Cahaya matahari berhasil menelusup masuk dari ventilasi kamar, membuat Laras terbangun dari tidur nyenyaknya dan terkejut melihat matahari sudah tinggi, lantas ia bergegas ke kamar mandi. Baru saja Laras keluar dari kamar setelah berkemas, nek Kasih menawarinya makanan.
“Hari ini nenek pulang ya, Nak. Kalo ada apa-apa mampir saja kerumah nenek di depan sana, besok nenek datang lagi.” kata nek Kasih sambil menyimpan piring ke rak yang baru saja di cucinya.
“Iya nek. Terima kasih. Hari ini Laras masih pengen istirahat nek, sekalian ngemasin pakaian Laras yang ada di koper.” Jawabku sambil menyesap teh hangat yang dibuatkan nek Kasih.
“Kalau Laras mau nyimpan pakaian, pakai saja lemari yang ada di kamar Laras. Itu punya Larasati. Pakaiannya juga masih ada di lemari. Nenek pamit ya, Nak. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” jawabku sambil mencium punggung tangan nek Kasih.
Laras memandang punggung nek Kasih yang renta itu hingga menghilang di telan pintu depan. Lalu ia melesat ke kamar dan mengobrak-abrik isi kopernya.
Setelah beberapa pasang pakaiannya beralih menjadi penghuni lemari kayu tua yang menjulang tinggi hingga ke langit-langit kamar itu, Laras tidak sengaja menemukan sebuah kotak kayu persegi bercat merah.
Karena penasaran, Laras pun mengambilnya dan membukanya setelah memastikan tidak ada penghuni lain di kamar itu selain dirinya.
Kotak persegi itu hanya sepanjang siku lengannya dan Laras terheran-heran mendapati isinya hanya berupa gulungan kertas yang telah usang kekuningan terikat sehelai kain kecil berwarna merah tua. Dengan jantung berdebar-debar, ia memasukkan lagi gulungan itu dan menutupnya rapat.
Laras mengemasi sisa pakaiannya yang berserakan ke dalam lemari, lalu ia beranjak keluar untuk menutup pintu rumah dan memastikan tidak ada pintu yang terbuka.
Kemudian, ia masuk kembali ke kamar mengambil kotak bercat merah itu, membawanya ke ranjang dan bersandar di dinding kamar. Laras membuka gulungan itu dengan detak jantung yang semakin berdentam keras dan mulai membaca.
***
Pagi itu aku sedang mengajar anak-anak buta huruf di halaman belakang rumahku. Setelah mengajar membaca dan menulis, aku bergegas membantu ibu di dapur dan mengambil alih tugas memasak. Saat itu aku melihat ada yang berbeda dari ibuku, dia tersenyum. Hari ini pun berbeda dengan biasanya. Setelah habis mengajar anak-anak tanpa bayaran, tubuhku pasti telah lemah tak berdaya di ranjang karena dipukuli, namun, hari ini tidak.“Ibu dan bapak mau bicara denganmu nanti. Tunggu bapakmu pulang.” Ujarnya tetap tersenyum.
Bingung. Aku menjawabnya dengan bergeming. Aku terdiam menatap ibuku yang sudah mulai menua itu, rambutnya sudah hampir setengah memutih dan terdapat banyak kerutan di wajahnya. Hatiku mulai berdialog ria. Entah apa yang mereka inginkan dariku. Sebelumnya kami jarang berbicara kecuali hal yang ingin dibicarakan adalah hal yang penting. Terlalu banyak keinginan mereka yang membuatku menderita. Dan sebagai anak yang manis dan penurut, aku hanya bisa bersabar menghadapinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
LARASati [COMPLETED]
General Fiction-Laras Aku tak tahu bahwa dibalik hidupku yang selalu diliputi kebahagiaan, menyimpan sebuah cerita nelangsa yang mampu menguras habis air mata yang mendengarnya, apalagi merasakannya. Tak pernah kubayangkan. Keluargakulah yang mendapati kehormatan...