Langit mulai berubah menjadi orange kemerahan saat Laras tiba di Bandara Supadio, Pontianak. Angin berhembus menggigit wajah putih Laras dan menggoyang-goyangkan anak rambut yang terlepas dari ikatannya. Laras segera memesan taksi agar lebih cepat sampai di rumah neneknya, Singkawang.
Laras terpaksa pergi ke pedalaman Kalimantan untuk menemukan seseorang yang tidak pernah ia jumpai. Laras tak sengaja menemukan sebuah album foto lama berwarna biru kusam di lemari paling bawah kamar ibunya dan menemukan sebuah alamat dibalik foto yang diyakini Laras adalah neneknya.
Sejak kematian ibunya 1 tahun yang lalu, kemudian disusul ayahnya 3 bulan kemudian karena serangan jantung, akhirnya Laras hidup sebatang kara. Ibunya tidak pernah berbicara tentang Larasati, entah karena apa ia pun tak tahu, padahal menurut Laras ia pantas mengetahui siapa neneknya. Hingga Laras menemukan album foto kusam itu dan mendapati sebuah foto seorang wanita tengah menggendong seorang anak kecil yang diyakini Laras adalah ibunya. Laras menatap lekat wajah wanita cantik yang sedang menggendong ibunya itu dan merasa seperti sudah mengenalnya lama, padahal ia belum bertemu sekali pun dengan wanita pemilik mata sendu itu. Laras meyakini bahwa wanita cantik itu adalah neneknya sendiri. Ibu dari ibunya Laras yang tak pernah diceritakan oleh mendiang orang tuanya.
Laras mengambil resiko mencari neneknya agar ada yang mendampinginya nanti saat ia menikah. Fino, kekasih Laras, telah melamarnya sebulan yang lalu. Laras sangat mencintai Fino, begitu pula Fino. Fino yang membantunya agar selalu kuat dalam menjalani hidup di Jakarta.
Fino memberikan segala yang dibutuhkan Laras, perhatian, cinta, kasih dan sayang. Keluarga Fino menerima Laras dengan tangan terbuka tanpa memandang siapa keliarganya, Laras sangat bahagia.
Namun, tidak adil jika ternyata Laras tidak memiliki seorang keluarga pun yang bisa merasakan kebahagiannya, meski Fino tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Laras bersikeras. Apalagi setelah menemukan secercah harapan, meski hanya selembar foto usang.
Hari sudah gelap, bulan setengah lingkaran memeluk erat pekat malam, bintang-bintang jatuh berderai menghiasi langit kelam malam ini. Laras pun sampai di sebuah rumah mungil. Setelah taksi pergi meninggalkan Laras, ia langsung menghampiri rumah bercat hijau dengan tanaman bunga kertas yang mengelilingi teras kecil itu sambil bertanya-tanya dalam hati. Setelah yakin akhirnya Laras melangkahkan kakinya mendekati pintu.
"Assalamualaikum." panggil Laras sambil berkali-kali mengetuk pintu kayu ukir berwarna coklat tua. Satu menit kemudian pintu itu berderit terbuka, Laras melangkah mundur.
"Waalaikumsalam." muncul seorang nenek dari balik pintu sembari tersenyum memamerkan giginya yang tidak lengkap dan berdiri sedikit bongkok menggunakan kebaya putih kekuningan selutut dan bawahan batik coklat yang lusuh.
"Cari siapa nak?" tanyanya lembut.
"Apa benar ini rumah nenek Larasati? Saya Laras." Jawab Laras setengah berharap.
"Iya benar ini rumah Larasati, tapi Laras ini siapa?" tanya nenek itu tatapan penasaran.
"Saya anak bu Andarwati." Kata Laras sambil menatap nenek itu lekat.
"Oh, ya ampun. Silahkan masuk, Nak. Anggap saja rumah sendiri, panggil saja nek Kasih." Katanya bersemangat, menyingkap pintu lebih lebar sambil menyilakan Laras masuk.
"Kamu ini dari mana? Kok sendiri?" seru nenek itu saat kembali dari dapur membawa nampan dan memberikan Laras segelas teh hangat.
Laras menerima minuman yang diberi nek Kasih dan menjelaskan tujuan ia sampai di rumah ini. Air mata Laras mengalir deras saat mendengar kematian neneknya sebulan yang lalu.
Nek Kasih adalah sahabat neneknya sejak kecil yang sudah dianggapnya sebagai saudara. Nek Kasih yang merawat rumah ini, seminggu sekali ia mendatangi rumah itu untuk membersihkannya. Larasati tidak ingin rumahnya dijual, dengan alasan tertentu jelas nek Kasih.
Malam memupuk dingin tak kentara. Membuat Laras menggigil di bawah selimut tebal sekaligus baru baginya. Laras tidak menunda mandinya, padahal malam sudah larut. Setelah mengabari Fino tentang keadaannya, akhirnya Laras pun tertidur dalam kedinginan karena terlalu lelah di kamar yang pernah ditempati Larasati.
KAMU SEDANG MEMBACA
LARASati [COMPLETED]
Tiểu Thuyết Chung-Laras Aku tak tahu bahwa dibalik hidupku yang selalu diliputi kebahagiaan, menyimpan sebuah cerita nelangsa yang mampu menguras habis air mata yang mendengarnya, apalagi merasakannya. Tak pernah kubayangkan. Keluargakulah yang mendapati kehormatan...