Sekolahku nyaris tamat SMP. Aku hanya sampai duduk di bangku kelas dua SMP saja, itu pun tidak sampai habis. Bapak menyuruhku berhenti dan mengatakan bahwa anak perempuan itu hidupnya hanya di dapur, jadi percuma saja sekolah tinggi-tinggi, lagi pula bapak tidak punya cukup uang untuk terus membuangnya dengan percuma demi aku.
Saat itu juga aku berpikir bahwa aku mempunyai orang tua yang bodoh. Dengan terpaksa aku menurut, menurut menjadi gadis manis yang baik padahal aku menangis setiap malam karena mereka.
Sebenarnya aku tidak pernah menuntut apapun. Aku juga jarang meminta sesuatu. Aku hanya ingin mengubah nasib keluargaku. Namun, kesialanlah yang membawaku masuk dalam keluarga ini. Diperlakukan seperti budak. Dipukuli seperti binatang. Disuruh bekerja sepanjang hari.
Dan yang paling parah dari kesialan hidupku adalah pernah suatu kali hal buruk menimpaku tanpa ampun. Itu karena mereka. Orang tua yang nyaris tidak kucintai.
**
Aku disuruh bekerja menjadi pembantu di usiaku yang ke-15 tahun di rumah pak Tarjik, orang berwajah mulia namun berhati busuk. Aku hanya menurut saja. Entah apa yang akan terjadi jika aku mengadu ke bapak dan ibu. Pastilah aku yang mereka salahkan dan aku tidak bisa menghindar dari rotan-rotan mereka.Bahkan, bapak sengaja menyediakan rotan yang panjang dan berserat khusus untuk memukulku.
Waktu itu istri dan anak lelaki pak Tarjik pergi ke rumah keluarga mereka yang tidak jauh dari rumah itu.Aku pun tidak menyangka kalau pak Tarjik sudah pulang dari kantor kepala desa dan ia mengendap-endap masuk ke dapur dan seketika itu juga ia melihatku sedang mencuci pakaian.
Entah apa yang ada dipikiran lelaki keparat itu hingga tiba-tiba saja merobek bajuku dari belakang hingga aku terjengkang ke belakang dan menendang pinggangku hingga terguling ke sudut ruangan. Ia tertawa dan saat itu aku tidak bisa lagi berteriak bahkan mengucapkan sepatah kata pun rasanya sungguh tak sanggup lagi akibat terkejut dan nyeri di seluruh tubuh kecilku.
Ia mendekatiku dan merobek semua bajuku hingga tak selehai pun menutupinya. Saat itu aku tidak mampu mendekap tubuhku sendiri karena nyeri hebat. Aku hanya mampu menangis tak bersuara menhan sesak dan menatap lekat wajah bengis itu.
“Larasati kau sangat cantik! Aku sudah lama menunggu saat-saat seperti ini. Tapi, kau selalu saja mengabaikanku. Dasar gadis SOMBONG! Sekarang aku tidak akan melepaskanmu lagi dan jika kau bersuara sedikit saja maka aku akan membunuhmu!” ancamnya sambil memungut tubuhku untuk berdiri.
“Kita harus ke kamar! Aku sudah tak tahan melihatmu lebih lama lagi!” Lelaki itu memegang erat tanganku sambil menyeret paksa tubuh setengah telanjangku.
Tubuhku bergetar hebat. Aku menolak lemah dan sekuat tenaga menjatuhkan diri ke lantai semen itu. Aku ingin melawan namun tak sanggup. Tubuhku begitu lemah. Aku menangis tertahan menanti keajaiban datang.
“Kalau kau tidak mau. Aku akan melakukannya disini!” lantas dia menarik kain rok batikku hingga terlepas. Saat itu juga aku mendengar suara pintu yang memisahkan ruang makan dan dapur berderit terbuka, lelaki itu lekas menjauh. Perlahan aku menghembuskan nafas lega dan segala ucapan syukur memenuhi relung hatiku. Namun, tak berselang lama.
“APA....APA YANG KALIAN LAKUKAN DISINI?!” teriak istri pak Tarjik histeris dan terkejut melihat penampilanku yang memalukan dengan tatapan menjijikkan.
“Aku yang mendorongnya bu.” Kata pak Tarjik sambil mengalihkan pandangannya dariku.
“Dia memaksaku melakukan hal yang tidak terpuji. Dia melepaskan pakaiannya di hadapanku dan tentu saja aku menolak. Syukurlah kau datang cepat bu. Kalau tidak aku pasti terpaksa akan membunuhnya karena perempuan menjijikkan ini terus saja menggodaku!” Semburnya kejam tak peduli denganku. Tentu saja bajingan itu tak peduli.
Seketika itu juga hatiku hancur. Hatiku mati. Hatiku berdarah. Menyibak luka lebar selama sisa hidupku. Aku dipukul dan ditendang oleh istri pak Tarjik yang kukira adalah malaikat penolongku.
Aku pulang babak belur, berjalan terseok-seok mencari jalan pintas masuk ke hutan dengan pakaian robek nan nista. Air mata yang berlinangan menuntunku sampai ke rumah.
Ibu dan bapak yang mendengar ceritaku malah menyalahkan aku, mereka berpikir aku telah membuat keluarga itu malu. Lalu bapak memukulku dengan rotan ke tubuh lemahku tanpa ampun, sedangkan ibuku hanya menatapku miris dan tetap bergeming di tempatnya.
Bertambahlah warna lebam di kulit coklatku, garis-garis merah bengkak berdarah karena rotan menghias seluruh tubuhku. Aku menangis tersedu-sedu sepanjang malam. Menangisi nasibku.
Tangan dan kakiku seakan mati rasa. Aku terbaring lemah di ranjang sambil bertanya-tanya adakah keadilan datang untukku. Sebulan lebih aku menyembuhkan lukaku sendiri, tanpa perhatian kedua orang tuaku. Aku tak lagi bekerja di rumah pak Tarjik setelah itu dan aku bersyukur untuk itu meski harus melewati sebulan dengan kesakitan.
**
“Larasati!!!”
Aku terbangun dari lamunanku karena panggilan ibu dari ruang makan. Lalu aku bergegas sambil membawa mangkuk besar berisi sayur asem menghampiri ibu dan bapak yang ternyata sudah duduk di tempatnya masing-masing.Keluarga yang menyedihkan itu pun mulai menjalankan ritual makan malam yang sama menyedihkannya. Setelah semua selesai makan, bapak mengejutkanku.
“Umurmu sudah berapa Ras?” tanyanya kaku.
“Hm... sudah tujuh belas tahun pak.” Jawabku dengan bingung karena pertanyaan bapak.
“Berarti sudah cukup untuk menikah kan?” tanyanya dengan suara datar lalu menyesap kopi buatan ibu dengan perlahan tanpa meninggalkan tatapannya padaku.
“Maksud bapak?”
“Bapak mau menjodohkanmu dengan anak teman bapak di desa seberang. Dia sangat kaya Ras.” Suara bapak naik satu oktaf.
“Maaf pak. Tapi aku belum ingin menikah. Aku masih ingin belajar pak.”
Bapak memukul meja dengan kedua telapak tangannya keras, membuat minuman yang hendak kuminum jatuh kelantai semen dan pecah. Ibu menepuk punggung tanganku dengan keras.
“Bapak mau kamu menikah dua minggu lagi! Bapak sudah berjanji.” Bentaknya lalu pergi meninggalkanku begitu saja.
Aku terdiam menatap piring kosong dihadapanku. Menahan air mata yang nyaris keluar dari tempat bersemayamnya sekuat tenaga. Aku melesat masuk ke kamarku meninggalkan ibuku yang tak peduli.
Sampai di kamar, barulah air mataku tumpah-ruah dari bendungannya. Membasahi sarung bantal orange bergambar matahari, bertolak belakang dari kehidupanku yang muram.

KAMU SEDANG MEMBACA
LARASati [COMPLETED]
Fiction générale-Laras Aku tak tahu bahwa dibalik hidupku yang selalu diliputi kebahagiaan, menyimpan sebuah cerita nelangsa yang mampu menguras habis air mata yang mendengarnya, apalagi merasakannya. Tak pernah kubayangkan. Keluargakulah yang mendapati kehormatan...