Part 9 (Penggarapan Novel)

97 15 3
                                    

“Hei Rain, ngapain tuh? Kayaknya lama deh gue ngga liat lo ngampus.”, sapa Marsya yang sontak membuatku menghentikan aktivitasku.

“Ah lebay deh lo Sya, gue Cuma ngga ngampus 2 hari kemarin, lagi ada urusan keluarga gue.”, balasku berdalih. Aku tak mungkin membalas pertanyaannya dengan alasan yang jujur, bukan berarti sakit itu tidak boleh, hanya saja aku sudah terlalu sering mengalaminya dan tidak pergi kuliah karena alasan yang sama. Tentunya aku tidak ingin orang lain tahu kebenarannya.

“Emang dasar Miss sibuk lo ya, ada aja kegiatan lo sampe sering ngga masuk kuliah.”

“Iya dong, bukan Rain namanya kalo ngga sibuk.”

“Anyway itu tugas apaan tuh yang lagi lo garap?”, Tanya Marsya sambil meraih laptop yang tadinya ada dihadapanku kini sudah berada dihadapan Marsya.

“Ini nih tugasnya Bu Cindy yang belum gue kumpulin minggu lalu. By the way sorry ya Sya gue duluan ya, gue mau ke perpus dulu nih.”, kataku sambil meraih laptopku dan beranjak pergi.

“Yaudah take care Rain, jangan bolos kuliah mulu.”, teriak Marsya dengan nada sedikit meledek yang hanya kubalas dengan senyuman tak bersalah dan terus melanjutkan langkahku menuju perpustakaan.

Begitu sampai di perpustakaan aku langsung mengambil posisi duduk di tempat favoritku di pojok ruangan. Sudah dua hari ini aku tidak keluar rumah hanya beristirahat saja untuk mengembalikan tenagaku. Rasanya sangat membosankan, tapi apa daya jika itu adalah suatu kebutuhan yang bahkan tak kuinginkan pun tetap akan kulakukan.

Selama 2 hari beristirahat dirumah imajinasiku melayang-layang dengan liarnya. Rasanya ingin sekali meraih laptopku dan menorehkan ide-ide itu disana. Namun karena kondisi yang masih belum mendukung akhirnya aku memutuskan untuk bersabar. Dan kini adalah saat dimana kesabaranku harus berakhir. Kulampiaskan segala ide-ide yang memnuhi pikiranku sejak dua hari lalu dan membiarkan jari-jariku menari-nari dengan bebas diatas papan keyboardku dan larut didalamnya.

********

Dea tampak gelisah berjalan menyusuri koridor kampus sambil menekan-nekan ponselnya berkali-kali. “Lo dimana sih Rain daritadi telfon ngga diangkat-angkat.”, batin Dea dengan gusar.

“Lo kenapa De? Kok gelisah gitu kaya lagi nyari piaraan yang ilang.”, sapa Marsya yang tidak sengaja berpapasan dengan Dea.

“Masalahnya bukan piaraan gue yang ilang. Gue lagi nyariin Rain dari tadi. Kata nyokapnya dia lagi ngampus hari ini, tapi gue cariin dari tadi ngga ketemu-ketemu. Ke kelasnya ngga ada, gue telponin dari tadi ngga diangkat-angkat.”

Marsya terbahak mendengar penjelasan Dea yang terlihat seperti induk yang kehilangan anaknya. “Lo santai aja kali De, lo jadi kaya orang tua yang lagi kehilangan anaknya aja.”

“Ya gue khawatir aja Sya sama tuh anak.”

“Rain itu udah 22 tahun, dia bukan lagi anak dibawah umur kali De. Tadi gue ketemu sama dia, katanya dia mau pergi ke perpustakaan.”

Mendengar jawaban Marsya wajah Dea langsung berbinar merasa sudah mendapatkan pencerahan. Tanpa basa-basi lagi Dea langsung berkata, “Yaudah thanks ya Sya, gue mau nyusulin Rain dulu ya, bye.”

“Emang hobi bikin gue khawatir aja lo Rain.”, ucap Dea disela langkahnya menyusuri koridor menuju perpustakaan.

Sesampainya diperpustakaan Dea langsung tahu dimana sahabatnya bersemayam di tempat ini. “Dari tadi gue cariin keliling kampus, gue telponin ngga diangkat-angkat sampe gue khawatir ngga taunya lo malah asik sendiri disini.”, kesal Dea, namun yang diajak bicara sama sekali tidak bergeming dengan perkataannya. Membuat Dea semakin kesal dengan Rain.

Rain's Love (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang