04

79 10 0
                                    


---------

"Kenapa, Nad?" Tanya Kevan pada Nadine yang mulai gelisah karena takut disuruh pak Syarif untuk mengerjakan soal matematika dipapan.

Sebenarnya, Nadine gengsi untuk menjawab pertanyaan Kevan, apa boleh buat, sepertinya dia akan menurunkan sedikit harga dirinya untuk meminta bantuan Kevan.

"Gue nggak ngerti sama materi ini, lo pasti ngerti kan? Tolongin gue dong, tolong kerjakan yang nomor 9."
Kevan memang jagonya matematika. Jika ekspektasi kalian tentang Kevan itu anak brandalan yang bego, kalian salah besar. Nyatanya, Kevan adalah anak emas Pelita Bangsa. Kevan pernah memenangkan olimpiade matematika tingkat nasional, juara satu pula!

"Iya, sini gue kerjakan."

Nadine kaget, tumben anak ini baik. Batin Nadine.

"Iya makasih ya."

"Lo mau gue ajarin matematika nggak?"

"Emangnya boleh?" Tanya Nadine ragu.

"Iya, sekarang, gue minta id line lo, gue yang add, siapa tau lo perlu bantuan gue buat kerja soal math."

"Makasih banget ya, id line gue Nadine10."

"Ok, gue udah add."

Nadine pun tersenyum, dan tanpa sadar, secara perlahan, Nadine sudah menerima Kevan untuk masuk kedalam hidupnya.

Dan Kevan? Hitung-hitung modus untuk dekati Nadine.
------
Sudah satu minggu Nadine dan Kevan agak akur, bahkan pergi dan sekolah pun mereka barengan.

Sekarang, Nadine dan Kevan pun berjalan di koridor sekolah.

"Nad, sorry ya, gue harus latihan basket dulu baru kita pulang, gak papa kan?"

"Iya gak papa kok."

"Oke, tunggu gue di ujung lapangan ya, kalau mau nonton gue latihan juga boleh, siapa tau lo bisa terpesona dengan gue hahahaha."

"Yailah, sifat ke PD an lo itu emang gak bisa dihilangkan ya?"

"Emang kenyataan kok, btw, gue udah dipanggil tuh sama Deno."

"Iya, kesana gih."

Baru kali ini Nadine mau menghabiskan waktunya untuk menunggu Kevan yang dulu tak penting bagi Nadine. Entah, mungkin hari ini Nadine kerasukan setan rajin.

Mata Nadine terus menatap ke arah Kevan, apalagi ketika ia sedang menyerka keringatnya, rambutnya acak-acakan pula.

"Ganteng" gumam Nadine tak sadar.

"Apa? Barusan gue bilang Kevan ganteng? Mungkin gue udah gila. Atau, bahkan gue udah dipelet sama Kevan?"

Nadine menggeleng-gelengkan kepalanya. Saking sibuknya dengan pemikirannya sendiri, dia tidak menyadari jika ada orang yang berdiri didepannya.

"Ngapain lo geleng-geleng kepala kayak gitu? Lo udah gila ya?" Ucap seseorang yang berada di depan Nadine.

"Lo yang gila. Ngapain lo disini? Sana-sana latihan yang bener, biar gue cepet pulang. Gerah gue lama-lama deket setan!"

"Siapa bilang gue masih latihan? Orang kita udah selesai latihan kok."

"Oke, baguslah, ayo kita pulang."

Mereka pun berjalan menuju parkiran.

Keadaan dimobil sudah tidak secanggung dulu, mereka sudah mulai memecahkan batu es yang sangat dingin diantara mereka. Bahkan dulu Kevan yang memang sifatnya yang jahil dan selalu mencairkan suasana, tak mampu memecahkan batu es itu, karena gengsi yang membuatnya menjadi sangat dingin. Tapi sekarang, entah itu Kevan atau bahkan Nadine yang sudah tak canggung untuk mencairkan suasana.

"Loh, kok nggak belok kiri? Kita mau kemana?"

"Minum Frappuccino yuk? Lo kan pernah bilang kalo lo suka Frappuccino."

"Iya, suka banget. Lo juga kan?"

"Iya, kenapa lo bisa suka banget sama Frappuccino?"

"Karena frappuccino bisa menenangkan pikiran gue, frappuccino yang menyadarkan gue kalau hidup itu tak selamanya manis dan tak selamanya pahit."

FrappuccinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang