Lima – Di bawah cahaya bulan
Surat terakhir yang kutulis untuk Piere berbunyi demikian;
Piere, sudah sepuluh tahun kau pergi. Kau tak pernah kembali meskipun ratusan surat dariku memanggilmu. Kepercayaanku bahwa kau akan kembali semakin pudar. Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk hidup bersama pemuda yang baik padaku. Maafkan aku Piere. Semua janji dan impian yang kita karang untuk tinggal di istana akan menjadi mustahil. Terimakasih atas tahun-tahun indah. Setidaknya, kamu berhasil membuat sepuluh tahunku dipenuhi rasa cemas akan dirimu.
Aku melipatnya. Baru saja aku hendak memberikannya pada petugas disana, Arthur datang kedalam rumahku. Pakaiannya nampak lebih rapi daripada biasanya. Aku segera memasukkan surat tersebut kedalam pakaianku dan tersenyum padanya. Ia datang lima belas menit lebih cepat dari waktu kita janjian.
"Mari kita mencari cahaya bulan yang paling terang. Itu tempat kesukaanmu, bukan?" tanya Arthur sembari mengulurkan tangannya padaku.
Aku mengangguk dan menjabat tangannya dengan hangat. Kami berjalan menyusuri malam yang dipenuhi bintang dan bulan purnama. Sampai akhirnya, kami sampai di sebuah bukit tinggi dimana cahaya bulan menyinari kami berdua.
Kami berdiri bertatapan dan Arthur tersenyum padaku.
"Zara, ini adalah tempat kesukaanmu, maka di tempat inilah aku akan melamarmu," ujar Arthur sembari merogoh sebuah cincin di dalam baju tebalnya.
Aku tersenyum dan menatapnya. Tak lama, Arthur segera bersujud di hadapanku dan membuka kotak cincin tersebut. Terdapat sebuah cincin yang sangat indah dan berkilauan di dalamnya.
"Jika di dunia ini Raja adalah matahari dan Ratu adalah bulan, maka sebentar lagi kamu akan menjadi bulan yang sesungguhnya," pria tersebut menatapku dengan sungguh-sungguh.
Aku terdiam mendengar perkataannya.
"Bulan?" ulangku dengan begitu terkejut.
"Ya. Aku adalah matahari yang menguasai negeri ini. Arthur Musetta adalah penguasa satu-satunya di negeri ini. Penguasa itu ingin menjadi pendamping hidupmu," jelas Arthur sembari berdiri dan melepaskan cincin tersebut dari tempatnya.
Aku masih terdiam dan begitu terkejut saat mendengarnya.
"Yang Mulia...," gumamku sembari menatapnya dan yang perlahan meraih tanganku dan memakaikan cincin tersebut di jari manisku.
"Aku mencintaimu, Philamena. Kau adalah sosok yang sesuai untuk memimpin negeri ini, menemaniku," Arthur menatapku dengan mata yang berbinar.
Aku tersenyum tak karuan. Pria ini benar-benar seorang raja yang diagungkan masyarakat dan sosok sederhana.
Dia menatapku dan segera menarik tubuhku mendekatinya. Ia memegang pipiku dan mencium bibirku dengan begitu dalam. Ia memelukku dengan erat dan masih menciumku.
...
Frances meraih cangkir teh yang dihidangkan didalam ruangan Alan. Keduanya duduk berhadapan diatas sofa yang begitu empuk dan Frances meminum seteguk teh hangat tersebut.
"Menurutmu, apa hubungan mereka berdua?" tanya Frances yang meletakkan cangkir tersebut diatas meja.
"Apa maksudmu? Tentu saja aku tidak peduli," ujar Alan sembari mengibaskan tangannya.
"Kudengar Fandi melakukan hal tersebut karena Zara. Juga meminta maaf karena wanita itu. Bukankah seharusnya kamu tahu hubungan mereka?" Frances mengangkat kedua alisnya sembari menyunggingkan senyum tipisnya.
"Benarkah?" Alan menegakkan tubuhnya dan mencondongkan punggungnya.
"Tentu saja. Fandi juga orang yang melunasi biaya rumah sakit adiknya Zara, Adam," Frances berdiri dan menatap Alan dengan alis yang terangkat sebelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Under the Moonlight
عاطفيةAku adalah perempuan berusia 30 tahun yang selalu hidup dalam karma. Hidupku serba susah, ditambah adikku yang bernama Adam selalu malas belajar. Aku pun terpaksa harus mencari pekerjaan yang lebih baik. Sampai, aku diterima sebagai koki di Hotel Ka...