Chapter 4

262 11 0
                                        

2 minggu kemudian...

Disinilah hidupku menjadi istri bermula. Menghadapi derita yang sanggup ku bawa hingga mati. Aku berjuang keras melalui hidup yang tidak adil. Seakan keadilan itu tersesat, jauh sekali tanpa bisa kuraih. Seolah siksa hidup bertahun-tahun belum puas menggerogoti tubuhku, malah semakin erat ia bersandar di bahuku.

Lintang Pramudya. Suamiku. Awalnya aku menduga akan bahagia. Pertama kali melihat matanya yang hitam berkilau seperti rambut yang dimiliki lelaki itu menyorot tajam. Wajah yang terpahat indah dengan tulang pipi yang tegas memberi kesan bijaksana padanya, ia memiliki alis tebal nyaris bertaut menjadi satu, bibir yang merah kehitaman karena asap rokok menambah ketampanannya. Kami berselisih usia hampir sepuluh tahun.

Beberapa tahun berlalu dengan mudah. Aku diliputi rasa bahagia yang kukira akan selamanya menyinggahi hidupku. Aku sempat berterima kasih pada ibu dan bapakku. Suamiku memperlakukan aku layaknya tuan putri. Barang-barang mewah berkeliling menghiasi rumah baruku. Tidak ada alasan untukku untuk tidak mencintainya.

Namun, ketika cinta disambut hatiku yang lelah, derita itu datang lagi memporak-porandakan hidupku. Ia datang begitu cepat. Memaksaku untuk pergi secepat mungkin dari kehidupan bahagiaku.

Aku belum ingin menyingkir dari kebaikan suamiku. Kekhawatiran dari suamiku. Perhatian dan kasih sayang dari suamiku. Aku belum ingin. Lalu mertuaku berperan menjadi tokoh antagonis dalam keluarga kecilku. Meminta makhluk berliur yang tak kunjung muncul. Lantas ia menghancurkan hidupku hingga ke batas akhir.

Aku terpaksa merelakan suamiku menikah lagi. Melihat suamiku yang beralih ke perempuan lain seakan membuat ragaku tak bernyawa. Aku terpaksa ikut bahagia melihat kebahagiaan yang terpapar jelas di wajahnya.

Apa salahku? Aku tidak pernah meminta untuk mandul. Aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Aku tidak pernah meminta untuk menikah. Aku tidak pernah meminta untuk menanggung derita sepanjang sisa hidupku!!! Jerit hatiku pilu.

Setiap malam aku sendiri. Menangis. Menanti. Suamiku jarang sekali pulang setelah anak dari istri mudanya itu dilahirkan, bahkan saat tengah mengandung, suamiku pernah tidak pulang berbulan-bulan. Meninggalkan kesedihan menjadi teman hidupku.

Pernah suatu kali aku marah karena hal itu. Namun, suamiku membalasnya dengan hinaan, cacian dan makian. Bahkan tak segan ia menampar pipiku hingga bagian dalam mulutku robek. Menyulitkanku makan berhari-hari, sedangkan dia tengah tertawa di sana. Cinta itu telah lenyap, berganti dengan benci.

Bertahun-tahun berlalu dengan penderitaan yang tak berujung. Aku ditelantarkan dengan barang-barang nan mewah. Lalu, sampailah aku ke titik akhir dan memutuskan untuk meninggalkan suamiku. Sekaligus orang tuaku. Sebelumnya aku menghabiskan hari terakhir berdua dengan suamiku sebagai ucapan selamat tinggal. Aku membujuknya untuk memberikan satu hari saja padaku.

“Mas, sekali saja temani aku. Sehari saja. Aku sangat merindukanmu mas.” Kataku memelas saat ia mampir ke rumahku untuk mengambil sesuatu.

“Aku ada urusan ras. Besok saja bagaimana?” katanya membujuk.

“Kau berjanji?”

“Iya. Aku berjanji.” Katanya lalu pamit pergi.

Suamiku menepati janjinya. Maka hari itu kugunakan dengan sebaik-baiknya dari pagi hingga malam aku tak berhenti melayaninya. Membuatkan sarapan, mengobrol tentang banyak hal, membicarakan anak dari istrinya yang kedua, hingga berakhir di tempat tidur. Aku memeluk suamiku erat. Aku sangat mencintai suamiku. Aku tidak ingin hidup menjadi beban untuknya. Ia berhak bahagia dengan istri dan anaknya. Aku memeluknya lama seakan tak ada lagi hari esok untukku. Ya, aku mungkin tak lagi bertemu hari esok. Karena bagiku, esok adalah hari kematianku.

Keesokan paginya, aku pergi. Meninggalkan selembar surat ucapan perpisahan untuk suamiku. Aku pergi ke pedalaman Kalimantan dengan air mata yang tidak berhenti berlinang. Mencari-cari alamat Kasih Sulastri, sahabatku yang sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Dengan segenggam emas milik suamiku, aku membeli gubuk yang dipilih oleh Kasih untukku dan sisanya untuk menyambung hidup.

Dua minggu kemudian aku merasa ada yang salah dengan tubuhku dan seketika itu juga Kasih mengabarkanku tengah hamil muda. Lalu keyakinan itu bertambah saat aku menemui dokter. Aku tidak mandul dan tidak mungkin untuk kembali kerumah itu tanpa gunjingan orang-orang, keluargaku dan juga keluarga suamiku. Aku menangisi takdir yang terlambat. Aku menangis berhari-hari. Meratapi nasibku. Kasih menguatkanku. Kasih menjagaku hingga aku melahirkan Andarwati.

Aku menjaga anakku dengan segenap kekuatanku. Andarwati adalah sumber kebahagiaanku, aku bekerja sangat keras untuk membahagiakannya hingga aku tidak sadar telah menelantarkan Andarwati. Sebagai balasan, beranjak dewasa Andarwati meninggalkanku jauh tanpa memberikan alamatnya padaku. Aku gagal menjadi seorang istri, aku gagal menjadi seorang ibu dan aku gagal menjadi seorang perempuan.

Setelah puluhan tahun berpisah dengan darah dagingku, akhirnya aku mendengar kabar tentang Andarwati. Namun, bukan kabar baik yang kudapat. Andarwati telah meninggal dunia dan aku tidak bisa melihatnya untuk yang terakhir kali. Aku mendengar ia mempunyai anak dan saat ini tinggal bersama Ayahnya. Namanya mirip denganku, ingin sekali rasanya aku pergi ke Jakarta melihat Laras, cucuku. Oh... cucuku itu pasti cantik sekali seperti Andarwati, anakku.

Penyakit ini sudah menggerogoti hampir seluruh tubuhku. Karena itu aku tidak bisa mengunjungi keluargaku. Kasih, sahabatku, tidak pernah lelah menjagaku. Semoga Tuhan membalas kebaikannya. Semoga Tuhan menjaga Laras dan tidak memiliki derita seperti yang kualami. Semoga Tuhan memberikan kebahagiaan untuk semua orang yang kusayangi. Semoga aku bisa bertemu dengan cucuku. Semoga....

LARASati [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang