(2/2)

22 0 0
                                    


"Nay... Naya, bangun! Udah mau sampe, nih."

Suara Gio sukses membuatku membuka mata. Lagi-lagi seberkas cahaya menyilaukan mataku. Setelah mataku berhasil membiasakan diri dengan cahaya, kudapati diriku bersandar di bahu Gio. Buru-buru aku mengangkat kepalaku.

"Dari tadi aku nyender?" Gio hanya mengangguk dan tersenyum.

"Ya ampun. Soriii..," ujarku merasa bersalah. Pasti lelah sekali tidur dalam posisi duduk sambil menahan kepala seberat ini di atas pundaknya. Sepertinya aku berhutang pijat pundak pada Gio.

"Gak apa-apa kali, Nay." Gio kembali tersenyum, kali ini sambil mengacak-acak rambutku. Aku menggerutu pelan. Kemudian kurapikan rambutku, menguncirnya seperti ekor kuda. Tak berapa lama, suara masinis terdengar dari pengeras.

Perhatian! Sesaat lagi, kereta Sancaka akan memasuki Stasiun Gubeng Surabaya. Para penumpang harap mempersiapkan barang bawaannya. Perhentian selanjutnya, Stasiun Gubeng Surabaya.

Aku segera melirik jamku. Kini jarum pendeknya menunjuk angka 4. Kami tiba tepat waktu sesuai perkiraanku. Segera aku mempersiapkan barang bawaan, memasukkan semuanya ke dalam tas, kemudian memakai sepatu sneakers yang tadinya kugeletakkan di lantai gerbong. Kami berdua pun menggendong ransel kami masing-masing dan mengikuti penumpang lain menunggu di dekat pintu.

Tak berapa lama, kereta berhenti perlahan. Kami turun agak berdesakan dengan penumpang lain. Gio dengan sigap menggandeng tanganku, berusaha membuatku tetap berada di dekatnya. Setelah kami turun ke peron, barulah Ia melepas genggamannya. 

Akhirnya, kaki kami kembali menginjak kota Surabaya.

***


Sambil berjalan menghindari para penumpang lain, aku berusaha menyamakan langkah kaki Gio. Langkahnya yang lebar membuatku terus tertinggal di belakang. Sesekali aku mencengkeram lengan Gio, berusaha tetap dekat dengannya diantara kerumunan orang.

"Nay, nanti kita naik taksi aja. Gausah hubungin orang rumah. Masih subuh, kasihan. Terus nganter kamu dulu, baru aku," ujar Gio memberi arahan. Aku pun mengangguk. Kami hampir sampai di pangkalan taksi, ketika kudengar suara seorang wanita memanggil Gio.

"Gio!!"

Aku dan Gio menoleh bersama, terkejut akan kehadiran wanita itu.
Mengenakan dress bunga-bunga selutut yang pas melekat di tubuh langsingnya, Ia melambai pada kami.

Hal selanjutnya yang kulihat adalah raut wajah Gio yang berubah sumringah.

"Sabrina!" serunya. Gio pun segera berjalan menghampirinya. Begitu pula wanita itu. Ia menghampiri kami setengah berlari. Terdengar ketukan stiletto beradu dengan ubin peron.

Dan detik berikutnya, kulihat kedua insan itu saling berpelukan erat.

***


Aku menatap punggung mereka dari belakang. Kemeja kotak-kotak bersanding dengan floral dress biru. Jins belel dan sneakers berjalan beriringan dengan sepasang stiletto putih. Perpaduan yang sangat tidak serasi memang. Bukankah Ia lebih cocok denganku yang berbusana senada: kaus lengan panjang, jaket parka hijau army, jins biru dongker dan sneakers.

Tapi apa dayaku, itulah mereka. 

Gio dan Sabrina. Sebuah pasangan yang sempurna. Gio yang tampan dan gagah, sementara Sabrina yang lembut, cantik dan anggun. Aku masih ingat ketika Gio mengenalkannya padaku lewat foto dua tahun yang lalu, dalam perjalanan kami menuju kota metropolitan.

Dan sejak hari itu, aku hidup dalam ilusi. 

Ilusi bahwa Gio adalah milikku, hanya karena Ia selalu ada untukku. Kenyataannya, seorang wanita cantik telah memilikinya. Dan wanita itu bukan aku.

Aku memang berkata bahwa Gio adalah partner-ku, teman hidup yang selalu ada di sisiku. Dan kami seperti sepasang sepatu yang berlari bersama.

Tapi aku salah soal 'ikatan yang tak terputuskan oleh apapun'. Nyatanya, Gio sendiri-lah yang memutuskan ikatan itu. Atau sebenarnya, sejak awal ikatan itu memang tidak ada. Akulah yang menganggap Gio pasangan sepatuku. Akulah yang mencintainya. 

Hanya aku.

Dan kini aku harus menghadapi fakta bahwa 'sepatu kiri-ku' sedang berjalan bersama sepatu lain.

"Nay..." Suara Gio memecah lamunanku. Terlihat Gio dan Sabrina menoleh padaku sambil tersenyum tulus. Kemudian Gio melambaikan tangan. "Ayo cepetan!"

Stasiun itu mulai sepi. Deru mesin kereta sudah lama tak terdengar. Kerumunan orang perlahan menyusut. Diantara rasa sakit di dada, dan air mata yang tertahan di pelupuk mata, aku berusaha tegar. Lalu sebuah senyum palsu terulas di wajahku. 

Mulai sekarang, kamu harus berusaha tersenyum lebih tulus, Naya.

***


Cinta memang banyak bentuknya.

Ada yang tak simetris dan penuh lekukan, namun menjadi satu dan saling melengkapi.

Ada yang bertolak belakang, saling bertabrakan, lalu akhirnya saling menghancurkan.

Dan ada yang serasi, serupa satu sama lain, tapi tidak bisa bersatu.

Seperti kita.

part (2/2) - end

Shoe LaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang