperti berdoa sambil ia tetap menggenggam tanganku dan larut dalam dunianya. Kalau saja dia tidak pernah melukaiku dan mencelakaiku aku tak pernah akan meninggalkan dirinya. sudah mulai tambah tidak nyaman. Ryan yang diam setelahnya membuatku bingung.

Pelangi Dilangit BangkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang