Part 11 (Pengakuan)

113 13 3
                                    

“Keadaanmu sudah cukup membaik Rain, tapi tetap jangan sampai lewatkan untuk istirahat di rumah ya.”, kata dr. Arai padaku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman seadanya. Tubuhku memang sudah sedikit lebih segar dari sebelumnya setelah selesai cuci darah. Tapi seperti biasa tubuhku masih memberi respon pada proses yang sebenarnya sudah biasa kulakukan itu.

“Terimakasih Dok sudah merawat Rain dengan telaten selama ini.”, ucap ibuku pada dr. Arai yang disambut dengan senyuman hangatnya.

“Sama-sama Bu Melisa. Tapi saya harap saya tidak lagi merawat Rain yang artinya Rain sudah bisa hidup normal.”

“Amin. Saya selalu berdoa dan berharap suatu saat Rain bisa mendapatkan donor ginjal yang cocok.”

“Saya juga berharap hal yang sama Bu. Kita berdoa yang terbaik saja. Yasudah kalau begitu mari saya antar keluar.”, kata dr. Arai yang melihatku beranjak berdiri dan rasanya ia mengerti bahwa aku ingin cepat-cepat pergi dari rumah sakit ini.

“Inget Rain setelah ini lo harus istirahat total dirumah.”, kata Dea yang sejak tadi membantu ibuku membereskan barang-barangku yang sempat dibawakan ibuku saat aku dirawat dirumah sakit.

“Iya bawel.”, jawabku singkat karena rasa mualku yang sedari tadi kutahan agar tidak memuntahkan isi perutku yang bahkan belum kuisi, membuatku malas berbicara banyak.

Aku berjalan ke arah pintu kamar rumah sakit dengan sedikit tertatih karena kondisi tubuhku yang masih lemas dan sedikit pusing akibat efek dari proses hemodialysisku. Dea membantuku berjalan dengan memegang tanganku. Begitu sampai di depan pintu aku menghentikan langkahku, terkejut dengan apa yang kulihat dan tak percaya dengan sosok yang sedang berdiri gagah di hadapanku dengan wajah tampannya. Ya dia sungguh tampan pagi ini. Dengan kemeja panjang dongkernya yang lengannya ia lipat sesiku dan rambut yang rapi serta bau parfumnya yang langsung menyengat penciumanku. Ia menjadi pemandangan pagi hari yang sungguh menabjubkan seandainya aku tidak sadar bahwa aku dirumah sakit sekarang.

“Kevin!”, ucapku dengan nada tak percaya. Sontak membuat semuanya melihat kea rah Kevin dengan tatapan bingung tak kalah bingungnya denganku.

“Hai Rain. Gue kira lo masih beberapa hari lagi dirawat disini, ternyata lo udah mau balik.”, sapanya dengan memamerkan senyumnya yang mampu menghipnotis penglihatanku. Ya, Kevin tersenyum! Dan hal itu jarang sekali kulihat dari sosoknya yang pendiam dan dingin itu.

“Kenapa lo bisa ada disini?”

“Ceritanya panjang. Mungkin kita bisa bicarakan lain kali karena sepertinya lo butuh istirahat. Yang jelas gue kesini Cuma mau lihat keadaan lo aja kok.”

“Yaudah kita bisa omongin di café dekat sini.”, jawabku tanpa pertimbangan. Dan hal itu jelas di tentang oleh semua yang ada didekatku.

“Rain…”, ucap Dea dan ibuku serentak. Sementara dr. Arai terlihat tengah menggelengkan kepalanya melihat sikapku yang selalu tidak bisa diatur seperti ini.

“Cuma sebentar aja kok Bun, De. Nanti biar Kevin yang antar Rain pulang. Lo ngga keberatan kan?”

“Apa ngga sebaiknya lo pulang aja?”, tanyanya yang terlihat ragu-ragu. Namun aku tak ingin mengubah keputusanku. Mengetahui fakta bahwa Kevin bisa berada disini itu berarti dia sudah tahu akan sesuatu tentang diriku. Tanpa basa-basi lagi aku langsung menariknya dari tempatnya berdiri dan meninggalkan Dea dan ibuku yang mungkin sedang mengkhawatirkanku saat ini.

********

“Yang lo lihat ngga seperti yang lo bayangkan. Jadi jangan berpikir macam-macam.”, kataku tanpa basa-basi lagi ketika kami sudah duduk di salah satu kursi di dekat jendela tempat favorit Kevin.

Rain's Love (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang