1/2

90 10 0
                                    

Mira POV

Hai, namaku mira, Namira tarisa. Hari ini untuk pertama kalinya aku memberanikan diri. Hari ini, untuk pertama kalinya aku berani untuk mendekati sang mimpi, membuang jauh semua ketidakpercayaan yang dulu sempat bersarang.

Hari ini, tanggal 5 februari, aku akan melihat ayahku duduk di tribun penoton, dan menyaksikanku dalam lomba debat antar kelas.

Awalnya aku merasa tidak pantas mewakili kelas, secara aku hanyalah seorang anak yang bisa sekolah di Gerald International High School, dengan bantuan beasiswa. Jadi entahlah, aku sering merasa minder saat berada diantra teman-temanku. Padahal mereka tidak pernah sekalipun menghina bahkan menyinggung tentang siapa aku, siapa orang tuaku, dan bagaimana kondisi keluargaku.

Hari ini juga, ayahku terus menatapku dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Andai saja, disini juga ada bunda, pasti bunda juga akan senang melihat senyuman ayah yang begitu cerah. Sayang, Tuhan lebih sayang bunda, sampai-sampai Tuhan hanya menhijinkan bunda bersamaku 5 tahun saja, setelah itu bunda meninggal karena kanker serviks yang dideritanya. Dan saat itu juga, aku hanya hidup bersama ayah, berdua dirumah sederhana yang ayah sewa.

"Ayah, nanti ayah datang kan?" tanyaku membuka obrolan kami di pagi ini sebelum aku berangkat mengikuti lomba.

"Iya, ayah akan datang. Tapi ayah harus pergi ke tempat kerja ayah dulu, ayah belum ijin untuk tidak masuk." jawab ayah masih dengan senyum menghiasi wajahnya.

"Baiklah, ayah hati-hati di jalan nanti." balasku.

Ayah memang bekerja sebagai tukang, disalah satu proyek pembangunan yang tak jauh dari rumah.

"Nanti kamu ayah antar ya, kita naik angkot ke sekolahmu, lalu ayah akan pergi ketempat kerja sebentar untuk meminta ijin."

"Gak usah yah, ayah nanti langsung ketempat kerja ayah aja, nanti mira biar naik angkot sendiri."

"Baiklah. Oh ya sekarang sudah jam 06.15, cepatlah atau nanti kau akan terlambat."

"Iya yah, ini mira masih buat sarapan untuk kita."

"Oh tidak tidak. Anak ayah gak boleh capek-capek, nanti pas waktu lomba, mira udah lelah duluan." canda ayah.

"Gak apa kok yah, lagian cuman masak martabak mie kok. Gak yang ribet."

"Iya deh, anak ayah emang yang paling baik deh."

Setelah itu, aku dan ayah sarapan bersama.

"Ayah, mira berangkat ya, assalamu'alaikum." pamitku kepada ayah.

"Iya, hati-hati ya nak, semoga sukses lombanya." balas ayah.

Sebelum benar-benar pergi kesekolah, aku memandang foto keluarga yang diambil saat aku berusia lima tahun. Foto terakhir dimana bunda masih berada bersamaku.

"Bunda, hari ini mira mau ikut lomba. Bunda doakan mira ya bun." pamitku pada foto bunda, sambil mengecup sesaat foto itu, lalu berlalu pergi meninggalkan rumah.




Sekarang aku sedang berada di belakang panggung, 5 menit lagi lomba akan dimulai.

"Pasti ayah sudah duduk di tribun penonton." lirihku semangat, mengingat ayah akan melihatku berdebat dan memperebutkan piala juara pertama. Sejak ayah mengijinkan dan mengatakan bahwa aku pantas menjadi perwakilan kelas untuk maju di perlombaan debat, saat itu juga aku berjanji, Pada ayah, dan bunda diatas sana. Bahwa aku akan membawa pulang piala, agar ayah tak sia-sia datang ke aula sekolah, dan merelakan libur dari pekerjaannya, hanya untuk meyaksikan lomba debat ini.

Piala Untuk Ayah [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang