(Rain, Story, and I)
.
.
.
--°•°--Aku menyeka saliva di sudut bibirku. Iuh, mungkin terdengar sedikit menjijikkan bagi kalian, kan? Tetapi begitulah faktanya. Meski terlahir sebagai perempuan cantik, tapi tetap saja ada minus-nya. Hihihi.
Sekarang sudah menjelang subuh. Belakangan ini Theresha menjadikanku sebagai alarm pribadinya. Kebetulan beker rusak parah, ia yang membantingnya ketika beker berdering tepat di samping telinganya tempo hari—ia terkejut.
Pagi hari kota Malang. Hari ini Minggu. Biasanya kami ke pasar berdua untuk belanja mingguan. Di rumah ini kami hanya tinggal berdua.
5.30 WIB.
Belum tampak secercah cahaya dapat mengoyak langit gelap, kelam sisa semalam. Di luar udara sejuk sekali. Musim penghujan juga masih belum beranjak dari kota ini. Mungkin satu atau dua bulan lagi? Kurasa juga demikian. Tadi malam hujan luruh memang jauh lebih deras dari biasanya. Sekadar memberi tahu, lantaran curah hujan yang begitu lebat, tadi malam kami sempat berlama-lama duduk menghangatkan bangku salah satu cafe, demi menunggu hujan reda. Sebenarnya kami hanya berjalan kaki saja. Singgah sana, singgah sini. Lihat sana, lihat sini. Dalam kota. Kurasa, radius satu kilo meter adalah jarak paling jauh kami melangkah.
Menekan start, suara mesin kendaraan ini berbunyi. Aku memanaskan mesin motor. Meski butut, terkadang induk semang meminjam sesuka hatinya.
Semua sudah siap, terlebih aku yang menanti Theresha melangkah keluar rumah. Pagi ini kami langsung pergi ke pasar untuk berbelanja keperluan. Kebetukan stok sayuran dan lauk sudah nyaris habis.
5.45 WIB
Wush, motor membelah kabut tipis pagi hari.
Sisa hujan, sebagian jalan masih tergenang air. Rerumputan juga masih basah. Dedaunan berguguran. Ranting rapuh patah-patah lemah menghantam tanah. Sebuah anugerah. Menurutku, hal sesederhana ini jadi menakjubkan ketika dapat menjamahnya dan mampu mensyukuri semua nikmat ini.
Omong-omong, ini bulan yang sama saat cerita itu dimulai, dan di musim yang sama pula, musim penghujan. Jadi, bulan ini persis enam tahun dari kisah yang akan kuceritakan kepada Theresha kali ini. Enam tahun dari belenggu kisah yang terjadi kala itu.
***
KEPAKAN sayap kelelawar memecahkan sisa bulir air semalam, menghantam bumi di tengah gemerlap. Puluhan makhluk bersayap terbang melayang menggapai bumbung rumah lembap, tentunya memiliki celah untuk dimasuki. Lantas menetap hingga senja tergores tipis di langit sore, mungkin saja sampai mentari tumbang di ufuk barat—mereka masih di sana.
5.30 WIB
Masih terlalu pagi untuk keluar dari istana ini, walaupun sekadar melihat keadaan di luar rumah. Sepasang kaki enggan melangkah, lantaran sepasang mata juga belum rela terbuka. Ingin rasanya terus memejamkannya hingga musim hujan selanjutnya tiba. Aku masih menjadi golongan penikmat rebahan, yang cukup trend di abad ini—walaupun tidak ada faedahnya.
Anak-anak hujan yang luruh tadi malam menghanyutkanku dalam mimpi menawan. Suhu yang dingin menjadikan kenyamanan yang tiada duanya, ketika tebal selimut kesayanganku mengimbangi sejuknya tubuh menjadi dekapan hangat. Kupikir, secangkir susu panas dapat melanjutkan kehangatan ini. Segelas teh panas mungkin? Atau mocca latte dengan sepotong roti sebagai pelengkap? Apapun itu, kuyakin nikmat sekali.
Jika ditilik sedikit lebih jauh, November adalah bulan di mana hujan terus-menerus mengguyur ranah negeri ini, umumnya begitu. Membasahi seantero tempat berpijak, kadang hingga tak terbendung.
Tidak sedikit dari mereka menyukai hujan, bahkan teramat banyak yang mencintainya. Umumnya mereka menjadikan hujan sebagai memorable moment. Mereka yang suka hujan, sebagian mengatakan kehadirannya membawa ketenangan. Katanya, hujan membawa kenyamanan.
Tapi lihatlah, mereka yang punya tragedi masa lalu, akan lemah hatinya dan acap kali jatuh rindu. Sesak, sakit, menangis, kemungkinan akan begitu seterusnya.
Coba lihat suasana langit ketika hampir runtuh, sungguh indah bukan yang kelabu itu? Seolah hendak menaburkan sejuta rahmat, seolah hendak luruhkan sejuta nikmat. Terlebih aku yang selalu menantinya untuk singgah di langit kotaku.
Aku suka mendengar suara hujan. Aku suka mencium bau setelah hujan. Mencium bau tanah yang mengangkat aroma khas setelah hujan—petrichor.
Setiap butir hujan yang jatuh menghasilkan dinamika nada yang unik, aku juga suka mendengarnya. Ketika hujan berhenti, jelas akan meninggalkan aroma yang begitu nyaman, begitu tenang. Boleh jadi, akan dijadikan sebagai aroma relaksasi di setiap napas yang dihidu.
Di rumah minimalis ini tak jarang aku mengistirahatkan tubuh, bahkan terbilang sering. Rumah-rumahan yang kusinggahi setiap hari Sabtu dan Minggu saja, seperti hari ini misalnya. Bisa jadi saat hari-hari libur, atau apabila ketika aku sedang ingin berdiam, aku lebih senang tidur di dalam sini. Bentuk rumah minimalis ini tak berbeda jauh dari chalet—rumah-rumahan kayu di pegunungan Swiss, ini favorit sekali!
Pembaca yang baik, aku tidak seorang diri di dalam sini. Aku terbilang sering berdiam di dalam sini berdua dengan kakakku. Bahkan, di saat-saat tertentu kami lebih memilih menghabiskan waktu istirahat di sini, terutama ketika hujan hendak luruh membungkus buana. Ah iya, Kak Luna satu-satunya kakak perempuanku yang aku punya.
Di rumah minimalis ini pula, seolah kehidupanku hanya di dalam sebuah ruang kecil— kamar. Bukan perkara besar lagi tentang siapa yang sering membuat keadaan kamar seperti kapal pecah, pastilah aku pelakunya. Tapi jika ditanya siapa yang akan menghias indah kamar ini setiap akhir tahun? Jawabannya tentu aku juga. Terkadang Kak Luna mengabadikan hasil jepretannya di pigura-pigura yang sengaja dipajangnya dekat dinding, it's oke, aku suka.
Satu bagian kamar ini yang paling aku suka, atapnya. Sengaja aku minta untuk dibuatkan sebagian atapnya transparan. Agar bisa kuintip pelangi yang melengkung memesona di langit lembut sesaat setelah hujan memberi jeda. Juga taburan bintang yang tumpah-ruah apabila pekatnya langit malam terukir indah. Menciptakan jutaan formasi gemintang di atas sana, lantas merias buana di tengah perbincangan hangat antara aku dan Kak Luna.
Aku dan Kak Luna penggila mocca latte. Kebiasaan ini bagai tradisi kami. Wajib hukumnya.
Kali ini hujan kian gila membungkus kota, mocca latte panas, sebuah buku cerita, selimut tebal, memasang earphone sembari mendengar lagu kesukaan, kurasa itu akan jadi sesuatu yang menarik untuk dicoba.
Pembaca yang baik, biar kuberitahu kau satu hal pening lagi dalam hidupku. Ya, aku sangat menyayangi kakakku, Luna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenapa Harus Luka?
Literatura Feminina[ON GOING] [Sedang Direvisi] *** Setidaknya, takdir hidup mengajarkan bagaimana menyikapi lika-liku rintangan. Bukan hanya soal cinta, tapi juga tentang luka. Tentang bangaimana takdir menemukan, memisahkan, lantas memaksa hati untuk melupaka...