(1/2)

24 1 0
                                    

Kita seperti sebuah ikatan tali sepatu

Sekuat apapun aku mengikatnya, pasti akan kau lepas juga

***

Deru mesin kereta api yang beradu dengan rel baja berhasil membangungkanku dari tidur. Aku membuka mataku perlahan. Seberkas sinar segera menyilaukanku.

Aku mengerjap beberapa kali, berusaha membiasakannya dengan terang lampu neon putih di langit-langit. Kemudian sebuah tangan menepuk pundakku dari belakang.

"Udah bangun?"

Suara seorang laki-laki yang sangat kukenal mengangetkanku. Laki-laki itu pun duduk di sebelah bangkuku. "Nih..," ujarnya sambil mengulurkan sebotol minuman bersoda padaku. Aku langsung menerimanya.

"Thanks," ujarku, kemudian segera membuka botol itu dan menenggaknya.

Aku melirik jam tanganku. Jarum pendeknya menunjuk angka 10. Artinya sudah 4 jam gerbong ini membawa kami ratusan kilometer dari kota metropolitan. Dan masih ada 6 jam lagi sisa perjalanan.

Dinginnya AC kereta berpadu dengan udara malam membuatku agak mengigil. Kurapatkan tanganku dalam saku jaket. Kaus lengan panjang yang kukenakan sudah tak sanggup lagi melawan dinginnya angin malam. Bahkan jaket parka tebal ini masih membuat telapak tanganku menggigil.

"Kedinginan, ya?" Aku menoleh. Laki-laki di sebelahku tampaknya peka terhadap keadaanku.

"Iya nih," jawabku sambil meringis.

"Wah, salah ya aku beliin soda tadi. Bentar, aku pesenin teh anget di restorasi." Laki-laki itu hendak bangkit berdiri dari tempat duduknya, sebelum aku buru-buru meraih tangannya.

"Gausah, Gio. Nanti aja pas lewat."

Ia menatapku. Terlihat jelas kekhawatiran dalam raut wajahnya. "Yakin, Nay? Kamu mengiggil gitu."

"Iya. Aku gak apa-apa kok," ujarku seraya menganggukkan kepala, berusaha meyakinkan. Tapi tampaknya perkataanku masih belum bisa meyakinkannya. Aku pun mengangkat tangan kananku, lalu membentuk huruf V dengan telunjuk dan jari tengah.

"Beneran!"

Ia menghela nafas, menyerah pada sifat keras kepalaku. Cowok itu pun kembali duduk. Tiba-tiba Ia menarik tanganku dari saku jaket.

"Siniin tangannya," ujarnya sambil mengenggam tanganku. Ia kemudian menyatukan kedua tanganku di dalam genggaman tangannya, lalu meniupnya beberapa kali. Uap hangat segera masuk ke sela-sela jariku.

"Udah anget?" tanyanya.

Aku tersenyum. "Udah kok. Makasih ya."

Ia pun membalas senyumanku, "Anything for you."

Aku pun membenamkan kembali tanganku dalam saku jaket. Kehangatan itu memang tidak berlangsung lama dan tidak ada artinya dibandingkan dengan dinginnya suhu yang harus kuhadapi. Tapi entah kenapa, aku menyukainya. Ia seolah mentransfer kehangatan dalam dirinya kepadaku, sehingga aku bisa merasakan hangat di seluruh tubuhku. Bahkan hatiku ikut menjadi hangat.

***

Laki-laki itu, Giovanni Adinata, seorang mahasiswa teknik berperawakan tinggi dan tegap. Kemeja kotak-kotak dan kaus adalah busana harian yang selalu melekat pas di tubuhnya yang berkulit sawo matang. Sementara wajahnya yang manis campuran jawa-manado-ambon tak jarang menjadi idaman para wanita di kampus.

Gio adalah partner-ku dalam segala hal. Ia sudah menjadi teman hidup yang selalu ada dalam situasi apapun. Tak peduli susah atau senang, dia ada di sisiku. Kita seperti sepasang sepatu yang berlari bersama, beriringan dan seirama. Aku sebagai sepatu kanan, dia adalah sepatu kiri-ku. Dan karena itu, kami membentuk suatu ikatan yang tak bisa diputuskan oleh apapun. Setidaknya, itu menurutku.

Aku duduk menatap ke arah luar jendela, menatap samar-samar bayangan pepohonan yang melintas cepat. Tak banyak yang bisa kulihat, karena kegelapan malam menyembunyikan semuanya. Tapi jauh disana, bisa kulihat konstelasi ribuan bintang di langit.

Di sampingku, Gio terlihat memegang sebuah buku di tangannya. Ya, kebiasaan yang muncul sejak Ia remaja. Kemanapun Gio pergi, Ia akan selalu membawa sebuah buku dalam ranselnya. Buku favoritnya tak lain adalah karya-karya Dee. Sama sepertiku. Kami berdua bahkan punya koleksi buku-buku Supernova terlengkap.

***

Kereta terus bergerak. Gerbong kami bergoyang-goyang mengikuti alur rel baja. Kereta ini akan membawa kami ke kota pahlawan, Surabaya. Kota yang tak lain adalah kota kelahiran kami. Disanalah aku dan Gio pertama kali bertemu, berteman, kemudian menghabiskan hari dan bertumbuh bersama. Dan tempat yang penuh kenangan indah bagiku.

Setelah 2 tahun merantau di kota metropolitan untuk menimba ilmu, akhirnya kami berkesempatan untuk kembali ke kampung halaman. Walau hanya sekedar menikmati liburan semester yang tak panjang, tapi kurasa itu cukup untuk bertemu kangen dengan seluruh kerabat dan teman-teman. Tiba-tiba terlintas di benakku semua kerinduan yang hanya bisa terobati di kota itu.

"Gio..,"

"Iya? Kenapa? Masih dingin?" Gio segera meletakkan bukunya dan menoleh padaku. Aku tersenyum. Lucu sekali melihatnya begitu khawatir padaku.

"Enggak kok. Itu loh... seneng gak sih akhirnya kita bisa pulang? Hehe..," jawabku sambil meringis canggung.

"Ohh..," jawabnya sambil tersenyum. "Ya pasti seneng, lah! Dua tahun, Nay! Dua tahun kita gak pulang. Ngalah-ngalahin bang Toyib tahu nggak?" lanjutnya diselingi tawa ringan khasnya yang membuatku ikut tertawa.

"Iya, nih. Kangen banget sama penyetan yang di kantin sekolah. Inget nggak sih setiap istirahat kita sering makan di situ?" ujarku antusias. Tergambar jelas di benakku lauk-pauk penyetan beserta nasi hangat, bumbu bebek dan sambel Bu Gendut yang selalu sukses membuat air liur menetes.

"Iya, inget banget. Tapi lebih kangen nasi goreng ikan asin buatan Bunda kamu, Nay. Asli enak banget. Bunda harusnya buka depot 'tuh." Gio tak kalah antusias. Nasi goreng ikan asin memang makanan kesukaannya. Aku masih ingat Bunda selalu memasakkan masakan itu setiap Gio berkunjung ke rumah. Dan hari itu pasti jatahku berkurang karena Gio menghabiskan hampir tiga perempat porsi. Aku selalu ingat betapa Ia mencintai makanan itu.

"Kalo Bunda buka depot, yang ada kamu doing yang abisin," ledekku. Kami pun tertawa bersama.

Malam itu kami habiskan dengan mengenang masa-masa indah di kota pahlawan. Dari masa kecil kami, pertama kali aku bertemu Gio saat balita, dan saat-saat kami bertumbuh bersama. Sejak itulah aku mulai menemukan banyak persamaan dalam diri Gio.

Kami sama-sama suka berpetualang dan mencoba hal-hal yang baru. Travelling menjadi hobi kami bersama. Karena itu setelah lulus SMA, aku dan Gio memutuskan untuk merantau bersama ke Jakarta. Selama kuliah pun, kami sering melakukan trip ke luar kota bersama dengan mahasiswa-mahasiswa lain.

Sebenarnya untuk liburan semester ini, kami bisa saja membeli tiket pesawat untuk pulang. Tapi Gio lebih memilih menggunakan kereta api dan mengunjungi satu-persatu kota dari Jakarta hingga Surabaya, meski hanya berhenti beberapa menit di stasiun. Menurutnya itu sangat menyenangkan walau harus menguras lebih banyak energi. Dan lagi-lagi aku setuju dengannya.

Kereta terus melaju. Malam semakin larut, dan jarak kami dengan kampung halaman semakin berkurang.

Bersama Gio, malam tak terasa begitu panjang.

part (1/2) - end

Shoe LaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang