It's Called Black Magic

896 117 35
                                    

Pintu tebal bercat putih polos dengan kenop pintu bernuansa perak itu terbuka tanpa suara, diantara heningnya suasana dan hembusan angin semilir yang menerbangkan tirai putih tipis, juga helai panjang berwarna hitam kelam yang bergelombang.

"Kau terlihat lebih baik pagi ini, Bibi"

Suara berat terdengar bersahabat, mengundang perhatian wanita tinggi yang berdiri di depan jendela kamarnya. Wanita dengan sepasang mata hitam kelam dan hidung yang tinggi, mengulas senyum teramat tipis di bibir kecilnya yang kering.

"Bukankah seharusnya kau sudah berangkat sekolah?" ia balik bertanya. Berjalan menjauh dari jendela dan duduk di tepi ranjang.

Pria muda itu pun beranjak mendekat, meletakkan napan sarapan yang dibawanya ke atas meja bundar berkaki rendah di samping ranjang, lalu ikut mendaratkan pantatnya di samping wanita itu.

"Terlambat beberapa menit tidak akan masalah. Aku membawa berita baik untuk mu" memaku tatapannya pada wajah cantik wanita berumur di sampingnya. Yang direspon dengan atensi yang lebih besar oleh wanita yang berusia sekitar 40 tahun itu.

"Apakah tentang... "

"Suami mu, dia bersedia menandatangani surat perceraian itu. Setelah ini kau akan bisa hidup dengan tenang"

Binar indah di mata cemerlang wanita itu agak meredup, menghela nafas kecil kemudian ia mengangguk. Membuat pria muda yang duduk di sampingnya mengangkat sebelah alisnya heran.

"Aku tahu, cepat atau lambat dia akan menyetujuinya"

"Bibi terlihat tidak senang"

"Kata siapa aku tidak senang? Tentu saja aku senang" tersenyum tipis, ia ingin meyakinkan pemuda di hadapannya. "Tapi aku lebih menantikan kabar tentang putra ku. Bagaimana dia? Apa ada perkembangan?"

Terdiam untuk beberapa detik, bibir tebalnya terkatup. Ia mengalihkan tatapannya, diikuti tatapan penasaran si wanita yang menunggu.

"Sebenarnya dia lebih mirip seperti kucing liar yang selalu mengeram ketika seseorang hanya ingin menyentuh kepalanya" kembali menatap si wanita. Bibir tipis wanita itu berkedut, ia menunduk seraya memainkan jemari tangannya.

"Ku akui itu salah ku, seharusnya aku tidak membiarkannya tumbuh di lingkungan seperti itu. Tapi menyesalinya saat ini sudah terlambat bukan?"

Pemuda itu mengangguk, membuat helai pirang di atas kepalanya bergoyang pelan.

"Dia hanya kesepian, tapi tidak ada seorang pun yang memahami itu. Aku pernah hidup di masa itu sebelumnya dan hal itu melelahkan"

Wanita itu mengangguk. "Karena itulah aku meminta pertolonganmu. Hampir seisi sekolah membencinya, yang sesungguhnya dia bukanlah anak yang nakal. Dia anak yang baik"

"Aku mengerti. Dia tidak pernah memulai masalah, anak-anak itu yang lebih dulu mengganggunya"

"Jadi, kau sudah bicara dengannya?"

"Tidak, belum" menggelengkan kepalanya pelan. Ia tersenyum canggung, membuat wanita itu menepuk kepalanya lembut.

"Aku hanya meminta tolong padamu. Jadilah temannya, ajak dia bicara, jangan biarkan dia sendiri. Hanya dia alasan ku untuk bertahan hidup sampai detik ini" suaranya terdengar bergetar. Ia mengangguk kecil, meraih tangan halus wanita itu dan menggenggamnya.

BLACK MAGIC! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang