"Alea...." Amora berteriak dari dapur dengan suara kencang, supaya Alea bisa mendengar panggilannya dari atas.
"Yes, Mommy!" Alea berlari menuruni tangga dan menghampiri Mama dan Papanya yang sudah menunggu di ruang makan. Ini hari senin, dan juga hari pertama masuk sekolah untuk Alea. Lebih tepatnya, Alea akan masuk Taman Kanak-kanak hari ini.
Gadis kecil itu sudah siap dengan seragam putih biru kotak-kotaknya dan tidak lupa rambut yang dikuncir 2 oleh Brian tadi.
"Are you ready for your new adventure, Young Lady?" Tanya Brian sambil menyeruput kopi yang baru saja diletakan Amora di depannya. Alea mengangguk girang di tempat duduknya.
"Sure, let's go Papa. I can't wait any longer." Rengek Alea dengan wajah memelas ke arah Brian. Amora menggeleng sambil berkacak pinggang.
"Tidak akan ada yang pergi sebelum kamu menghabiskan sarapanmu, Alea." Ashley tersenyum di akhir kalimatnya. Alea mendengus tapi tak ayal ia tersenyum sembari memakan roti keju panggang buatan Mamanya itu.
"Done," racau Alea menyeruput susu coklatnya.
Brian tersenyum sedari tadi. Putrinya memang baru berusia 5 tahun, tapi ia sangat pintar. Ia bahkan sudah lancar berbahasa inggris sekarang. Brian dan Amora sempat meributkan siapa yang menurunkan kepintaran ini pada Putri mereka, Brian atau Amora. Keduanya tidak ada yang mau mengalah sampai akhirnya Alea menangis kencang karena terkena dampak kericuhan itu.
Tidak diberi cemilan siang.
"Pergilah." Usir Amora saat merasakan tangan Brian yang melingkari pinggangnya. "Kamu harus mengantar Alea."
"Tapi aku mau kamu~"
"Brian." Ujar Amora tajam memandang Brian dan Alea yang sedang asik memakai sepatu barunya bergantian. Brian menghela napas.
"Baiklah, baiklah. Aku pergi Sayang." Brian mengecup pipi kiri Amora kilat dan segera berlari menggendong Alea menuju garasi. Gadis kecil itu tertawa riang di gendongan sang Papa yang menurutnya, 'perfect' itu.
Amora menyandarkan punggungnya di wastafel. Matanya menatap dalam sebuah foto dengan bingkai yang besar di ruang makan itu.
Foto keluarga kecilnya yang baru dibuat seminggu yang lalu.
Amora berharap ekspresi dan senyum ceria Brian dan Alea itu akan selalu terpatri Indah di wajah mereka,
Dalam keadaan apapun yang akan mereka hadapi nanti.
****
"Papa..."
"Yes, hun?"
Alea memunduk memainkan jari-jarinya. Ia sangat gugup. Bagaimanapun, ini adalah pertama kalinya ia masuk sekolah dan bertemu anak-anak seusianya selain Matthew, anak dari Dave dan Clara.
"Kamu gugup, Alea?" Tanya Brian menjawil hidung mancung Alea.
"Ya. I mean, no. Pa please, aku belum pernah bertemu anak lain selain Matthew." Ucap Alea semakin menunduk.
"Semuanya akan baik-baik saja, Sayang. Matt akan menjaga kamu."
Mendengar nama Matt disebut, Alea menatap Papanya penuh harap. "Matt akan satu kelas denganku??"
"Papa rasa begitu." Brian menggerikan kedua bahunya acuh. Sebenarnya ia cukup heran.
Usia Alea dan Matt hanya terpaut 5 Bulan. Bisa kalian bayangkan? Itu berarti saat mengunjungi Baby Alea waktu itu, Clara sudah mengandung Matt dan tidak ada yang sadar, bahkan dirinya. Dave benar-benar luar biasa. Perjuangannya selama ini untuk meluluhkan si singa gunung Clara tidak sia-sia.
"Nah, kita sampai." Brian melangkah keluar mobil dan membukakan pintu untuk Alea.
"Terima Kasih, Papa." Brian tersenyum. Alea adalah anak kebanggaannya. Sangat.
Semua mata yang didominasi ibu-ibu muda langsung tertuju pada Brian. Sebagian dari mereka berbisik-bisik. Dan itu membuat Alea geram.
Ia mengeratkan genggaman tangannya pada Brian dan menyeretnya agar lebih cepat. Brian terkekeh.
Like mom, like daughter.
Alea mengintip kelas yang sudah cukup ramai dari celah pintu. Jantungnya berdetak kencang. "Papa, boleh tidak kalau Alea pulang lagi saja?" Ia melirik Brian.
Pria dewasa itu terkekeh. "Sayangnya tidak, Sayang. Masuklah. Jadi anak baik. Ingat kata-kata yang sudah Mama dan Papa ajarkan semalam."
Alea mengangguk, menarik napas panjang. Kemudian ia menaikan dagunya dan melangkah kedalam kelas.
Brian menatap Alea yang terlihat sedang mencari seseorang dengan senyum diwajahnya.
"Matt!" Seru Alea kemudian ia berlari menuju tempat duduk Matt. Anak laki-laki itu tersenyum lebar saat melihat Alea berlari menghampirinya.
"Cebol!" Seru Matt senang. Ia menyuruh Alea agar duduk di sebelahnya.
"Aku tidak cebol."
"Kamu cebol, Alea. Admit it."
Alea menghela napas kemudian matanya menelisik seluruh kelas. Disini lebih banyak anak lelaki daripada perempuan.
"Matt,"
"Hmm?"
"Sulit ya punya Papa yang ganteng." Alea berucap sambil menatap jendela dimana Brian masih berdiri memandanginya dengan sejumlah ibu-ibu yang juga memandang Brian penuh dengan tatapan kagum.
Matthew terkekeh. "Kamu belum pernah melihat Papaku kalau begitu."
"Memangnya Papamu kenapa?" Tanya Alea penasaran.
Matt melepas krayon ditangannya dan menatap Alea serius. "Kalau Papamu kan diam saja," sejenak matanya menatap Brian yang tampak acuh dengan keadaan sekitarnya.
"Tapi kalau Papaku, dia pasti balas menyapa ibu-ibu itu. Dan berakhir tidur di luar setelah senelumnya meminta maaf berulang-ulang pada Mamaku." Lanjutnya lagi.
"Oh, begitu ya." Alea kembali menatap Brian yang sekarang juga tengah menatapnya dengan senyum lebar.
Bel masuk berbunyi. Ibu-ibu rempong itu semakin berkumpul di dekat jendela agar bisa melihat anak mereka maju satu-persatu memperkenalkan dirinya.
Dan Aleasha mendapat giliran pertama. Dengan gugup anak itu maju dan berdiri di depan kelas.
Sejenak ia menatap Ibu guru barunya kemudian menatap Papanya. Brian melayangkan tinjunya ke udara sambil mengatakan "Semangat!" Tanpa suara. Alea menutup matanya dan menghembuskan napas panjang.
"Hey all. I'm Aleasha Callesto Mcknight. Saya harap, kita bisa berteman baik dan saling menolong. Senang bertemu dengan kalian."
"My daughter is more than badasss." Ucap Brian bangga.
"Bagus. Selamat datang Aleasha. Silahkan duduk." Ucap guru itu tersenyum pada Alea.
Alea mengangguk dan kembali ke tempat duduknya. Ia tersenyum memperlihatkan barisan gigi putihnya pada Brian sambil mengangkat kedua jempolnya.
"Honey, are you okay if i leave you here with Matt?" Teriak Brian tanpa memperdulikan anak yang sedang memperkenalkan dirinya di depan kelas.
"But i need you." Alea balas berteriak. Kedua ayah dan anak ini saling berteriak seperti disana hanya ada mereka berdua saja.
"I'll protect her, uncle." Ujar Matt sambil merangkul Alea. Brian tersenyum.
"Papa harus pergi ke kantor Sayang. Ada rapat menunggu, nanti Papa jemput kamu lagi oke?" Ia mengerling pada putrinya itu.
"I trust you, bro!" Lanjutnya sambil mengangkat jempolnya tinggi-tinggi ke arah Matthew kemudian berlalu.
"Kamu nyebelin, Matt."
"Aku tahu, aku juga sayang kamu Alea."
Alea memutar bola matanya malas mendengar jawaban Matt. Ia tahu pasti siapa yang mengajarkan kata-kata itu pada Matt.
Siapa lagi kalau bukan Uncle Davenya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Love
RomanceCinta Amora dan Brian kembali diuji. Arti Cinta mereka kembali dipertanyakan. Dapatkah mereka mempertahankan rumah tangga mereka?